Haruskah CSR Diatur secara Legal?

Sep 27, 2013 No Comments by

Penelokan dunia usaha terhadap undang-undang perseroan terbatas (UU PT) yang mencakup pasal tentang CSR (Corporate Social Responsibility) harus disikapi dengan hati-hati oleh pemerintah. Dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas (RUU PT) tersebut, point yang paling disoroti adalah kewajiban melaksanakan CSR. Dunia usaha mengkhawatirkan UU tersebut akan menjadi kewajiban perusahaan untuk mengalokasikan dana CSR.

Kekhawatiran praktik pungutan liar ini sesunguhnya sudah menjadi rahasia umum. Banyak kewajiban tak tertulis yang mesti ditanggung dunia usaha, berupa bantuan pendanaan atau fasilitas yang harus disiapkan kepada berbagai pihak. Lebih jauh penerapan UU PT akan mengurangi daya saing perusahaan yang pada gilirannya akan mengurangi minat investor.

Pertanyaan berikutnya apakah alokasi dan CSR akan menjamin efektivitas program CSR?

Kekecewaan masyarakat dan pemerintah akan minimnya peran serta dunia usaha dalam implementasi CSR selama ini lebih banyak secara sukarela (voluntary) dan kedermawanan (philantropy). Sehingga jangkauan program CSR relative terbatas dan tidak efektif. Bahkan program CSR yang mereka laksanakan tidak lebih dari upaya untuk meningkatkan image perusahaan dimasyarakat, bahkan hanya di mata konsumennya.

Oleh karena itu, beberapa perusahaan secara struktural sering kali menempatkan fungsi pelaksanaan CSR di bawah departemen atau divisi humas (Public Relation). Dengan pandangan seperti ini, maka tidak heran kalau pelaksanaan CSR tidak lebih dari tujuan membangun citra positif, atau sekadar membangun hubungan harmonis (Living in Harmony) semata. Dengan kata lain tidak ada gejolak sosial, sehingga dapat dianggap sebagai strategi ‘nina bobo’.

Kami melihat, merasakan, dan menyaksikan betapa program-program yang tampaknya baik dipermukakan, ternyata hanya sekadar lips service semata. Sebaliknya juga ada program-program yang memang sangat menyentuh kebutuhan masyarakat setempat. Dan perusahaan semacam itu jumlahnya tidak sedikit. Setiap tahun mereka menjaring pendapat masyarakat sekitar, untuk mengembangkan dan memperbaiki program yang sudah ada.

Mengapa mereka bisa menjalankan program CSR dengan baik? Jawabannya, karena mereka sudah berperoses dalam jangka waktu yang sangat panjang. Sebelum istilah CSR popular, mereka sesungguhnya sudah lama menjalankan berbagai program semacam itu sehingga sudah menyatu dan mendarah daging dalam kegiatan mereka sehari-hari, karena sudah menjadi bagian dari kebijakan perusahaan.

Tentu kita tidak akan berhenti pada pemahaman dua titik ekstrem tersebut, harus dicarikan jalan keluar agar pelaksanaan CSR dapat berjalan untuk kepentingan semua pihak. Meskipun ada banyak fakta bahwa program community development yang merupakan bagian paling penting dari implementasi CSR di Indonesia ini, banyak yang berhasil dengan baik, serta memberi dampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat.

Namun masih banyak program yang dilakukan bersifat sporadis, menunggu proposal masuk dan atau permintaan yang datang. Umumnya program semacam ini tidak berkelanjutan bahkan dibeberapa tempat malah tumpang tindih dengan program pemerintah daerah, sehingga program menjadi sangat tidak efektif.

