Strategi Hijau Para Kampiun Global (Bagian 2/4)

Sep 03, 2012 No Comments by

Pada Global Green Rankings 2011, peringkat puncak direbut lembaga keuangan Jerman Munich Re (alias Münchener Rückversicherungs-Gesellschaft, skor 83,6), kemudian National Australia Bank (NAB, skor 82,2) yang hanya kalah tipis dari IBM (82,5). Relatif sedikitnya lembaga AS yang masuk jajaran Lembaga Terhijau untuk tingkat global, masih menurut Newsweek, salah satunya adalah karena regulasi lingkungan Washington yang tak kelewat ketat, terutama dibanding Eropa (Barat).

Namun, walau regulasi di Eropa ketat, apa yang mendorong sebuah lembaga keuangan untuk begitu peduli lingkungan?

Dalam hal Munich Re, sejak didirikan pada 1880, kampiun industri keuangan yang menjadi penyedia jasa asuransi bagi 5.000 lembaga asuransi yang tersebar di 150 negara ini harus selalu bergelut dengan risiko. Sebab itu, lembaga reasuransi ini tahu betul bahwa usaha tren yang kecil dan biasa-biasa saja bisa menjadi bibit petaka yang besar-semuanya, mulai dari meroketnya harga lelang lukisan di Christie atau Sotheby (yang meningkatkan risiko pencurian) sampai maraknya pemasangan panel sel surya di atap rumah (risiko kebakaran).

Lebih dari lembaga keuangan nonasuransi, Munich Re juga tahu betul bahwa di tengah ekonomi global upaya memprediksi di mana dan mengapa sebuah risiko bakal muncul menjadi amat-sangat rumit. Lalu, setelah sebuah risiko terjadi, tak gampang juga memperhitungkan besaran yang mesti ditanggung.

Ambil contoh, kasus meletusnya Eyjafjallajökull di Eslandia. Tercatat sebagai gunung yang tidur panjang-meletus pertama pada 920, kemudian pada 1612, disusul dengan letusan berulang pada 1821-23, dan terakhir pada 1921- tak ada yang menduga puncak bersalju itu akan memuntahkan lava pada 14 April 2010. Dan, kalaupun meletus, karena ukurannya yang mungil dan lokasinya yang relatif terisolasi di pinggiran utara Eropa, tak ada yang menyangka Eyjafjallajökull bisa menimbulkan kerugian besar. Asal tahu saja, tinggi gunung mungil di kaki gunung berapi ini hanya 1.666 meter, Cuma sebahu Tangkuban Perahu, 2.084 meter, yang bisa ditempuh sampai puncak dengan kendaraan bermotor.

Yang luput dari perhitungan, ternyata Eyjafjallajökull terletak tepat dibawah aliran udara, jet stream, yang ketika gunung itu meletus stabil arahnya, ke tenggara. Letusan pun terjadi 200 meter di bawah lapisan salju tebal, sehingga es yang mencair mengalir balik ke kupundan yang terbentuk. Terjadilah dua fenomena unik. Pertama, uap air yang terbentuk cepat membuat tenaga letusan jadi berlipat dahsyatnya sehingga mendorong awan debu yang berbentuk ke jet stream. Padahal, kedua, lava yang terbentuk mendingin dengan cepat sehingga terbentuk awan debu siliKon yang melingkupi kawasan barat dan utara Eropa.

Karena debu silikon tersebut sangat merusak jika tersedot ke mesin pesawat, transportasi udara di 20 negara Eropa lumpuh total selama enam hari. Akibatnya? Bukan cuma ratusan ribu penumpang pesawat udara terlantar, tetapi-ini yang tak terduga-Nissan Motor harus menutupi tiga lini perakitannya di Jepang karena kehabisan sensor tekanan udara ban yang biasanya didatangkan dengan kargo udara dari Irlandia. Pabrik BMW di Spartanburg, South Carolina, harus berproduksi jauh di bawah kapasitas karena salah satu komponen penting, transmisi tak bisa dikirim dari jerman.

Kerugian yang harus diganti oleh kalangan asuransi? Tentu saja, bukan lagi jutaan atau miliaran dolar, melainkan puluhan miliar dolar yang mengalir jauh sampai ke Jepang AS dan negara lain yang jauh di luar jangkauan awan debu silikon.

Ketika Thailand dilanda banjir tahun lalu, perekonomian Jepang menciut 2,3% karena pabrik Honda, Sony dan para samurai bisnis mereka lainnya di berbagai belahan dunia-bukan hanya yang di Thailand-harus tutup atau terganggu produktivitasnya. Selain itu, industri komputer global yang biasanya lari kencang juga terpincang-pincang. Maklum, dengan tutupnya berbagai pabrik komponen elektronik di sekitar Bangkok, pasok hard disk dunia terpangkas 25%.

Ganti rugi yang harus dibayar kalangan asuransi? Pada kuartal I/2011 saja, menurut Munich Rei, mencapai US$ 30 miliar.

“Pemanasan global itu nyata, dan pemanasan global memengaruhi bisnis kami.” Ujar Peter Hoper, petinggi Munich Re yang memimpin riset perubahan iklim.

Kepentingan bisnis yang terancam inilah yang membuat Munich Re gencar mendukung pengembangan energi terbarukan. Raksasa industri asuransi ini bahkan ikut dalam kemitraan untuk memanen energi matahari di Sahara dan menyalurkan listrik yang dihasilkan ke Eropa, melalui Mediternia.

Sperti IBM, Munich Re juga meluncurkan inisiatif hijau sejak 1970-an, tepatnya pada 1974 dengan mendirikan Geo Risk Research Department. Secara operasional, raksasa reasuransi ini telah mencapai “carbon neutrality” di kantor pusat Munich, sejak 2009. Targetnya, pada 2012 ini operasional Munich Re Grup di seluruh dunia akan karbon-netral-dengan menekan konsumsi energi, menggunakan energi terbarukan dan membeli carbon credit sehingga di atas kertas tidak mengemisikan CO2.

Ketika mengumumkan rencana  membangun sistem tenaga surya 2,5 megawatt di kantor Plainsboro, New Jersey, CEO Munich Reinsurance America Tony Kuczinki menegaskan, “Sukses bisnis inti kami terkait erat dengan pelestarian lingkungan, sehingga pendekatan yang sustainable merupakan komponen yang tak terpisahkan dari strategi bisnis kami.”

Penulis: Prih Sarniato,

Disarikan dari Majalah: SWA, Halaman: 78-83

Pengukuran Dampak

About the author

lingkarLSM hadir untuk menemani pertumbuhan. Kami mengidamkan masyarakat sipil yang jujur dan punya harga diri. Kami membayangkan ribuan organisasi baru akan tumbuh dalam tahun-tahun perubahan ke depan. Inilah mimpi, tujuan dan pilihan peran kami. Paling tidak, kami sudah memberanikan diri memulai sebuah inisiatif; dan berharap langkah kecil ini akan mendorong perubahan besar.
No Responses to “Strategi Hijau Para Kampiun Global (Bagian 2/4)”

Leave a Reply