Pendayagunaan Derma Keagamaan Harus Lebih Universal

Sep 24, 2011 No Comments by

Setiap agama atau kepercayaan mengajarkan konsep kasih sayang dan memberi kepada orang yang membutuhkan. Konsep ini memberi peluang kepada lembaga-lembaga keagamaan untuk mengelola potensi tersebut dan mendayagunakannya untuk kemaslahatan umat. Namun, apakah pengelolaan dan distribusinya sudah cukup produktif, mengapa ada kesan terjadi kemandegan dalam pendayagunaannya, bagaimana pula upaya mengatasi problem yang muncul dari konsep hirarki tersebut. Berikut wawancara redaktur galang (Hamid Abidin dan Yuni Kusumastuti) dengan Budhy Munawar Rachman, Program Officer Islam dan Masyarakat Sipil, The Asia Foundation.

Bagaimana Anda melihat perkembangan religious philanthropy secara umum, menurut Islam, Kristen, Hindu, Budha, dan lain-lain di Indonesia, baik dari aspek penggalangan, pengelolaan dan pendayagunaannya?

Sebenarnya filantropi itu termasuk dari salah satu ajaran keagamaan pada semua agama. Bahkan sumber-sumber daya keagamaan itu diperoleh justru berdasarkan konsep filantropi yang ada dalam agama itu. Misalnya, di dalam tradisi agama Kristen, mereka mempunyai tradisi per-sepuluhan. Orang Syiah juga punya qumus; semacam kewajiban dari seorang anggota komunitas muslim Syiah, yaitu sekitar 20% dari pendapatannya diberikan kepada agama. Kemudian dalam tradisi Sunni, konsep zakat yang prakteknya sebenarnya lebih banyak dipakai untuk soal-soal yang konsumtif di Indonesia. Zakat maal misalnya, jumlahnya antara 2,5% – 10% dari hasil pertanian, dan sebagainya. Jadi bagaimanapun kondisinya sekarang ini filantropi termasuk bagian dari ajaran keagamaan dan biasanya kekuatan keagamaan atau komunitas yang berdasarkan keagamaan dibangun dari filantropinya; berdasarkan suatu rasa tanggung jawab dari komunitas tersebut untuk membangun keagamaannya atau lebih tepat komunitas keagamaannya. Jika hal itu dikelola dengan sangat baik, biasanya komunitas itu berkembang. Tetapi jika hal itu tidak dikelola dengan baik, maka sebetulnya filantropi akan menjadi sesuatu yang tidak bermakna; ini hanya menjadi bagian dari konsep give and take.

Kita bisa melihat banyak dalam tradisi keagamaan, banyak institusi-institusi keagamaan yang menjadi berkembang cepat karena filantropi. Saya pernah mengunjungi satu sekte dari agama Kristen, namanya agama Mormon di Amerika. Satu sekte yang filantropinya sangat kuat dan mungkin juga karena ghirah keagamaannya yang sudah mapan sehingga bisa mengelola dengan baik sehingga bisa mengirimkan hasil dari filantropi anggota komunitasnya ke negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia. Dan sebenarnya kalau kita lihat, sebagian besar lembaga-lembaga donor muncul dari tradisi keagamaan atau komunitas-komunitas semacam ini.

Bagaimana upaya untuk mengembangkan ajaran derma yang awalnya hanya berdasarkan kewajiban atau menuruti perintah Tuhan agar bisa digeser ke hal yang lebih produktif dan berjangka panjang?

Dari segi teologi Islam saya kira ini akibat dari pandangan keagamaan bahwa hasil dari zakat itu harus segera didistribusikan. Dan suatu pemikiran mengenai zakat yang lebih produktif, pendayagunaan yang lebih produktif yang dapat dijadikan modal berkelanjutan (revolving fund), belum ada fikihnya. Mungkin nanti lembaga-lembaga Islam akan membuat fikihnya. Tapi, hal itu memang sudah menjadi tradisi keagamaan yang ratusan tahun dan untuk mengubahnya sangat sulit sehingga kita tidak pernah melihat, misalnya suatu penggunaan yang lebih produktif dari lembaga-lembaga zakat yang ada di dalam masyarakat. Hal ini hanya bisa dilakukan pada lembaga yang bekerja secara profesional untuk bidang ini. Kalau seperti lembaga zakat yang ada di masjid-masjid, mereka hanya membuka dan menerima sumbangan masyarakat pada waktu Ramadhan, menyalurkan zakat, dan mereka juga tahu bahwa ini harus disalurkan habis. Segi produktif yang bisa mereka gunakan biasanya untuk pembangunan dan pengembangan masjid. Dompet Dhuafa merupakan salah satu contoh yang bagus. Mereka menginvestasikan, misalnya untuk membangun sekolah dan rumah sakit. Ini merupakan tradisi yang sangat baru dan ide yang sangat brilian. Dompet Dhuafa menginvestasikan kembali bantuan masyarakat atau zakat Islam untuk kepentingan masyarakat yang membutuhkan.

