Manis Pahit Bertani Bawang Merah Lokal

Apr 10, 2013 No Comments by

Oleh: Cornelius Helmy dan Siwi Nurbiajanti

Belasan tahun menggantungkan hidup pada bawang merah, Firdaus (35) belum merasakan keuntungan yang layak. Bagi petani asal Desa Sape, Kecamatan Lambu, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, itu, panen bawang sekali ibaratnya hanya cukup untuk makan sehari.

Firdaus mengatakan, dia butuh Rp 45 juta per hektar untuk menanam bawang merah. Dengan hasil panen hanya 10 ton per hektar dan harga bawang Rp 4.500 per kg, ia terpaksa puas hanya balik modal. Modal tanam selalu ia pinjam dari orangtua atau tetangga sekitar rumahnya.

Tidak tahan dengan keadaan ini, Firdaus pernah merantau ke Singapura menjadi tenaga kerja Indonesia. Namun, menjadi pekerja kasar di Singapura tidak membuatnya sejahtera. Ia memilih pulang kampung.

Pertemuannya dengan seorang penyuluh swasta di Bima tahun 2008 memberikan harapan. Ia ditawari teknologi pertanian baru, menanam bawang merah dengan biji. Sebelumnya, petani Bima memilih umbi sebagai benih. Di tengah keraguan petani lain, ia mencobanya.

Hasilnya menggembirakan. Benih biji hanya butuh total biaya Rp 10 juta per hektar. Dengan 5 kg benih untuk lahan 1 hektar, ia bisa panen 20-25 ton bawang merah yang laku dijual ke pengepul Rp 22.000 per kg.

”Jauh lebih untung dan hemat dibandingkan pakai umbi. Harga umbi sangat mahal. Dari modal tanam Rp 45 juta per hektar, sekitar Rp 25 juta di antaranya untuk membeli benih umbi,” katanya.

Kini, rumah panggung senilai Rp 15 juta dan sepeda motor Rp 12 juta ia dapatkan dari bawang merah. Ia tengah merajut mimpi mengumpulkan uang untuk asuransi pendidikan anaknya. ”Saya tidak berani punya mimpi seperti ini waktu tanam bawang pakai umbi,” katanya.

Bawang merah adalah produk hortikultura unggulan Kabupaten Bima di Sumbawa. Kepala Bidang Hortikultura Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Kabupaten Bima Adnan Adam menyebutkan, total lahan seluas 18.960 hektar, tetapi baru 7.000 hektar yang dimanfaatkan karena keterbatasan modal.

Namun, sukses petani bukan tanpa usaha. Mereka harus belajar banyak dan telaten. Awaludin, petani Desa Kolo, Asakota, Bima, mengatakan, mereka harus lebih sabar.

Sebelum menanam, ia harus membenihkan bibit selama 5-7 minggu. Ia rutin mencuci bawang pembenihan dengan air bersih untuk membersihkan sisa kotoran. Saat bibit dipindahkan ke area tanam, ia hanya memberikan pupuk organik.

Anwar, petani Desa Sampungu, Kecamatan Soromandi, juga terbiasa menghitung jarak tanam tepat 10 x 10 cm atau 5 x 10 cm. Tujuannya, memberikan hasil panen lebih banyak karena biji akan menghasilkan umbi tunggal. Cara itu tidak ia pahami sebelumnya saat menggunakan benih umbi.

Sentot Wiyono, penyuluh swasta dari PT East West Seed Indonesia, Kabupaten Bima, mengatakan, kunci utama keberhasilan petani Bima adalah kemauan belajar. Awalnya, petani sulit meninggalkan kebiasaan konvensionalnya.

Mengatur bibit juga dilakukan petani bawang merah di Brebes, Jawa Tengah. Mereka masih menggunakan umbi sehingga sulit mendapatkan bibit murah di tengah harga bawang merah yang tinggi.

Toipah (48), petani bawang di Kelurahan Limbangan Wetan, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes, beruntung terbiasa menyisihkan sebagian hasil panen bawang merah untuk dijadikan benih. Itu disebabkan sawahnya, yang hanya 2 kilometer dari pantai, agak asin sehingga benih bawang yang ditanam harus dari wilayah setempat. ”Kalau membeli benih dari wilayah selatan, nanti sulit hidup,” ujarnya.

Toipah dan suaminya, Anwar, adalah salah satu dari keluarga petani di Brebes yang bersiap menanam bawang merah. Mereka akan menanam bawang di lahan setengah bau atau 3.333 meter persegi. Mereka menggunakan benih sendiri dari hasil panen Desember 2012.

Kebiasaan membuat benih sendiri memberikan hikmah bagi Toipah di tengah tingginya harga bawang. Saat ini, harga bawang merah eceran mencapai Rp 40.000 per kg, sedangkan harga bawang merah untuk benih Rp 35.000 per kg. ”Kalau saya harus membeli benih dengan harga sekarang rasanya tidak sanggup,” tuturnya.

Menurut dia, harga bawang merah saat ini terlampau tinggi sehingga kurang menguntungkan petani. Petani dengan lahan di atas 2 hektar merasakan kesulitan mendapatkan bibit umbi.

Supardi (50), petani bawang merah di wilayah Kecamatan Kersana, Brebes, mengatakan, harga bawang merah saat ini merupakan harga tertinggi yang pernah dia temui selama menjadi petani bawang merah. ”(Harga) ini bukan lagi tinggi, tetapi sudah tidak wajar. Bisa melebihi harga daging,” katanya.

Bagi petani bawang merah di Bima yang menggunakan bibit biji, harga bawang merah yang tinggi memberikan keuntungan besar, tetapi tidak bagi petani bawang merah di Brebes yang masih menggunakan bibit umbi. Harga bawang merah yang tinggi membuat mereka tak bisa membeli bibit umbi bawang.

Pengalaman bagus petani bawang di Bima bisa diadopsi pemerintah dalam kebijakan pengembangan bawang merah di Tanah Air. Produksi yang tinggi membuat ketergantungan pada impor bawang merah yang menguras devisa bisa diredam. Harga bawang merah yang tinggi menyulitkan sejumlah pihak, termasuk petani bawang sendiri.

Sumber: KOMPAS, Selasa, 19 Maret 2013.

Berita

About the author

lingkarLSM hadir untuk menemani pertumbuhan. Kami mengidamkan masyarakat sipil yang jujur dan punya harga diri. Kami membayangkan ribuan organisasi baru akan tumbuh dalam tahun-tahun perubahan ke depan. Inilah mimpi, tujuan dan pilihan peran kami. Paling tidak, kami sudah memberanikan diri memulai sebuah inisiatif; dan berharap langkah kecil ini akan mendorong perubahan besar.
No Responses to “Manis Pahit Bertani Bawang Merah Lokal”

Leave a Reply