 

Perlunya Dukungan Pemerintah

Di lain pihak pemerintah termasuk pemda belum dapat menjadi mitra yang baik bagi dunia usaha dalam pelaksanaan CSR. Bahkan di banyak daerah keterlibatan daerah keterlibatan pemerintah hanya menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Hal-hal seperti inilah yang sesungguhnya menjadi prioritas untuk segera dibenahi dengan melibatkan seluruh stakeholder; pemerintah pusat dan daerah, masyarakat (tokoh agama, tokoh adat), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan dunia usaha itu sendiri.

Pelaksanaan CSR dibeberapa Negara mestinya bisa menjadi referensi bagi implementasi CSR di Indonesia, seperti disinggung oleh Mulyadi Sumarto (‘CSR layaknya buah Simalakama’ Kompas, Rabu 15 Agustus 2007). Dalam konteks saat ini, yang lebih penting bagaimana stakeholder; pemerintah, masyarakat dan dunia usaha dapat membuat regulasi atau ketentuan (code of conduct) yang disepakati bersama dalam rangka mengefektifkan program CSR.

Secara sederhana dapat dikatakan legalitas dalam bentuk UU untuk mengatur CSR hanya pada level standardisasi makro, misalnya target atau sasaran program CSR, bentuk-bentuk implementasi program, standar penilaian keberhasilan program, koordinasi dengan pihak terkait dan sejenisnya. Sedangkan pada tataran mikro, pelaksanaan diserahkan sepenuhnya pada dunia usaha itu sendiri.

Tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keberhasilan program CSR yang dilaksanakan dunia usaha harus dapat diukur. Pengukuran dalam bentuk penilaian harus dilakukan oleh lembaga independen, sekaligus memberikan pengakuan kepada dunia usaha yang telah berhasil dalam implementasi CSR-nya (pemberian award), sebagaimana yang telah dilakukan pada akhir tahun 2005. Namun demikian, alangkah indahnya apabila inisiatif dan pelaksanaan pemberian penghargaan diberikan oleh pemerintah, atas dasar penilaian yang independen melalui komite atau konsorsium ahli CSR, sebagai pengakuan (recognition) dari pemerintah atas terselenggaranya tanggung jawab sosial oleh dunia usaha sendiri, tak ubah laiknya seperti ‘jeruk makan jeruk’.

Sebaiknya hubungan antara pemerintah dengan dunia usaha dalam konteks CSR adalah dalam bantu kemitraan. Bukan hubungan pengatur dan diatur. Pemerintah dibutuhkan bukan hanya sebagai pembuat kebijakan, melaikan juga sebagai fasilitator dan dinamisator. Bahkan untuk beberapa kasus, pemerintah seharusnya menjadi inisiator seperti dalam kampanye peningkatan peduli CSR di kalangan dunia usaha.

Tidak hanya sampai di situ, pemerintah juga dapat menjadi KOORDINATOR, dengan menggalang dunia usaha untuk melakukan berbagai kegiatan CSR. Tapi bukan sebagai koordinator pelaksanaan program CSR, karena hal ini dikhawatirkan akan ‘mengundang’ hal-hal yang berbau KKN, atau rembesan dana yang mengalir ke masyarakat akhirnya masih kena ‘cukai’ operasionalisasi program. Hal ini tentu tidak diharapkan, bahkan sangat dihindari oleh dunia usaha!

Disarikan pada buku: CSR dalam Praktik di Indonesia, Pengarang: Jackie Ambadar, Hal: 6-9.

Bentuk Penggalangan, Mobilisasi Sumberdaya

About the author

lingkarLSM hadir untuk menemani pertumbuhan. Kami mengidamkan masyarakat sipil yang jujur dan punya harga diri. Kami membayangkan ribuan organisasi baru akan tumbuh dalam tahun-tahun perubahan ke depan. Inilah mimpi, tujuan dan pilihan peran kami. Paling tidak, kami sudah memberanikan diri memulai sebuah inisiatif; dan berharap langkah kecil ini akan mendorong perubahan besar.
No Responses to “Haruskah CSR Diatur secara Legal?”

Leave a Reply