Teguh di Jalan Sunyi
Bertrand de Speville, mantan Ketua Komisi Antikorupsi Hong Kong, pernah mengatakan, memberantas korupsi adalah pekerjaan sunyi.
Jumlah teman menyusut, jumlah musuh melonjak. Ancaman datang bertubi-tubi.
Busyro Muqoddas mengalami hal yang sama. Sejak menjadi pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi, ia dijauhi orang-orang yang semula dekat. Mereka menghindar, antara lain karena Busyro tak bisa “diajak bicara”. Ini lantaran kasus yang melibatkan sanak atau sahabat mereka di KPK maju terus.
Pada akhir 2010, Busyro datang ke KPK ketika lembaga itu sedang loyo. Kasus “Cicak versus Buaya” membikin para personel KPK gamang mengambil keputusan. Akibatnya, penanganan kasus tak maksimal. Dengan masuknya Busyro, KPK pun mendapatkan darah segar.
Ketika menjabat Ketua Komisi Yudisial 2005-2010, Busyro juga membuat gebrakan. Ia mengusulkan seleksi ulang 49 hakim agung, termasuk pemimpin Mahkamah Agung. Alasannya, seleksi sebelumnya tak transparan dan akuntabel. Sayang, usul progresif itu ditentang sejumlah politikus.
Sebelum ke Jakarta, Busyro matang sebagai pengacara publik di Yogyakarta. Di Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Universitas Islam Indonesia, ia pernah mendampingi korban penembakan misterius atau petrus, dan pengebom candi Borobudur. Pada masa Orde Baru, kasus-kasus itu digolongkan subversif.
Kini di KPK , ia terus berkutat memberantas korupsi. Tak hanya menindak, tapi juga mencegah. Dari lima komisioner, Busyro yang paling menguasai kajian sistem dan angka-angka survei. Ia juga terus berkeliling ke berbagai daerah, forum, dan organisasi untuk memprovokasi siapa pun agar berani melawan korupsi.
“Koruptor itu ganas dan buas,” ucapnya di depan Majelis Tafsir Al Quran. “Bahkan mereka merembuk korupsi dengan khusuk, malah mengucapkan ‘Insya Allah’ segala.”
Pimpinan Topeng dan Pemimpin Otentik
Tak pernah menyangka, ketika kami disuguhi pertanyaan sengit: ”KPK Teroris”, “Sayalah yang menyatakan bubarkan KPK”, dan “KPK itu kan anak kami, karena kamilah (DPR) yang melahirkan KPK”. Ada pula “Kami telah salah memilih pemimpin KPK”. Itu kami dengar langsung dalam acara formal di ruang sidang pimpinan DPR. Kami datang resmi mewakili pimpinan KPK atas undangan resmi Pimpinan KPK.
Geli campur lucu dan kocak suasana waktu itu. Tapi kami segera sadar, bahwa sebelumnya KPK telah memanggil resmi pimpinan Banggar DPR dalam waktu bersamaan. Itu terkait dalam tugas penyelidik KPK menjalankan amanat Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang KPK tentang dugaan korupsi anggota Banggar DPR, mbok ya sadar, bahwa kami ini bapakmu lho, maka mbok ya gimanalah, jangan galak, asal panggi …dst (itu tafsir elaborative versi saya). Saya tidak bisa menangapi dengan sengit, malah dengan candaan saja. Karena mereka itu mitra KPK. Apalagi sebagai “anak”, tak sopanlah kalau bertutur kurang sopan kepada “bapaknya”.
Kisah itu lumrah sekali. Bahkan semakin hari kami berhikmat dengan agenda pencegahan dan pemberantasan “penyakit kumuh secara moral” bernama korupsi ini sampai pada kesimpulan, bahwa korupsi pada kelompok tertentu telah menjadi gejala dan kebutuhan baru. Sama dengan pecandu barkoba yang “sakau” jika jeda mengisap obat perusak otak dan struktur tubuhnya itu. Ketagihan heroin bagi pecandunya, agaknya sama dengan komunitas koruptor yang gatal-gatal dan tidak tenteram jika tidak maling harta negara yang sejatinya harta rakyat, yang 40 jutaan masih terkapar di lembah kemiskinan struktural akibat korupsi.
Melawan koruptor dan kader-kadernya adalah misi profektif alias misi kenabian. Butuh modal batin, konsep, sinergi, strategi, kearifan, dan kesabaran yang kreatif. Siap difitnah dan dikriminalisasi sebagaimana rekan saya Pak Bibit dan Pak Chandra Hamzah. Yang dihadapi adalah gabungan kekuatan politik bisnis, calo politik, birokrat yang sedang lemah dan tercerabut dari kesadaran fitnah (otentiknya). Mereka sedang menikmati “berhala neo-jahiliyah”. Berhala itu: ”Hedonisme”. Penyembahannya adalah kaum penikmat kesenangan yang cuma sekadar “bendawi dan duniawi alias profane”. Maka saya faham jika dalam siaran TV nasional, terucap stigma dari seorang tokoh: ”bahwa di KPK ada pimpinan yang Burisrowo”. Ini tersangka dalam korupsi jenis “political corruption”. Baru kali itu dalam hidup saya ada julukan yang tidak edukatif. Anggap saja itu uji kepemimpinan.
Kini, lahir koruptor muda di bawah usia 40 tahunan, selain yang sudah tuek. Sebagaian aktivis partai politik. Parpol telah menjadi lahan menambang duit dengan cara menggangsir APBN/APBD dan BUMN. Penggangsir itu produk kampus. Kini, bisa jadi kampus tidak lagi vokus menyemai pemimpin yang berwatak revolusioner yang antikemapanan yang siap melempari “jumroh-jumroh politik” melalui kekuatan akhlak mulai dari yang ideologi gerakan. Misi mahasiwa telah dihadang oleh kampus, saya sangat yakin, kelas mahasiswalah yang akan berakhir sebagai “the winner”. Dari mahasiswa akan lahir generasi baru pemimpin otentik yang berkarakter dan ideolog pembebasan, bukan pemimpin bertopeng penuh dusta dan kepalsuan.
Sumber: Surat Dari & Untuk Pemimpin, Penulis: M. Busyro Muqoddas, Hal: 57-58.