Tak Percaya Fengsui

Jul 12, 2014 No Comments by

Anak pegawai negeri ini sempat kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, tapi terhenti pada 1956. Ia menghadapi kesulitan biaya. Joe, anak sulung dari sebelas bersaudara, itu lalu bekerja apa saja, dari menjadi klerek sampai tukang catut. Modalnya cuma kepercayaan.

Pada 1959, Joe menjadi freelance salesman. Ia menawarkan mesin dan alat perlengkapan kantor. Sepuluh tahun kemudian, ia mendirikan PD Matahari. Sesuai dengan perkembangan usahanya, pada 1978 nama itu diubahnya menjadi PT Datascrip. Kantornya pun pindah dari sebuah toko kecil ke Kawasan Niaga Kemayoran, Jakarta Pusat.

Meskipun PT Datascrip relatif sukses, Joe sempat terengah-engah menghadapi berbagai gejolak ekonomi. Kendala paling berat yang ia rasakan adalah saat ikut diterpa krisis ekonomi 1997-1998—ditambah korupsi dalam perusahaan. Beruntung, semua itu akhirnya bisa diatasi.

Kunci sukses Joe adalah kepercayaan kepada para karyawan, yang disertai pengawasan. “Saya selalu memberikan kepercayaan kepada karyawan dan klien. Itu tetap dipelihara sampai sekarang,” ujar pengusaha yang tidak mempercayai horoskop ataupun feng sui itu. “Keberhasilan usaha adalah buah perencanaan dan perhitungan yang matang.”

Joe berpegang pada “Tiga K”: kemauan, kemampuan, dan kesempatan. Ketiga hal ini, menurut penggemar penyanyi Harry Balafonte itu, harus dijalankan secara simultan dan penuh keyakinan. Obsesinya banyak yang belum tercapai. “Saya ingin Datascrip menjadi sebuah pusat elektronik,” kata pengagum Bung Karno itu.

Waktu luang ia gunakan untuk tidur dan berolahraga. Ini membuat kondisi fisik penggemar olahraga selancar angin itu cukup terjaga. Pada 1990, ia nyaris celaka digulung ombak saat berselancar. “Selama satu hari satu malam saya terapung di Laut Jawa,” katanya.

Untungnya ia tetap tenang, sehingga nyawanya selamat. Itu menjadi pengalaman paling berkesan dan membuatnya semakin percaya pada kekuasaan Tuhan.

 

Dari Salesman ke Salesman

Banyak orang merasa malu dan minder bila harus memperkenalkan dirinya sebagai salesman. Banyak kawula muda yang setelah menerima pendidikan akademik, jika ditanya anda mau kerja apa. Dalam pikiran mereka pokoknya dapat kerja dulu, untuk nantinya jadi manajer. Kalau ditanya lebih spesifik apakah mau bekerja menjadi salesman, kebanyakan mereka menyeringai.

Bekerja sebagai salesman bukanlah menjadi pilihan yang pertama, kedua, atau ketiga. Tetapi adalah pekerjaan terpaksa yang diterima kalau tidak ada pekerjaan yang lain, sambil melihat-lihat kesempatan yang terbuka. Padahal profesi salesman adalah fungsi yang sangat diperlukan dalam setiap organisasi bisnis. Tidak ada satu usaha apa pun yang bisa bertahan tanpa menjual. Business without Sales is junk. Padahal baru merasa malu dan minder kalau kita melanggar kejujuran kita, berbohong, menipu dan korupsi, bukan karena profesi yang kita jalankan.

Dalam pengalaman, saya merasa menjalankan tiga episode kehidupan:

I Eat to Live

Di jenjang kehidupan pertama, lepas dari sma, saya cukup bingung, tidak tahu bagaimana menghadapi kehidupan di depan saya. Saya beberapa kali bekerja tetapi dalam waktu singkat selalu ke luar karena tidak merasa mendapatkan kepuasan. Baru berhenti lagi bekerja, saya coba menjualkan barang–barang kepunyaan orang lain dan pekerjaan apa saja yang dapat saya kerjakan. Saya tidak mengenal apa yang namanya visi/misi, apa pun saya kerjakan asal bisa makan untuk hidup.

