Dari Hijau ke Biru

Apr 05, 2013 No Comments by

Konsep perusahaan yang ramah pada lingkungan dan sosial banyak dikembangkan. Selain menjadi tuntutan konsumen, paradigma itu juga menjadi prasyarat bagi kelangsungan perusahaan dalam jangka panjang. Namun, kini, konsep yang dikenal dengan ekonomi hijau tersebut mulai memasuki babak baru dengan sebutan ekonomi biru.

Ekonomi biru yang dimaksud bukan mengacu pada ekonomi kelautan, tetapi pada konsep seperti yang digagas Gunter Pauli. Dia adalah pendiri dan Kepala Zero Emissions Research Institute di Belgia. Pada prinsipnya, ekonomi biru adalah memanfaatkan modal alam dan teknologi berorientasi pelestarian alam bagi manfaat pengurangan biaya produksi dan konsumsi, memperbaiki mutu hidup manusia dan makhluk alam, pengurangan risiko lingkungan hidup demi eksistensi, dan keharmonisan kehidupan alam dan manusia.

Dalam ekonomi hijau, perusahaan masih fokus pada kebijakan-kebijakan yang bertujuan menghindari dampak buruk terhadap lingkungan sekitar. Dalam ekonomi biru, perusahaan ditantang untuk memanfaatkan sesuatu yang sudah baik itu menjadi nilai tambah baru. Singkatnya, tidak hanya mengolah limbah menjadi pro-lingkungan, tetapi bagaimana memanfaatkan limbah itu menjadi sesuatu dengan nilai tambah baru.

Ekonomi biru menjadi salah satu fokus dari World Wildlife Fund (WWF) Indonesia. WWF terus memonitor pelaksanaan ekonomi biru oleh berbagai perusahaan di Indonesia. Salah satu perusahaan yang merintis ekonomi biru adalah PT Great Giant Pineapple (PT GGP), di Lampung Tengah. Perusahaan itu membudidayakan nanas, lalu mengolah menjadi aneka produk.

PT GGP pada awalnya juga sekadar ingin mempraktikkan ekonomi hijau, tetapi dalam perkembangannya banyak peluang yang bisa diperoleh sehingga akhirnya memutuskan untuk memaksimalkan nilai tambah baru tersebut.

Seluruh limbah nanas diolah menjadi produk yang memberikan nilai tambah. Limbah kulit nanas diambil sarinya untuk dibuat jus. Sisa kulitnya yang kering dicampur dengan rumput menjadi pakan ternak. Dari produksi pakan ternak itu, PT GGP akhirnya mendirikan perusahaan baru bernama PT Great Giant Livestock, yang bergerak di bidang penggemukan sapi. Dengan kapasitas 30.000 ekor, kini sudah terisi 6.100 ekor.

Limbah cair nanas selanjutnya diolah menjadi biogas. Dari produksi biogas, mereka bisa mengurangi penggunaan batubara sekitar 5 persen. Setiap hari pihaknya mengolah 2.000 ton nanas dari lahan 20.000 hektar. Nanas tersebut diolah menjadi sekitar 49 jenis produk, dan diekspor ke 50 negara.

Bagi sebagian perusahaan, praktik ekonomi hijau saja mungkin masih merasa berat, apalagi ekonomi biru. Tambahan investasi menjadi pertimbangan mereka sehingga enggan mempraktikkannya. