Filantropi Keadilan Sosial tidak Identik dengan Advokasi
Konsep Filantropi Keadilan Sosial (Social Justice Philantropy / SJP) merupakan sebuah praktek pemberian sumbangan kepada lembaga-lembaga nirlaba yang berupaya dalam proses perubahan struktural dalam upaya mengentaskan kemiskinan dan kesetaraan baik secara ekonomi, sosial maupun politik.
Keterlibatan segelintir individu (kaya) yang selama ini mendominasi panggung karitas tidak menunjukkan dampak yang signifikan bagi pemerataan kesejahteraan kaum tertindas. Bagaimana pula peran lembaga selama ini dalam perwujudan keadilan sosial dan sejauh mana relevansi konsep ini dapat diterapkan di Indonesia? Berikut wawancara langsung Redaktur Pelaksana, Hamid Abidin dan Sekretaris Pelaksana, Yuni Kusumastuti dengan Rustam Ibrahim, Ketua Dewan Pengurus YAPPIKA dan mantan Direktur LP3ES.
Secara umum, bagaimana Anda mendefinisikan konsep Filantropi Keadilan Sosial dan konteks Indonesia?
Mungkin kita mulai dulu dari pengertian filantropi itu sendiri. Filantropi berasal dari kata philos yang berarti cinta atau kasih dan anthropos yang berarti manusia. Jadi, filantropi bisa dimaknai sebagai cinta kasih sesama manusia dan itu diwujudkan dalam bentuk kedermawanan, sedekah, amal dan sebagainya, di mana setiap orang menyisihkan sebagian harta yang dimilikinya untuk membantu orang lain yang membutuhkan. Itu merupakan pengertian filantropi pada tahap awal. Tetapi, pendefinisian yang paling mutakhir melihat filantropi sebagai social investment (investasi sosial), di mana seseorang, sekelompok orang atau organisasi bermitra dengan orang-orang yang dibantunya. Sekarang filantropi tidak lagi dilihat sebagai individu, tetapi juga dilihat sebagai suatu institusi yang bisa memberikan bantuan. Sehingga muncullah istilah corporate philantropy.
Konsep filantropi Keadilan Sosial sebetulnya kurang jelas dari mana asal mulanya. Tapi, kalau kita lihat dari konteks Indonesia, di situ ada konsep keadilan sosial yang menjadi falsafah hidup kita sebagai bangsa dan tercantum dalam salah satu sila dari dasar negara kita, yakni ‘keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’. Kalau kita lihat pandangan-pandangan lain dari segi filosofis misalnya, Aristoteles mengatakan bahkan keadilan sosial adalah pembagian yang adil dalam masyarakat yang didasarkan atas pembagian kepada seseorang sesuai dengan kebutuhannya.
Jadi, menurut saya kalau kita bicara tentang Filantropi Keadilan Sosial di dalam konteks Indonesia sekarang, adalah mengatasi kesenjangan yang timbul dalam masyarakat sebagai akibat dari pembangunan yang dilakukan oleh negara atau lembaga swasta yang menimbulkan disparitas yang tinggi terhadap orang yang menikmati dan tidak menikmati hasil pembangunan, baik dalam bidang ekonomi, sosial maupun politik.
Apakah orang yang semata-mata berderma untuk menolong orang lain tidak bisa dikatagorikan melakukan Filantropi Keadilan Sosial? Bagaimana melihat perbedaan kegiatan filantropi yang hanya sekedar karitas dan filantropi yang berkeadilan sosial?
Tidak semua praktek derma bisa kelompokkan sebagai filantropi untuk keadilan sosial. Untuk melakukan pembedaan itu, saya cenderung menggunakan beberapa faktor yang dikemukakan beberapa pengamat untuk menilai apakah derma yang dilakukan bisa digolongkan dalam filantropi keadilan sosial. Misalnya, Barry Knight mengatakan bahwa ada lima faktor yang bisa dikategorikan sebagai filantropi untuk keadilan sosial. Pertama, pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat, misalnya, makanan, pakaian, perumahan, lingkungan hidup, kesehatan, dsb. Kedua, berderma untuk hal-hal yang berhubungan dengan kesetaraan, seperti kesetaraan gender, anti-diskriminasi, hak asasi manusia. Ketiga, kedermawanan untuk program yang berhubungan dengan pembagian kekuasaan, misalnya penegakan demokrasi. Keempat, dukungan pendanaan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat. Kelima, partisipasi publik di dalam pengambilan keputusan. Kelima program ini bisa dianggap sebagai filantropi untuk keadilan sosial.
Namun, saya tidak setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa filantropi untuk keadilan sosial itu selalu identik dengan advokasi. Itu mengesankan bahwa hanya advokasilah yang bisa mengatasi kesenjangan sosial. Bagi saya, apakah programnya itu advokasi atau development tidak menjadi soal, yang penting program tersebut diarahkan untuk mengatasi kesenjangan tadi baik dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik.
Filantropi Keadilan Sosial merupakan konsep yang masih tergolong baru dan asing. Bagaimana relevansi konsep ini dengan berbagai persoalan yang sedang kita hadapi sekarang? Apakah konsep ini mempunyai prospek yang bagus untuk diterapkan di Indonesia?
