Kerelawanan harus lebih Sensitif Gender dan tidak Konservatif!

Sep 24, 2011 No Comments by

Kerja sosial atau kerelawanan, serta merta identik dan ditujukan kepada perempuan. Tidak jarang kata tersebut dimaknai berbeda oleh sebagian orang karena perbedaan perspektif yang lebih banyak dipengaruhi oleh sistem dan kultur yang sangat kuat di Indonesia. Sehingga tanpa disadari, kebijakan yang diciptakan pun berimbas tidak proporsional terhadap perempuan. Guna memahami lebih dalam bagaimana gambaran kerelawanan (kerja sosial) dan perempuan di Indonesia serta berbagai hal yang melingkupinya. Kami mewawancarai Myra Diarsi, seorang ekspertis gender yang selain pendidik juga aktif di beberapa lembaga swadaya masyarakat.

Menurut Mbak Myra, bagaimana memaknai kerja sosial atau kerelawanan perempuan?

Menurut saya, kita perlu mengupas dan menggali lebih banyak lagi pemaknaan the soul of sosial work. Kerja sosial sampai sekarang masih sering diplesetkan menjadi kerja-kerja yang karitatif. Menurut saya, hal semacam ini yang harus ditinjau ulang. Karena kerja sosial adalah kerja-kerja yang dibasiskan pada persoalan sosial tertentu dengan kajian atau analisis sosial. Jadi kerja sosial itu seharusnya kontekstual. Kontekstual dalam arti harus selalu melihat kepada persoalan sosial apa harus selalu melihat kepada pesoalan sosial apa yang muncul. Jika kita masih melihat pekerjaan sosial itu hanya sebagaimana pengertian umum selama ini, yang tidak ada teori pakemnya dengan tinggal dipraktikan atau diaplikasikan di beberapa tempat. Hal itu bisa disebut sebagai pekerjaan sosial yang konvensional; sudah usang atau kuno.

Sebetulnya, pekerjaan sosial seharusnya tidak bergender. Pekerjaan sosial adalah kewajiban, tanggung jawab, yang bisa dilakukan dan diperankan dengan baik, baik oleh laki-laki maupun perempuan. Tapi ada konotasinya, pekerjaan sosial dari pemahaman konservatif itu tadi ada konsekuensi logisnya. Ketika pekerjaan konservatif wilayah sosial diberikan, kemudian dianggap sebagai pekerjaan yang tidak menarik imbalan profesional sebagaimana pekerjaan-pekerjaan lain yang lebih bernilai ekonomis. Maka kemudian diserahkan, disorongkan, ditumpahkan ke wilayah gender yang namanya perempuan. Ini teori selain pengaruh budaya dan politik. Misalnya, Menteri Sosial hanya mengurusi hal-hal karitatif, hanya mengurusi bencana. Sebetulnya kesosialan tidak hanya terletak di situ. Ada informalisasi dari kerja sosial hanya karena dianggap secara umum nilai materi kerjanya seharusnya lebih ringan dari yang lain atau diletakkan sebagai yang lebih murah dari yang lain karena itu harus disertai dengan aspek karitatifnya. Itu yang agak rumit dalam persoalan perspektif gender sehingga orang langsung mengaitkan kerja sosial dengan perempuan.

Saya mau mengatakan secara serius, bahwa kerja sosial pun perlu dilandaskan kepada kajian dan pemahaman yang cukup memadai tentang situasi sosial yang hendak dibidik. Artinya situasi sosial sekarang ini dalam perkembangan dunia adalah situasi sosial dan masalah sosial yang berkaitan dengan hak asasi manusia (HAM). Misalnya perubahan kebijakan pemakaian minyak tanah menjadi gas. Persoalan yang lebih khusus misalnya adalah kekerasan. Kekerasan jelas-jelas merupakan pelanggaran HAM. Selama ini, energi satu kelompok masyarakat yang merespon persoalan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sangat tersedot untuk memikirkan agar masa depan para korban kekerasan tidak terputus, terhalang, dan atau ternodai hanya karena dia mengalami suatu perilaku pelanggaran HAM. Artinya, dengan berbicara demikian saya mau menggarisbawahi apa yang dipikirkan pekerja sosial bahwa apa yang telah mereka lakukan bukanlah memberikan kerelawanan sesaat. Perspektif ke depannya harus diperjelas, begitu juga hasil kajiannya. Itu adalah persoalan yang masih merupakan tanda tanya dan harus dikaji lebih dari sekedar merumpunkan pekerjaan sosial atau kerelawanan dengan perempuan, itu satu.

