Solusi Palsu Perubahan Iklim
Oleh Siti Maimunah
Alam tak bisa berbohong sepertinya menjadi ungkapan paling pas untuk menggambarkan berbagai bencana yang terjadi menjelang atau sesudah KTT Perubahan Iklim serta sebelum berlangsungnya COP-18 di Doha, 26 November-7 Desember 2012.
Namun, hal ini tak membuat para pencemar utama, yaitu negara-negara industri, berhenti mempermainkan nasib penghuni Bumi dengan menunda mandat penurunan emisi gas rumah kaca (GRK). Lebih dari 2,4 juta orang menjadi korban, 60 orang di antaranya meninggal karena banjir di Manila. Sementara 33 orang meninggal dan 8 juta lainnya jadi korban badai Sandy di Amerika Serikat.
Belum lagi banjir di 85 persen wilayah Thailand, yang berakibat lebih dari 800 orang meninggal. Bencana yang melumpuhkan dalam setahun terakhir merupakan cara alam menyampaikan pesan, suhu Bumi kian panas dan iklim berubah.
Bagai angin lalu
Namun, pesan itu dianggap hanya angin lalu. Pada COP-17 di Durban 2011, para pemimpin dunia justru mengakhiri Protokol Kyoto jilid pertama (2008-2012) serta menunda selama 5-8 tahun lagi sesuai dengan keputusan COP-18 kapan Protokol Kyoto jilid dua berlaku. Presiden COP-17 Maite Nkoana-Mashabane menyebutkan, konferensi ini menjaga agar Protokol Kyoto tetap hidup (Kompas, 12/11).
Protokol memang masih hidup, tetapi bagai mayat hidup. Ada, tetapi tak punya kekuatan, berada dalam kontrol negara-negara pencemar yang berkeras tak mau mengubah gaya hidupnya yang boros energi fosil. Khususnya Amerika Serikat yang menolak menandatangani Protokol Kyoto, tetapi paling memengaruhi hasil-hasil KTT Bumi.
Padahal, penelitian dan pemantauan satelit terkini menunjukkan dampak perubahan iklim kian terasa. Pemantauan satelit NASA pada Juli lalu melaporkan, mencairnya tutupan es Greenland dengan kecepatan tertinggi dan meluas di luar perhitungan para ilmuwan.
Sementara laporan UNEP (2012) tentang kesenjangan emisi global tahunan menunjukkan lonjakan emisi dari 40 miliar ton pada 2000 menjadi 50 miliar ton saat ini, serta diproyeksikan menjadi 58 miliar ton pada 2020 jika tak ada tindakan.
Celakanya, tindakan yang diambil malah menunda pemangkasan emisi GRK, yang justru akan mendorong kenaikan suhu Bumi. Apalagi negara pencemar GRK utama, seperti Kanada, Jepang, Rusia, dan China, pernah mengumumkan tidak bersedia terlibat dalam jilid kedua Protokol Kyoto.
Umat manusia bisa kehabisan waktu. Jika tak ada tindakan nyata dan penurunan drastis dalam lima tahun ke depan, diperkirakan dampak perubahan iklim menyebabkan situasi sepuluh kali lebih buruk dibanding saat ini.
Di Indonesia, Badan Nasional Penanggulangan Bencana menyebutkan bencana yang paling banyak terjadi adalah banjir, puting beliung, kekeringan, dan tanah longsor. Di lapangan, musim kemarau yang lebih panjang telah membuat petani di ratusan kabupaten gagal panen dan kesulitan mendapat air bersih.
Nelayan juga terpukul akibat cuaca ekstrem. Kiara mencatat, tak kurang dari 86 nelayan hilang dan meninggal di laut pada 2010, meningkat jumlahnya menjadi 149 jiwa pada 2011, dan hingga Agustus 2012 nelayan hilang sudah mencapai 186 jiwa.
Jauhi solusi palsu
COP-15 di Denmark menyepakati suhu rata-rata atmosfer Bumi tak boleh naik di atas 2 derajat celsius dibanding era sebelum revolusi industri. Ini tergolong moderat, mengingat kenaikan suhu 0,8 derajat celsius saja hari ini sudah menghasilkan peristiwa cuaca ekstrem seperti banjir, kekeringan, dan badai yang menyebabkan malapetaka.
Tindakan nyata apa yang bisa ditempuh untuk memastikan suhu rata-rata di bawah 2 derajat celsius? Menurut International Energy Agency, agar Bumi mempunyai 50 persen kesempatan memastikan suhu rata-ratanya di bawah batas 2 derajat celsius, dua pertiga cadangan diketahui minyak dan gas bumi serta batubara harus dibiarkan berada di bawah tanah.
Jika ingin menambah kesempatan itu hingga 75 persen, 80 persen cadangan itu harus dibiarkan, tak boleh dibongkar.
Menurut sejarah emisinya, Amerika Serikat merupakan pencemar utama dan harus mengurangi emisinya lebih banyak dibanding negara lain. Negara pencemar lainnya, dalam daftar Annex 1, harus menurunkan emisi 40-50 persen berdasarkan tingkat emisi mereka pada 1990.
Komitmen itu harus diwujudkan lewat tindakan nyata penurunan penggunaan energi fosil tiap tahun.
Jadi, bukan mengedepankan solusi-solusi palsu yang membuka peluang naiknya emisi GRK, seperti pembangunan pembangkit listrik batubara, penggalian tar sand, pengadaan bendungan skala besar, perampasan lahan, privatisasi air, karbon biru, ataupun proyek-proyek perdagangan karbon seperti REDD, yang mendapat banyak penolakan dari masyarakat sipil di berbagai belahan dunia.
Lebih jauh, dunia harus mampu menjawab pangkal masalah perubahan iklim, yaitu ketidakadilan model pembangunan global, mendewakan angka pertumbuhan sebagai ukuran keberhasilan, yang menjadi wajah utama kebijakan semua negara, termasuk Indonesia. Padahal, ciri merusak yang melekat pada kebijakan yang diturunkan dari model ini adalah rakus bahan bakar fosil, rakus lahan dan bahan mentah hayati, rakus air, rakus buruh murah, dan melibatkan kekerasan.
Selama para pemimpin dunia, termasuk Indonesia, tak mengubah dan berpaling dari ketaatan mereka pada model global pembangunan, solusi menyeluruh perubahan iklim akan semakin jauh tak tersentuh.
Siti Maimunah Koordinator Nasional Forum Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim (CSF-CJ)
Sumber: kompas.com tanggal 6 Desember 2012.