Erat, Silang Budaya Indonesia
Budaya Tionghoa Menyatu dengan Budaya Lokal
Kebudayaan Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sentuhan budaya asing, salah satunya dari Tionghoa. Bahkan, silang budaya antara Tionghoa dan masyarakat lokal di Nusantara telah terjalin jauh sebelum kemerdekaan Indonesia.
”Hasil silang budaya ini harus dilestarikan,” kata Sasmiyarsi Katoppo, Ketua Lingkar Budaya Indonesia (LBI), saat membuka ”Diskusi dan Pameran Jejak Langkah Kaum Peranakan Indonesia, Silang Budaya Negeri China dan Nusantara”, di Jakarta, Kamis (28/11).
Acara itu diselenggarakan LBI dengan menghadirkan sejumlah pembicara peranakan Tionghoa, yakni sinolog Myra Sidharta, penulis buku kuliner peranakan Aji Bromokusumo, dan pakar batik pesisiran sekaligus Direktur Indonesian Pluralism Institute William Kwan.
Myra menjelaskan, persinggungan antara orang China dan masyarakat lokal di Nusantara antara lain lewat hubungan dagang dan perkawinan. Kerajaan Sriwijaya, misalnya, menjalin hubungan dagang dengan kekaisaran China pada abad ke-7-12 Masehi, sedangkan Majapahit sekitar abad ke-13-16 Masehi.
Tak jarang terjadi perkawinan silang antara orang Tionghoa dan penduduk di Nusantara. ”Dari sanalah kemudian terjadi akulturasi budaya, budaya Tionghoa bersatu dengan budaya lokal,” ujarnya.
Myra mencontohkan akulturasi budaya di Pulau Bangka Belitung. Sekitar abad ke-17, ketika ditemukan timah di sana, Kesultanan Palembang Darussalam mengambil tenaga ahli penambangan timah dari daerah Hakka di China bagian selatan.
”Dari situ terjadi silang budaya di Pulau Bangka Belitung. Bahkan, hampir semua sendi kehidupan lokal mendapat sentuhan Tionghoa, seperti kuliner, kesenian, dan bahasa,” ucapnya.
Berbicara soal kuliner, Aji mengatakan, hampir semua makanan populer di Indonesia merupakan hasil akulturasi budaya antara Tionghoa dan Indonesia. Mi misalnya. Bahan pangan itu merupakan makanan pokok di negeri China, tetapi kini mi sudah menjadi makanan pokok bayangan di Indonesia.
Demikian pula bakso, bakpia, dan somay. Makanan-makanan itu dipopulerkan orang-orang Tionghoa yang berimigrasi ke Nusantara. Makanan itu kemudian disesuaikan dengan sumber daya, selera, dan budaya lokal.
Adapun di bidang kesenian, akulturasi budaya antara Tionghoa dan Indonesia bisa dilihat dari corak, desain, dan warna batik pesisiran. (DRI)
Sumber: KOMPAS, Jumat, 29 November 2013.