Mencari Pemimpin
Hari demi hari lewat diam-diam, memahat hidup Handry Satriago. Ada tiga warna berpendar dalam dirinya: cinta pada pendidikan, Hormat pada sains, dan upaya panjang menemukan anak-anak muda yang bertalenta menjadi pemimpin masa depan.
Lahir dari latar sederhana, Handry anak tunggal keluarga perantau Minang. Pendidikan rumah memberinya fondasi kemandirian dan keteguhan menempuh pilihan hidup. “Jangan pernah tanggung meraih pencapaian,” katanya.
Pada 1989, Institut Pertanian Bogor mencatatkan dia sebagai alumnus terbaik. Gelar Mahasiswa Teladan Nasional diraihnya di tahun yang sama. Doktor strategi manajemen dari Universitas Indonesia ini pernah pula menempuh pendidikan eksekutif di Harvard Business School.
General Electric (GE)—raksasa teknologi dan energi dunia itu—menawari dia bergabung pada 1997. Handry cuma perlu 13 tahun bergerak dari tukang jualan alias salesman ke kursi Presiden dan CEO GE Indonesia. Ia lulusan universitas dalam negeri pertama yang memimpin GE Indonesia sejak perusahaan multinasional Amerika itu beroperasi di Indonesia, pada 1940.
Handry tak pernah melupakan impiannya bergelut di dunia pendidikan. Dia mengajar di sekolah, universitas, lembaga pendidikan informal, aneka perusahaan, dengan tema leadership. Selama mengajar itulah, Handry melacak anak-anak muda berpotensi pemimpin masa depan. Mereka dia tawari dididik di GE, atau organisasi bisnis lain yang punya perhatian serupa.
Apa yang paling dia rindukan dalam hidup? “Ada saat ketika saya ingin sekali punya sepasang kaki,” katanya. Kanker getah bening menyerang Handry pada usia 17, lalu memindahkannya ke kursi roda mulai usia 18.
Melampaui tahun-tahun berat, Handry bertekad ke luar dari arena penuh kesukaran itu sebagai pemenang: menerima kondisinya dengan ikhlas, kembali ke sekolah. Lalu, mulai memahat prestasi demi prestasi.
Jakarta, 9 Juli 2012
Kepada para pemimpin Indonesia masa depan
Di mana pun Anda berada
Di dunia yang semakin global
Saat saya menulis surat ini kepada Anda, dunia yang saya huni ini mampu membuat 112 buah mobil dalam 1 menit, menerbangkan orang nonstop dari Singapura ke New York dalam 18 jam, dan menghasilkan produk made in the world seperti celana jeans yang saya pakai sekarang. Karena, walaupun saya beli di Bandung dan berlabelkan Made in Indonesia, celana ini melibatkan lebih dari 15 negara dalam value chain pembuatannya.
Malam ini, ketika surat ini saya ketik dengan komputer yang mampu mengumpulkan 411 juta informasi dalam 0,23 detik untuk pencarian kata leadership, saya membayangkan keterbatasan mencari pengetahuan yang dihadapi ayah saya, saat mimpinya untuk sekolah sirna karena perang yang berkecamuk. Saya memikirkan daya apa yang dimilikinya, sehingga dia berani mendobrak keterbatasannya dengan merantau dengan berjibaku untuk survive di berbagai kota di Sumatera hingga akhirnya sampai di Jakarta, tidakkah dia takut dengan keterbatasannya?
Usianya baru 15 tahun saat itu, dan hidup tidak berjalan sesuai yang diinginkan. Saya juga terkenang dengan peristiwa mengerikan yang saya hadapi sendiri pada tahun 1987, ketikasaya tiba-tiba divonis menderita kanker lymphoma nonhodkin-kanker kelenjar getah bening, yang tumbuh di medulla spinalis saya dan merusaknya sedemikian rupa sampai saya kehilangan kemampuan untuk berjalan. Bulan-bulan yang melelahkan karena harus berobat ke sana ke mari, dan akhirnya berujung kepada keharusan menjalankan hidup dengan kursi roda. Saya ingat betul betapa takutnya saya untuk menjalani hidup saat ini. Keterbatasan menghadang dibanyak hal.
Usia saya baru 17 tahun waktu itu, dan hidup berjalan jauh dari yang saya harapkan. Apa yang bisa dilakukan ketika keterbatasan seakan menjelma menjadi tembok besar dan ketakutan adalah anak panah berapi yang terus dilontarkan kepada kita sehingga kita tidak berani maju dan terus mundur?
Saya, dan mungkin juga ayah saya waktu itu, memulainya dengan menerima kenyataan. Menerimabahwa jalan tidak lagi mulus, bahwa lapangan pertempuran saya jelek, dan amunisi saya tidak lengkap. Reality bites kata orang. Betul itu, tapi menerima “gigitan” itu berguna untuk membuat kita mampumenyusun strategi baru. Menghindarinya atau lari darinya justru membuat kita terlena mengasihanidiri kita terus menerus dan menenggelamkan kemampuan kita untuk dapat melawan balik.
