Labuan Bajo yang Multikultur

Okt 30, 2013 No Comments by

Oleh: Mulyawan Karim

Labuan Bajo, Kota berpanorama laut nan memesona. Gerbang pariwisata yang tengah tumbuh pesat di ujung barat Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, ini dibangun dan dihuni oleh beragam suku di Nusantara yang bersepakat mengharamkan konflik.

Haji Muhammad Abubakar Adam Djudje (75), sesepuh masyarakat Bajo, menganggap biasa saja kotanya memiliki nama yang sebagian dipungut dari nama sukunya. Menurut dia, dengan nama itu tak berarti orang Bajo boleh merasa berhak mengklaim sebagai penduduk asli atau menuntut diistimewakan.

”Nama itu dipakai hanya karena tempat ini dulunya lokasi persinggahan nenek moyang kami yang sebetulnya lebih banyak hidup di laut,” ujar Adam seolah mewakili sikap rendah hati orang Bajo umumnya.

Suku Bajo atau Bajau kerap disebut juga suku Laut karena memiliki tradisi hidup di atas perahu dan menangkap ikan di berbagai penjuru perairan Nusantara. Sebelum Belanda hadir di Manggarai, tempat ini sering disebut Bong Bajo (Pelabuhan Bajo) karena sering disinggahi suku Bajo. Nama Labuan Bajo baru resmi dipakai pada 1926 setelah Belanda mengangkat Raja Todo sebagai raja di Manggarai.

Ketika itu, Labuan Bajo hanya sebuah desa di wilayah Hamente Nggoran. Kata hamente berasal dari kata Belanda gemeente, istilah untuk menyebut kesatuan wilayah pemerintahan yang kurang lebih setingkat kecamatan. Hamente Nggoran, yang wilayahnya meliputi 11 desa, juga dikenal sebagai Kedaluan Nggorang karena dipimpin seorang bangsawan rendahan bergelar dalu.

Dari desa nelayan yang sepi, Labuan Bajo kini berkembang menjadi kota pusat pemerintahan Kabupaten Manggarai Barat, NTT. Kota berpenduduk sekitar 12.000 jiwa itu juga telah tumbuh menjadi salah satu pusat turisme utama di kawasan Indonesia timur.

Sejak mata dunia mulai terbuka pada keberadaan satwa langka komodo di Pulau Rinca dan Komodo pada 1970-an, jumlah pelancong yang datang ke Labuan Bajo, pintu gerbang menuju Taman Nasional Komodo, terus meningkat. Labuan Bajo menggeliat, tumbuh sebagai kota dengan masyarakat dan kebudayaan yang heterogen.

Selain orang Bajo yang sejak tahun 1950-an meninggalkan budaya hidup di atas perahu dan membangun perkampungan di darat, di sana juga tinggal kaum pedagang Tionghoa serta warga pendatang dari sejumlah daerah lain, termasuk Jawa, Bima, Makassar, dan Sumba. Keberadaan sebagian dari mereka di kota itu hampir sama tuanya dengan suku Bajo.

Golongan warga lainnya adalah orang Manggarai yang awalnya tinggal di dusun-dusun di daerah perbukitan di pedalaman Manggarai. Sebagian merantau ke daerah pesisir dan menghuni Labuan Bajo.

Walau warga Labuan Bajo masih mengusung kebudayaan suku masing-masing, konflik di antara mereka hampir tak pernah terjadi, bahkan sejak dulu.

Menurut Antonius Hantam (68), warga senior di Labuan Bajo, orang Manggarai selalu menyambut baik kehadiran suku-suku lain di daerah mereka. ”Pada tahun 1956, waktu orang Bugis pertama kali datang, mereka secara resmi diterima Raja Manggarai dan diberi izin bermukim di sini,” katanya.

Hubungan antarumat beragama pun selalu terjaga baik. Di Labuan Bajo bisa terjadi acara penahbisan seorang pastor dilaksanakan oleh panitia yang sebagian anggotanya Muslim. Sebaliknya, dalam rombongan penyambut jemaah haji yang baru tiba dari Tanah Suci Mekkah, bisa juga ada penganut Kristen atau Katolik.

Perbedaan keyakinan tak pernah menjadi persoalan. Mereka selalu dipersatukan dalam upacara-upacara adat yang mengikat mereka sebagai orang-orang yang memiliki leluhur atau nenek moyang yang sama.

Dalam kesederhanaannya, warga lokal Labuan Bajo yang berasal dari berbagai golongan boleh jadi tak terlalu mengerti apa yang disebut keindonesiaan dan nasionalisme Indonesia. Mereka juga mungkin tak terlalu paham makna Bhinneka Tunggal Ika. Namun, sikap, pola pikir, dan tindakan sosial mereka sehari-hari merefleksikan dengan baik semangat keindonesiaan dan kebhinnekatunggal-ikaan. (MKN)

Sumber: KOMPAS, Rabu, 9 Oktober 2013.

Berita

About the author

lingkarLSM hadir untuk menemani pertumbuhan. Kami mengidamkan masyarakat sipil yang jujur dan punya harga diri. Kami membayangkan ribuan organisasi baru akan tumbuh dalam tahun-tahun perubahan ke depan. Inilah mimpi, tujuan dan pilihan peran kami. Paling tidak, kami sudah memberanikan diri memulai sebuah inisiatif; dan berharap langkah kecil ini akan mendorong perubahan besar.
No Responses to “Labuan Bajo yang Multikultur”

Leave a Reply