Kedua, pertanyaan besarnya adalah mengapa harus dikaitkan dengan perempuan? Saya kira telah terjadi penilaian yang kurang dari sisi materi / ekonomi dan biasanya penilaian-penilaian yang kurang dari sisi ekonomi, nilai-nilai ekonomisnya itu gampang saja oleh masyarakat kita, oleh agama, oleh kultur, oleh macam-macam itu ditumpukan pada perempuan. Misalnya pekerjaan rumah tangga mulai dari mencuci, menyetrika, memasak, mengasuh anak. Padahal ini pekerjaan yang sangat ekonomis. Buktinya sekarang dengan perkembangan kapitalisme, misalnya, yang namanya laundry, catering, atau apapun detail-detail pekerjaan rumah tangga, untuk keperluan rumah tangga unit per unit, diserahkan kepada ahlinya. Kita membayar kepada mereka. Tetapi jika yang melakukan perempuan (ibu rumah tangga), hal itu seperti sesuatu yang sudah melekat pada hierarkinya, sukarela; dianggap sebagai pekerjaan cinta kasih.

Itu sebagian keriuh-rendahan dan kesalingsurupan pemahaman kita terhadap pekerjaan sosial dan kerelawanan. Di sisi lain, kerelawanan, karena sifatnya yang memang tidak mendapatkan imbalan kerja yang cukup atau memadai, lebih banyak diarahkan kepada perempuan. Bahkan, misalnya dalam suatu organisasi, pengurus corporate sosial responsibility (CSR) kebanyakan diserahkan kepada perempuan. Serta merta orang mengaitkan kerelawanan dengan gendernya perempuan dan bukan laki-laki. Contoh lain, persoalan KDRT, perempuan konsen untuk sampai ke Women Crisis Center (WCC) untuk berbicara kepada aktivis atau pekerja di WCC sehingga persoalannya dapat direspon dengan cepat sebagaimana kebutuhan si korban dan diberikan layanan-layanan yang dia butuhkan. Hal-hal semacam itu tentunya tidak bisa disampaikan ke laki-laki. Apalagi jika sampai kepada kekerasan seksual, seperti perkosaan misalnya. Itu argumennya jelas. Tetapi kenapa kerja sosial gendernya harus perempuan? Apakah karena sikap dan wataknya yang feminin; artinya dia welas asih, tekun, telaten, pelindung, perawat? Secara produktivitas perempuan sangat produktif dan pada saat yang bersamaan juga sangat rela dan bersedia jika keproduktifannya tidak dihargai secara materi.

Sejauh mana pengaruh para relawan dalam mewarnai kegiatan kerelawanan agar lebih berperspektif gender atau sensitif gender?

Menurut saya itu harus dikembalikan kepada kesadaran (gender awareness) maupun kepekaan gender (gender sensitivity) masyarakat kita, juga intelektual dan hasil sekolah pada umumnya sampai dimana. Karena satu, individunya sendiri tanpa ada kesadaran gender segala pekerjaan yang dilakukan akan dipenuhi dengan hal-hal yang bias gender. Kedua, menurut saya penting adalah institusinya sendiri dimana dia bekerja. Institusi, apapun itu, harus memiliki mekanisme kerja yang dapat menumbuhkan kesadaran gender. Jadi, menurut saya pekerjaan itu bukan karena kelaminnya, laki-perempuannya, tetapi lebih karena perspektifnya.