Kemudian saya mengumpulkan kembali puing-puing mimpi saya. Tidak! Mimpi tidak akan pernah mati. Manusia bisa dibungkam, dilumpuhkan, bahkan dibunuh, tapi mimpi tetap akan hidup. Ketika keterbatasan dan ketakutan melanda, mimpi kita mungkin pecah, runtuh dan berserakan, tapi tidakakan hilang. Dengan usaha keras kita bisa menyusun kembali, dan ketika mimpi telah kembali utuh, ia akan hidup, menyala, dan memberi cahaya terhadap pilihan jalan yang akan ditempuh untuk mewujudkannya.
Duapuluh enam tahun menjalani kehidupan dengan kursi roda membuat saya semakin yakin bahwa Yang Maha Kuasa memang telah menciptakan kita untuk menjadi mahluk yang paling tinggi kemampuan survival-nya di muka bumi ini. Kita diberikan rasa takut, yang merupakan mekanisme primitif yang dimiliki organisme untuk survive, yaitu keinginan untuk lari dari ancaman, atau … melawannya! Ketika pilihannya adalah melawan, maka perangkat perang telah disiapkannya untuk kita. Perangkat itu terwudud dari kemampuan bouching back-–daya pantul, yang jika digunakan mampu membuat kita memantul tinggi ketika kita dihempaskan ke tanah. Kitalah yang bisa membuat daya pantul itu bekerja. Jika kita tak ingin melawan, perangkat perang tersebut bahkan tidak akan hadir.
Berpuluh kali, atau beratus kali atau mungkin beribu kali atau mungkin beribu kali saya diserang rasa takut ketika menjalani kehidupan dengan kursi roda ini. Ketika membuat pilihan kembali sekolah, ketika menyeret kaki untuk menaiki tangga bioskop agar bisa menemani wanita pujaan menonton, ketika memutuskan untuk kuliah, ketika menhadapi empat lantai untuk bisa praktikum kuliah, katika harus menjalani kemoterapi, ketika memulai bekerja, katika naik pesawat, ketika akhirnya bisa ke luar negeri, ketika melamar calon istri, ketika mulai bekerja di GE yang penuh dengan orang asing, ketika menerima tawaran untuk memimpin GE di Indonesia…. Saya takut. Tembok besar berdiri tegak, angkuh, dan ribuan panah berapi menghujani saya.
Namun, seiring dengan rasa takut yang timbul tersebut, mimpi saya untuk dapat menjalankan dan menikmati hidup menerangi jalan yang ingin saya tempuh. Dan ketika perangkat perang–semangat untuk memantul, saya gunakan, saya seakan menjelma menjadi jendral yang siap perang, yang didukung oleh ribuan pasukan–keluarga, teman, bahkan orang yang tak dikenal, yang tiba-tiba hadir karena mereka percaya terhadap keyakinan saya. Saya maju berperang, dengan keyakinan bahwa peperanganlah yang harus saya jalani, saya nikmati. Hasil peperangan sendiri tidaklah terlalu penting, karena kalaupun kalah, toh saya akan berperang lagi. Kalau mati saya akan mengakhiri perang dengan senyum, karena saya tahu saya telah berjuang dengan sebaik-baiknya. Sang Penciptalah yang pada akhirnya memilihkan hasil dari perjuangan kita.
Menjadi pemimpin bermula dari memimpin diri sendiri. Mewujudkan mimpi yang akan dicapai. Tidak perlu membayar orang untuk jadi pengikut. Jika mereka melihat anda dengan penuh keyakinan berani memimpin diri anda sendiri, mereka akan mengikuti dan membantu anda dengan tulus, serta percaya kepada kepemimpinan anda.
Saat saya menulis surat ini kepada anda, dunia tempat saya hidup sekarang ini menghasilkan pendapatan kotor setahun 70 triliun dolar AS. Sektar 40% dari pendapatan dunia tersebut dihasilkan oleh 500 korporasi terbesar dunia, dan tidak ada satu pun yang berasal dari Negara kita (133 dari Amerika Serikat. 79 dari Cina, 8 dari India). Terdapat sekurangnya 136 negara yang berkompetisi di dunia ini untuk mendapat keuntungan terbanyak dari prosese ekonomi global, dan daya saing Indonesia terukur pada ranking 46. Singkat kata, kita masih belum menjadi pemeran utama di panggung dunia yang tak berhenti mengglobal.
Pekerjaan rumah anda sebagai pemimpin Indonesia tidaklah mudah. Tidak berarti, tembok besar dan ribuan panah api bisa menghentikan langkah anda berperang.
Sumber: Surat Dari & Untuk Pemimpin, Penulis: Handry Satriago, Hal: 198-200.