Intinya adalah pengembangan humanisme. Salah satu fungsi dari lembaga-lembaga filantropi adalah memberikan bantuan humanitarian. Dan ini yang masih sangat kurang di kita. Humanisme berarti bahwa satu derma akan digunakan untuk kemaslahatan dalam arti yang seluas-luasnya dan bahkan sudah tidak lagi berdasarkan suatu keagamaan tertentu. Hal ini sudah sangat maju di dunia yang tingkat kemakmurannya melimpah, seperti di Eropa, Amerika, Australia. Kita masih belum sampai kesana, tetapi memang sudah semestinya dipikirkan bagaimana lembaga filantropi bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan primer. Misalnya, memberantas kemiskinan atau memberikan bantuan untuk pengembangan sumber daya manusia. Program semacam ini saya kira akan berjalan bersama dengan peningkatan kemakmuran. Kalau pertumbuhan ekonomi suatu komunitas meningkat, filantropi bisa diharapakan meningkat juga. Karena hanya orang-orang yang punya kelebihan yang bisa memberikan derma lebih banyak.

Dari aspek penggalangan, sekarang sudah ada perkembangan luar biasa. Ada SMS charity, ada zakat on line, dan sebagainya. Namun, dari aspek pendayagunaannya nampaknya masih mandeg. Misalnya masih lebih banyak berkaitan dengan hal yang bersifat konsumtif, charity. Faktor apa saja yang membuat demikian?

Saya yakin hal itu berhubungan dengan kebijaksanaan dan orientasi dari lembaga filantropi yang bersangkutan dan itu hal yang wajar. Bahkan lembaga donor pun sangat tergantung dari visi yang mereka miliki dalam menjalankan programnya. Ada banyak lembaga donor, misalnya, lembaga donor dibiayai dari filantropi masyarakatnya atau negara di mana mereka berasal untuk membantu pembangunan infrastruktur, membantu bencana alam, pemberdayaan program kesehatan, atau untuk pengembangan sumber daya, dan seterusnya. Jadi memang sangat bergantung dari misi kelembagaannya dan saya kira charity merupakan sesuatu yang sangat mendasar di dalam suatu lembaga filantropi; suatu kegiatan lembaga memang dimulai dengan charity dulu.

Nah, bagaimana mengubah mindset yang menganggap surga menyumbang terdapat pada hal-hal yang bersifat charity dan berbau keagamaan? Bagaimana mengubah paradigma bahwa berderma itu bukan hanya menciptakan surga di akhirat tapi juga kemaslahatan di dunia?

Saya kira ini berkaitan dengan konsep akherat kita yang masih sempit. Anda membuat masjid pasti akan banyak yang ingin membantu. Tapi kalau pemberdayaan perempuan atau pemberantasan buta huruf, sedikit yang akan membantu. Membangun masjid adalah investasi, itu kaitannya dengan keagamaan. Tetapi pemberdayaan perempuan, itu urusan dunia. Cara berpikir semacam itu yang membuat saya heran. Misalnya, ketika pulang kampung saya melihat di desa-desa itu masjidnya jauh lebih bagus daripada kampungnya, kampung orang-orang yang menyumbangnya. Mereka mau berderma kalau untuk masjid, tapi kalau untuk perbaikan kampung, sikap mereka sebaliknya. Padahal mereka miskin, tapi kalau menyumbang untuk masjid, menurut mereka ada ketenangan batin. Jadi mindset dari kita memang sangat berpengaruh dalam konsep derma ini.

Untuk mencegah pola berpikir semacam ini, tentunya harus mengembangkan pendidikan dan meningkatkan kecerdasan masyarakat. Pemahaman semacam itu dibutuhkan wawasan yang lebih luas karena lebih abstrak. Sementara mungkin kita belum sampai pada tingkat yang seperti itu.

Bagaimana dengan aspek transparansi dan akuntabilitas lembaga-lembaga sosial yang mengelola derma keagamaan tersebut?

Sebenarnya hal itu merupakan suatu yang sangat memperihatinkan karena sebagian lembaga zakat belum transparan. Sebagian besar mereka tidak mengundang akuntan publik untuk memeriksa keuangannya dan kemudian melaporkan kepada masyarakat mengenai akuntabilitas dari sistem keuangannya. Nah, itu kelemahan yang paling besar sehingga tidak pernah ada laporan yang sudah  diaudit dari masjid-masjid bahkan lembaga zakat sekalipun. Mudah-mudahan Dompet Dhuafa dan lembaga besar lainnya yang sudah mempunyai tradisi audit seperti itu bisa memberi contoh. Transparansi dan akuntabilitas merupakan sarana untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat. Mereka bisa mengekspos lewat media cetak, misalnya, orang pasti akan percaya.

Dikutip dari: Majalah GALANG, Vol.1, No.3, April 2006, Opini, halaman 82-90.

Berita

About the author

lingkarLSM hadir untuk menemani pertumbuhan. Kami mengidamkan masyarakat sipil yang jujur dan punya harga diri. Kami membayangkan ribuan organisasi baru akan tumbuh dalam tahun-tahun perubahan ke depan. Inilah mimpi, tujuan dan pilihan peran kami. Paling tidak, kami sudah memberanikan diri memulai sebuah inisiatif; dan berharap langkah kecil ini akan mendorong perubahan besar.
No Responses to “Pendayagunaan Derma Keagamaan Harus Lebih Universal”

Leave a Reply