Undang-Undang Ormas Represif
Banyak Aturan Membatasi Gerakan Masyarakat
Jakarta, Kompas – Berserikat secara damai adalah hak asasi yang dilindungi konstitusi Indonesia. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang bertujuan untuk mengontrol dan merepresi dinamika organisasi masyarakat harus dicabut.
Hal tersebut mengemuka dalam semiloka bertajuk ”Peran dan Posisi Masyarakat Sipil dalam Kehidupan Bernegara yang Demokratis” di Jakarta, Kamis (20/10). Hadir sebagai narasumber, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Jimly Asshiddiqie dan Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia Eryanto Nugroho.
Jimly menyebutkan, setiap negara menghadapi perubahan dalam trias politika, yaitu negara, masyarakat sipil, dan dunia usaha. Ketiganya harus bersinergi, bukannya menegasikan atau saling menafikan.
Namun, menurut Eryanto, selalu ada ketimpangan pada persepsi Pemerintah Indonesia terhadap masyarakat sipil dan terhadap sektor privat (dunia usaha). ”Ketika bicara masyarakat sipil, negara menggunakan persepsi politik dan keamanan. Sebaliknya, untuk private sector, didorong iklim yang kondusif, padahal potensi kejahatan yang dilakukan oleh private sector lebih besar ketimbang oleh masyarakat sipil,” tuturnya.
Hal ini terlihat dari banyaknya aturan yang membatasi gerakan masyarakat sipil. Selain UU No 8/1985, ada pula UU No 16/2001 tentang Yayasan yang diubah dengan UU No 28/2004. Sementara itu Program Legislasi Nasional 2010-2014 mencantumkan rencana perubahan UU No 8/1985 tentang Ormas, RUU tentang Lembaga Swadaya Masyarakat, RUU tentang Perkumpulan, dan RUU tentang Perubahan Kedua atas UU No 16/2001 tentang Yayasan.
Konfigurasi masyarakat
Menurut Jimly, Undang-Undang Dasar 1945 telah menegaskan hak asasi warga untuk berserikat dan berkumpul secara damai. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa manusia memiliki naluri untuk berorganisasi. ”Freedom of peaceful association—kebebasan berserikat untuk tujuan damai—dilindungi konstitusi. Di luar itu, tak dilindungi. Hal ini semestinya menjadi landasan,” katanya.
Selain itu, kata Jimly, perancang kebijakan harus memahami konfigurasi masyarakat sipil secara lengkap dan mengelompokkannya berdasarkan bidang, sifat kegiatan, struktur dan fungsi, serta urutan logis.
”Seperti juga orang bebas membentuk parpol, tetapi tidak semua parpol bebas ikut pemilu, ada syaratnya. Kalau organisasi mau jadi subyek hukum, diperlukan status badan hukum, misalnya sebagai perkumpulan atau yayasan,” tutur Jimly.
Saat masa Orde Baru, kata Jimly, kooptasi negara dilakukan dengan membentuk suprastruktur atau induk-induk berbagai organisasi. Organisasi kepemudaan, misalnya, disatukan dengan induk Komite Nasional Pemuda Indonesia. Hal ini dilakukan untuk konsolidasi kekuasaan.
Pada zaman Reformasi, negara tidak bisa lagi mengooptasi masyarakat sipil. Hal ini mengejutkan sebagian organisasi massa agama yang dulu dibiasakan menerima bantuan anggaran dan bergantung pada pemerintah.
Diperlukan pemisahan kepentingan antara masyarakat sipil, pasar, dan negara. Penataan ulang konfigurasi negara, masyarakat sipil, dan dunia usaha memang diperlukan. Namun, pembuatan kebijakan tentang masyarakat sipil harus berpijak pada pemetaan yang menyeluruh.(INA)
Sumber: KOMPAS, Jumat, 21 Oktober 2011, halaman: 5.
Sekedar menambahkan uraian di atas, kebetulan saya juga hadir di acara tersebut.
Maka negara dengan huruf “N” besar harus bisa memerankan fungsinya sebagai pengayom di tengah konstalasi dan konfigurasi lembaga-lembaga negara, civil society, dan bisnis.
Tawaran dari Prof. Jimly untuk bentuk lembaga bagi masyarakat sipil:
1. LSM (lembaga swadaya masyarakat)
2. LSPM (lembaga swadaya pengembangan masyarakat), contoh pesantren
3. LPSM (lembaga pengembangan swadaya masyarakat), contoh koperasi