Menurut saya, konsep Filantropi Keadilan Sosial sangat relevan untuk diaplikasikan di Indonesia. Kalau kita berbicara tentang perkembangan filantropi di Indonesia, kita selalu berharap kegiatan filantropi itu dipelopori oleh individu, dari orang kaya. Namun, kita harus sadar dan realistis bahwa orang kaya semacam itu masih terbatas sekali jumlahnya. Sepertinya kita lebih tepat bicara tentang kontribusi yang bisa diberikan oleh lembaga atau organisasi. Menurut saya hal ini sangat relevan sekali. Namun, konsep Filantropi Keadilan Sosial merupakan hal yang baru. Karena itu, untuk saat ini agaknya masih sulit mengharapkan organisasi melakukan filantropi untuk hal-hal yang berhubungan dengan redistribusi kekuasaan, HAM, dan partisipasi publik. Karena, pada dasarnya organisasi itu ingin aman, sustainability, dan sedapat mungkin menghindari risiko. Justru konsep Filantropi Keadilan Sosial harus terus dikembangkan dengan berorientasi ke masa depan. Kita bisa saja mengidealisir pengertian Filantropi Keadilan Sosial dengan kegiatan-kegiatan yang lebih ke akar permasalahan masyarakat atau advokasi. Tetapi, pertanyaannya adalah siapa yang mau melakukan itu? Siapa yang kita harapkan memberikan sumbangan untuk itu? Padahal, jika kita bicara dana domestik (bukan dana dari lembaga donor), kita mengharapkannya dari organisasi. Kalau lima faktor yang saya kemukakan tadi dilakukan oleh organisasi, itu berarti filantropi kita berarti sudah sangat maju.
Dari pengamatan saya, filantropi yang dilakukan organisasi yang biasa mereka sebut sebagai program CD (community development) saat ini masih terbatas pada empat hal. Pertama, bidang pendidikan yang di dalamnya sudah termasuk pembangunan fisik, seperti gedung sekolah dan lain sebagainya; kedua, bidang kesehatan; ketiga, lingkungan hidup yang lebih banyak di tafsirkan sebagai pengelolaan lingkungan, seperti penanaman pohon, dan sebagainya. Keempat usaha kecil dan menengah. Keterlibatan organisasi bahkan mungkin belum sampai kepada kebutuhan pokok yang saya kemukakan tadi. Kalau kita mengharapkan filantropi dari organisasi, mungkin 5 sampai 10 tahun ke depan kita masih akan berkutat dengan persoalan itu.
Kalau dikaitkan dengan pengalaman negara luar, dalam perkembangannya kita lihat ada pergeseran pola menyumbang di Amerika, Eropa dan bahkan Filipina. Awalnya dari derma-derma untuk agama atau gereja ke arah program yang lebih umum. Nah, dalam konteks Indonesia, apakah itu bisa dilakukan?
Saya kira itu bisa saja terjadi. Kita memiliki pola menyumbang yang tidak jauh berbeda dengan mereka. Kalau di Amerika atau Eropa orang berderma ke gereja, orang Indonesia berderma ke masjid. Tetapi, pada akhirnya kita bisa juga mengubah atau mengarahkan orang agar tidak hanya berderma untuk program sosial keagamaan, tetapi kepada kegiatan atau program yang sifatnya umum. Hal ini tergantung dari kemampuan OMS dalam berkomunikasi dengan menjelaskan program-programnya kepada masyarakat.
Dalam konteks komunikasi atau public campaign ini, media memegang peranan penting. Kalau kita lihat, sebetulnya sukses besar Dompet Dhuafa (DD) adalah karena afiliasinya dengan Harian Republika. DD bisa mengkomunikasikan program-programnya melalui media itu sehingga secara tidak langsung merubah pola menyumbang masyarakat yang berdimensi keagamaan. Masyarakat mau menyumbang program-program yang dilakukan DD yang hampir sama dengan apa yang dilakukan LSM, yaitu kegiatan yang tidak langsung berhubungan dengan surga atau masjid, tapi juga program pemberdayaan masyarakat. Karena masyarakat sudah mengenal DD, maka bantuan untuk mereka terus mengalir walaupun program mereka tidak lagi mutlak berhubungan dengan soal-soal keagamaan, tapi juga kebutuhan pokok masyarakat lainnya. Demikian juga program-program yang dilakukan media seperti RCTI Peduli, Pundi Amal SCTV, dsb. Selama ini LSM tidak pernah mencoba melakukan upaya-upaya semacam itu, misalnya dengan merangkul media untuk mengkampanyekan program dan hasil kerja mereka. LSM-LSM besar WALHI, YLKI, LBH sebenarnya berpeluang besar menggalang dana publik karena program yang mereka lakukan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Kalau konsep Filantropi Keadilan Sosial bisa dipraktekkan di Indonesia, sejauh mana dampaknya terhadap perubahan pola pendanaan di organisasi masyarakat sipil?
Menurut saya, butuh proses panjang untuk mengimplementasikan konsep SJP. Di samping perlu public compaign secara kontinyu, juga perubahan sistem pajak. Mengubah pola dan orientasi menyumbang masyarakat memang butuh waktu yang lama. Kalau itu bisa dilakukan, dalam jangka panjang kita bisa membantu pendanaan untuk LSM dan LSM kita tak perlu lagi harus menggantungkan dananya kepada lembaga donor.
LSM-LSM yang programnya jelas dan mudah dikenal masyarakat seharusnya bisa hidup dan berkembang dari dukungan pendanaan masyarakat. Misalnya, lembaga konsumen yang banyak berjasa membela kepentingan konsumen seharusnya bisa hidup dari konsumen. Mereka bisa mengharapakan bantuan itu dari konsumen atau orang-orang yang memperhatikan masalah konsumen. Demikian juga misalnya LSM yang bergerak dibidang lingkungan hidup, atau LSM hukum macam LBH yang selama ini berjuang untuk membantu berbagai problem hukum yang dihadapi masyarakat yang tertindas. Seharusnya mereka bisa survive dari donasi publik. Namun, saya belum melihat upaya-upaya mereka untuk menggali dana publik secara maksimal.
Dikutip dari: Majalah GALANG, Vol.1, No.1, Oktober 2005, Opini, halaman 77-83.