Bumi dengan Tujuh Miliar Manusia

Okt 31, 2011 No Comments by

Oleh: Sri Moertiningsih Adioetomo.

Jumlah penduduk besar dapat menjadi peluang ataupun tantangan bagi kesejahteraan umat manusia, bergantung pada kebijakan dan tindakan pemerintah. Pertumbuhan ekonomi 8 persen dan berkualitas adalah salah satu kunci memanfaatkan peluang tersebut.

Jumlah penduduk dunia mencapai 7 miliar pada 31 Oktober 2011, dengan pendulum demografi bergeser ke negara dengan penurunan kelahiran sangat lambat dan stagnan seperti Indonesia. Saat ini Indonesia menyumbang 3,5 persen jumlah penduduk dunia, tak akan turun jadi 3 persen sebelum 2060.

Transisi demografi Indonesia menciptakan bonus demografi dan terbukanya jendela peluang yang jadi landasan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Ibarat satu keluarga yang terdiri dari empat orang, tiga anggotanya bekerja hanya menanggung satu anak. Chatib Basri (Kompas, 7 Juni 2011) mengatakan, jendela peluang ini akan dapat dimanfaatkan apabila pertumbuhan ekonomi mencapai 8 persen.

David Bloom (2011) membuktikan hal ini dengan membandingkan Indonesia dan Nigeria, yang pada 1960 punya karakteristik sama. Keduanya berpenduduk mayoritas Muslim, pengekspor minyak bumi, pertumbuhan ekonomi rendah, struktur umur penduduk sarat anak yang belum produktif, dan usia harapan hidup sama rendahnya.

Akan tetapi, pada 2010, produk domestik bruto (PDB) per kapita Indonesia meningkat jadi hampir 1.000 dolar AS. Sebaliknya, PDB Nigeria tetap sekitar 400 dollar AS dengan rasio pekerja per anak 1.25. Keberhasilan Indonesia ini dicapai berkat pengendalian kelahiran dan peningkatan usia harapan hidup, yang tidak dilakukan oleh Nigeria. Para ekonom demografer berpendapat bahwa The East Asian Miracle terjadi karena sumbangan transisi demografi sebesar 25-30 persen.

Tujuh isu

United Nations Population Fund (UNFPA) mengingatkan, ada tujuh isu kependudukan yang harus diprioritaskan untuk menciptakan dunia yang sehat. Pertama, pengurangan kemiskinan mampu memperlambat laju pertumbuhan penduduk. Penduduk yang terbebas dari kemiskinan mampu mengakses kontrasepsi.

Kedua, peningkatan pemberdayaan perempuan mendorong mereka membuat keputusan sendiri dan memicu percepatan kemajuan di segala bidang. Akan tetapi, Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007 mencatat masih adanya perempuan yang tak berani mengambil keputusan sendiri untuk ber-KB dan jumlah anak yang ingin dimiliki. Di lain pihak, masih banyak laki-laki tak rela melepaskan perempuan membuat keputusan sendiri (Nafis Sadik, 2011).

Ketiga, menyiapkan anak muda menghadapi kehidupan yang cerah melalui kemampuan beradaptasi dan berkomunikasi dengan teknologi yang akan mampu mentransformasi politik global dan kultur. Namun, lebih dari 60 persen pekerja umumnya menciptakan pekerjaannya sendiri di sektor informal dengan penghasilan tak menentu dan tak terlindungi jaminan sosial.

Kalau jadi orangtua, mereka tak akan mampu menyekolahkan anaknya serta membawa ke dokter atau rumah sakit untuk mendapatkan perawatan kesehatan. Pada gilirannya, jika anak-anak ini menjadi orangtua, mereka juga akan tetap miskin dan rantai kemiskinan pun berlanjut.

Oleh karena itu, keempat, kesehatan dan hak reproduksi jadi prioritas untuk memastikan semua kelahiran dikehendaki, dan semua ibu melahirkan secara aman dan terhindar dari kematian. Pemerintah menyadari hal ini, tetapi di lapangan terlihat para pemberi pelayanan lebih mengutamakan statistik untuk mencapai MDG-5, ketimbang mengutamakan kesehatan maternal sesuai standar pelayanan minimal. Dokter dan bidan takut melaporkan kematian ibu dan mengabaikan rujukan ke pemberi pelayanan yang lebih tinggi.

Kelima, melindungi lingkungan dari segala kerusakan akibat ulah manusia agar tercipta planet yang sehat dan umat manusia yang sehat. Di bidang demografi, penurunan fertilitas meningkatkan jumlah rumah tangga dengan anggota lebih kecil. Tampaknya tradisi tiga generasi tinggal dalam satu atap layak dipertahankan. Selain mengurangi emisi, juga tersedianya perawatan bagi lansia yang tinggal bersamanya.

Keenam, fase baby boom yang amat besar kini (telah) menjadi lansia. Kebijakan pemerintah untuk menyediakan bantuan sosial secara gratis untuk lansia miskin agar mendapatkan pelayanan kesehatan fisik dan mental hendaknya diprioritaskan mulai sekarang. Kaum muda harus mulai menerapkan gaya hidup sehat, tidak merokok, minum alkohol dan menghindari narkoba, asupan gizi yang baik, serta berolahraga agar menjadi lansia sehat dan mandiri.

Terakhir, ketujuh, mengantisipasi pertumbuhan perkotaan. Proyeksi Bappenas dan BPS menghasilkan bahwa pada 2025 sekitar 80 persen Pulau Jawa akan jadi daerah perkotaan. Padahal, Jawa memproduksi sekitar 60 persen padi-padian dan jagung untuk konsumsi seluruh Indonesia. Lalu, di mana kita akan menanam padi?

Jadi, peluang jumlah penduduk yang besar dapat dimanfaatkan jika upaya menurunkan kelahiran terus berlanjut dan ketujuh prioritas dijalankan dengan serius. Dengan memahami dinamika penduduk dan konsekuensinya, serta mengambil tindakan yang proaktif, hal itu akan mampu meningkatkan kesejahteraan.

Sri Moertiningsih Adioetomo Guru Besar Ekonomi Kependudukan FEUI; Ketua Program Pascasarjana Kependudukan dan Ketenagakerjaan UI.

Sumber: KOMPAS, Senin, 31 Oktober 2011, halaman: 6.

Berita

About the author

lingkarLSM hadir untuk menemani pertumbuhan. Kami mengidamkan masyarakat sipil yang jujur dan punya harga diri. Kami membayangkan ribuan organisasi baru akan tumbuh dalam tahun-tahun perubahan ke depan. Inilah mimpi, tujuan dan pilihan peran kami. Paling tidak, kami sudah memberanikan diri memulai sebuah inisiatif; dan berharap langkah kecil ini akan mendorong perubahan besar.
No Responses to “Bumi dengan Tujuh Miliar Manusia”

Leave a Reply