Dalam kasus penanganan bencana, misalnya, dalam setiap tahapan bencana, kerja perempuan sering tidak diperhitungkan. Padahal, relawan perempuan dituntut berperan banyak karena perempuan dan anak perempuan adalah merupakan bagian daftar kelompok dengan risiko tinggi terhadap bencana dan memiliki kebutuhan khusus yang sering terabaikan. Kenapa terjadi semacam itu?

Penjelas utama dari pertanyaan tersebut adalah bahwa yang sangat dominan adalah perspektif mengenali kebutuhan, baik secara metode maupun bahasa administrasi. Secara metode, misalnya, ketika bencana terjadi siapa yang didatangi dan ditanyai pertama kali, apakah perempuannya? Tidak tetapi ketua kelompok yang diasumsikan laki-laki. Contoh di Aceh, fakta membuktikan bahwa sampai 2004 / 2005 seluruh kebijakan tentang mitigasi dan peresponan terhadap bencana tidak pernah memikirkan kebutuhan pokok perempuan (pakaian dalam, pembalut) atau tempat untuk ibu-ibu melahirkan, menyusui. Kemudian ketika ahli-ahli mitigasi internasional didatangkan, baru kesadaran tentang kebutuhan perempuan ada perubahan. Itu lagi-lagi pengaruh internasional yang sudah lebih dahulu menjalankan.

Dan itu tidak hanya terjadi dalam kasus bencana, tetapi juga dalam proyek-proyek pembangunan. Seluruh proyek pembangunan di desa atau di masyarakat yang agrikultur; baik tentang air, ternak, dan akses mobilitas untuk perdagangan, hubungan relasi sosial, ekonomi dan lain-lain. Setiap ada proyek pembangunan di desa, secara administratif selalu yang ditanya dan didatengi adalah KK. Padahal, pengguna atau pelaksana proyek pembangunan mulai air bersih, pengampuhan kambing, sapi, atau ternak lain adalah perempuan. Itu yang menyebabkan banyak proyek pembangunan bahkan penanganan bencana yang luput karena tidak tepat sasaran dalam memahami kebutuhan.

Berdasarkan pengamatan saya, dari advokasi yang kami lakukan di tengah 80-an sampai awal 90-an. Misalnya dalam penentuan UMR (Upah Minimum Regional). Basis penentuan UMR pada waktu itu didasarkan pada kebutuhan fisik minimum (KFM). Di samping uang makan 3 kali sehari, ada uang sarung, kopiah, dan rokok. Permasalahannya yang dijadikan standar KFM adalah standar kebutuhan laki-laki. Hal itu terjadi karena orang-orang di organisasi perburuhan kebanyakan laki-laki. Apakah kebutuhan perempuan pernah ditanyakan atau diteliti? Faktanya, pembalut adalah salah satu kebutuhan pokok yang mutlak untuk pekerja perempuan usia produktif (karena kebanyakan buruh adalah usia produktif mulai usia tengah belasan sampai tengah dua puluhan). Bahkan yang lebih ekstrem, perempuan haid dianggap tidak produktif sehingga ada pengurangan gaji. Padahal faktanya, perempuan haid yang kesakitan pun dipaksa untuk masuk kerja karena cuti haid ketika itu tidak menjadi keotomatisan seorang pekerja perempuan. Jadi, pengabaian kebutuhan perempuan tidak hanya terjadi dalam kasus bencana, namun juga dalam kasus sosial atau kerja-kerja kerelawanan.

Pengabaian terjadi karena perempuan tidak pernah ditanya dan ketika pembuatan kebijakan berlangsung tidak ada suara perempuan di situ. Dan kalaupun ada biasanya jumlahnya terlalu kecil sehingga terlalu lemah untuk mewakili kepentingan perempuan. Perlu ada lebih dari sekedar keyakinan atau kesadaran atau kepekaan gender banwa ternyata kebutuhan perempuan itu berbeda dari laki-laki. Bukan sekadar lebih kurang, lebih sedikit, atau lebih banyak. Bahwa itu berbeda secara filosofis, bahasa Indonesia bisa menjelaskan lebih baik, dibandingkan istilah Simon de Bufoir ‘second sex atau orang kedua’, yaitu ‘liyan’. Liyan berarti bahwa kamu orang lain jadi yang selalu dijadikan standar itu saya. Saya ini laki-laki maka perempuan akan selalu menjadi liyan. Sampai dalam tahap ini sebenarnya tidak ada masalah, namun konsekuensi logisnya adalah kebutuhan perempuan pun menjadi secondary. Sehingga dalam kerelawanan pun kebutuhan perempuan terabaikan. Setinggi apapun peran perempuan tetap akan diabaikan karena itu konsekuensi logis penomorduaan atau peliyanan warga negara perempuan.