I Live to Eat

Dengan menjualkan barang yang kepunyaan orang lain, saya tidak mendapatkan gaji, tetapi mendapat komisi. Tidak ada penjualan tidak ada komisinya, tetapi saya bebas dan tidak terikat pada disiplin perusahaan. Namun, punya disipilin tinggi atas diri sendiri, di samping motivasi, apresiasi, menyalahkan, atau menertawakan diri sendiri. Dengan profesi sebagai freelance salesman saya sebetulnya memupuk networking, baik dari kalangan penjual maupun pembeli, sehingga saya berani mendirikan perusahaan Datascrip yang bermula sebagai kios kecil. Saya menikmati dan mensyukuri apa yang saya capai setapak demi setapak. Di saat inilah saya memasuki episode kedua kehidupan saya. Saya menikmati apa yang saya kerjakan, saya bisa makan lebih enak dan bergaya. Saya hidup untuk makan…..

Di dalam menumbuhkembangkan perusahaan, saya berpikir kenapa orang mau bekerja pada saya. Saya melihat orang mau melakukan atau tidak melakukan sesuatu hanya untuk memuaskan kepentingannya sendiri terlebih dahulu. Untuk itu dia memerlukan orang lain. Kalau rasa kepuasan dan kepentingannya tidak terpenuhi, maka orang tidak mau bekerja untuk kita. Kenyataan itu saya manfaatkan menjadi empat prinsip berpikir didalam manajemen.

Berhasil di Atas Keberhasilan

Kita harus memuaskan dan membuat bawahan kita berhasil kalau kita mau berhasil. Jangan mencari kepuasan diatas pundak penderitaan orang lain.

CARE (Customer interest, Attentive, Responsive, Efficient)

Sebagai perusahaan, kita pertama kali harus mengutamakan pada kepentingan pelanggan, diikuti dengan sikap yang attentive, responsive, dan efisien.

Jualan itu mudah, tetapi menjadi sulit dan bisa stress bila kita salah pendekatannya. Pahami dulu apa tujuan orang membeli?

Setiap orang yang membeli ingin mendapatkan perasaan senang atas dirinya dan atas barang yang dibelinya. Mengerti hal itu, saya membantu orang untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Saya mengurangi perasaan stress saya karena saya tidak berusaha membuat orang melakukan apa yang dia tidak mau melakukannya. Melainkan saya membantu apa yang ingin dilakukannya. Dengan demikian seolah–olah saya berenang bersama arus, tidak melawan arus. Pembeli yang senang kepada saya, menjadi promotor saya untuk mereferensikan saya kepada yang lain. Jangan lupa setinggi apa pun kedudukan Anda dalam perusahaan, anda tetap seorang salesman, walaupun seorang presiden direktur.

SMILE (Share, Motivate, Improve, Lead, Eficient)

Di dalam keorganisasian dan manajemen kita perlu membagi pengalaman, pengetahuan, memberikan motivasi, perbaikan, memberikan pimpinan dan efisien.

COCOCOCO (Communicate, Cooperate, Coordinate, Commitment)

Di dalam manajemen kita perlu berkomunikasi, bekerja sama, berkoordinasi dengan komitmen.

Keempat prinsip berpikir itu saya jadikan budaya perusahaan yang disebut Catur Sila.

I Live for Life

Memasuki episode ketiga waktu saya berumur 70 tahun (sekarang 75), saya mulai lagi mencari jawaban kehidupan saya selanjutnya… what am I living for?

Jawaban yang saya temukan adalah saya hidup untuk kehidupan (I live for life) saya mau perusahaan saya, kehidupan saya bermanfaat bagi orang lain. Saya mau berguna bagi kehidupan orang lain……

Sumber: Surat Dari & Untuk Pemimpin, Penulis: Joe Kamdani, Hal: 157-159.

Cerita Perubahan, Mengawal Perubahan

About the author

The author didnt add any Information to his profile yet
No Responses to “Tak Percaya Fengsui”

Leave a Reply