Wawasan Jurnalisme Sejuk

Mar 29, 2014 No Comments by

Petrus Kanisius Ojong dan Jakob Oetama adalah duet tanpa tanding di dunia bisnis media di Indonesia. Bermula dari majalah Intisari yang terbit pertama kali pada 1963, Kompas-Gramedia yang mereka dirikan kini menjelma menjadi kelompok bisnis media terbesar di Indonesia. Jakob menjadi pengendali bahtera Kompas setelah Ojong meninggal pada 1980.

Semua berawal pada 1955, ketika Jakob menjadi redaktur mingguan Penabur di Jakarta. Dari sana, karir jurnalistik Jakob dimulai. Dua tahun setelah Intisari, keduanya menerbitkan Kompas. Edisi perdana terbit pada 28 Juni 1965.

Sejak berdiri, Kompas bertekad menjadi harian yang independen dan berimbang, yang mampu mengimbangi pemberitaan koran lain yang cenderung sektarian dan ideologis. Saat itu, hampir semua koran berafiliasi dengan partai. Terbukti kemudian, hampir semua media yang terbit pada 1960-an tutup, sebaliknya Kompas menjadi harian terbesar di Indonesia.

Kelompok Kompas-Gramedia tidak saja menjadi konglomerasi media, tapi konglomerasi bisnis. Kelompok ini telah merambah dunia bisnis pendidikan dengan mendirikan Universitas Multi Media Nusantara, dan juga ke bisnis perhotelan melalui rantai hotel Santika. Pada 2011, Jakob masuk dalam orang terkaya versi Majalah Forbes dengan kekayaan sebesar US $ 130 juta.

Sebagai wartawan, Jakob dikenal dekat dengan tokoh-tokoh jurnalisme Indonesia. Dia belajar dari para wartawan senior. “Dalam soal-soal jurnalistik, Ojong itu guru saya, selain Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar,” katanya.

Pada 2001, alumnus Jurusan Publisistik, Fakultas Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada ini menerima gelar doktor honoris causa (DR HC) dari almamaternya. Jakob dinilai berhasil mengembangkan wawasan dan karya jurnalisme bernuansa sejuk, yang kini telah menjadi referensi bagi kehidupan jurnalisme di Indonesia.

 

Chairman Kelompok Kompas Gramedia

Dihitung sejak bekerja di majalah Penabur, tahun 1957 sampai sekarang, lebih dari 55 tahun perjalanan hidup saya ada di dunia media. Diselingi peristiwa-peristiwa penting, di antaranya bersama PK Ojong, saya merintis dan mendirikan majalah Intisari tahun 1963 dan harian Kompas tahun 1965. Profesi saya adalah wartawan, dan merasa lebih bangga dibanding menyandang jabatan-jabatan lain yang kemudian menjadi tanggung jawab saya.

Hanya ada dua kata yang senantiasa hinggap di hati dan sanubari saya. Terima kasih dan bersyukur. Sebab dengan kelebihan dan kekurangan, saya dipercaya menjadi talang kebahagiaan bagi banyak orang. Dengan kelebihan dan kekurangan manusiawi itu saya buat maksimal talenta yang dianugerahkan Sang Pencipta. Kesuksesan memang buah kerja keras manusia, tetapi juga berkat penyelenggaraan yang Ilahi (providentia dei).

Manusia harus bekerja. Homo faber tidak saja afirmasi manusia harus mencukupi kebutuhannya agar survive, tetapi juga bagian integral dari sisi kemanusiawiannya untuk mengekspresikan diri. Tumbuhan dan binatang, sesuai gradasi dan kodratnya, juga bekerja agar hidup. Manusia bekerja tidak hanya didorong untuk hidup, untuk berprestasi terus maju, tetapi juga memenuhi panggilan hidup. Karena itu jenis pekerjaan, apa pun jenisnya, bagi manusia menjadi lebih berbobot kalau tidak hanya ditempatkan sebagai mencari makan (survival), sebagai profesi (professional), tetapi juga sebagai panggilan hidup (vocation).

Dalam konteks profesi yang saya geluti lebih dari 55 tahun, saya merasa profesi wartawan nyaris menjadi lebih sempurna ketika tidak hanya ditempatkan sebagai pekerjaan, tidak sebagai karier, tetapi sebagai panggilan hidup. Terus mencari, terus menggoyangkan diri agar tidak merasa mapan agar menjadikan kita terus gelisah, terus bertanya, terus memburu informasi dan menyampaikannya (memberi makna) bagi khalayak.

Kalau saya boleh memberi nasihat bagi calon-calon pemimpin Indonesia, satu kata saja: bekerja! Wartawan bukan satu-satunya profesi. Banyak profesi lain, dan setiap profesi selalu bermartabat, sejauh kita bisa menempatkannya sebagai bagian dari upaya pemanusiawian kita secara pribadi maupun sebagai bagian dari masyarakat, sebagai panggilan hidup.

Bekerja! Bekerja! Bekerja! Pekerjaan menjadi bermartabat kalau diupayakan semaksimal mungkin, dalam tata krama kemasyarakatan umum, dedikatif, menjunjung etika dan perilaku jujur. Pekerjaan pun, praksis selain demi kepentingan pribadi juga demi kepentingan publik (pro bono publico).

Sumber: Surat Dari & Untuk Pemimpin, Penulis: Jakob Oetama, Hal: 109-110.

Cerita Perubahan, Mengawal Perubahan

About the author

The author didnt add any Information to his profile yet
No Responses to “Wawasan Jurnalisme Sejuk”

Leave a Reply