Bagaimana upaya agar relawan perempuan tidak sekedar menyumbang tenaga, tetapi juga ikut memberi warna dan menjadi penentu kebijakan terhadap kegiatan kerelawanan yang dilakukannya?

Saya kira sekarang banyak perempuan menjadi penentu kebijakan yang sudah menjadi ekspertisnya. Hanya saja jika dinilai sempit berdasarkan imbalan / renumerasi, itu semua masih tergantung pada kebijakan ekonomi, penentuan kerja, nilai kerja, pasar, dsb. Sebagian besar perempuan masih menempati ruang kerja-kerja perawatan dan kelangsungan hidup yang identik dengan cinta kasih. Dan menurut saya kerja-kerja perempuan akan lebih baik jika diapresiasi. Pada titik ini sudah saatnya media pun tidak selalu didominasi kekuatan pasar atau modal tetapi juga dimasuki dengan cukup imbang atau memadai oleh kepentingan-kepentingan pendidikan. Kalau media sudah bisa bekerja seperti itu, saya rasa pencitraan perempuan dan aktivitas kerelawanannya akan lebih dipahami masyarakat dengan lebih baik.

Satu hal yang cukup signifikan adalah perubahan sistem. Relawan perempuan tidak akan mendapatkan penghargaan lebih jika sistem yang berlaku di pasar masih didominasi oleh laki-laki. Bahkan kultur yang sangat kuat melekat turut memperdayakan posisi perempuan.

Apakah perlu dilakukan perubahan terhadap model rekrutmen, pendidikan dan mekanisme kerelawanan di berbagai organisasi sosial sehingga lebih mengakomodir potensi dan kepentingan relawan perempuan?

Saya kira pertama yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah mencaritahu apakah pola rekrutmen sekarang ini sudah kelihatan cacat atau bermasalah. Selama belum kelihatan bermasalah saya kira tidak perlu ada perubahan dalam perekrutannya. Seperti yang saya contohkan sebelumnya dengan Komnas Perempuan. Ternyata pendaftar untuk suatu judul aktifitas yang ada kata ‘kerelawanan’ dengan jelas ditepiskan oleh tenaga produktif laki-laki. Kita bisa coba tanyakan ke YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) mengenai pelamar / volunteer mereka. Dengan definisi yang kurang lebih sama, bagaimana komposisi pelamar laki-laki dan perempuan? Walaupun kalau LSM sekarang tidak ada dominasi jenis kelamin. Tetapi stereotip sebagian tetap ada, misalnya pada penyerahan wewenang dalam organisasi. LSM kadang-kadang masih terimbas pada peletakan manusia sebagai sumber daya terhadap bidang-bidang tertentu yang dianggap mewakili gender atau watak, entah feminin atau maskulin.

Dikutip dari: Majalah GALANG Vol.3, No.1, Februari 2008, Opini, halaman 71-79.

Berita

About the author

lingkarLSM hadir untuk menemani pertumbuhan. Kami mengidamkan masyarakat sipil yang jujur dan punya harga diri. Kami membayangkan ribuan organisasi baru akan tumbuh dalam tahun-tahun perubahan ke depan. Inilah mimpi, tujuan dan pilihan peran kami. Paling tidak, kami sudah memberanikan diri memulai sebuah inisiatif; dan berharap langkah kecil ini akan mendorong perubahan besar.
No Responses to “Kerelawanan harus lebih Sensitif Gender dan tidak Konservatif!”

Leave a Reply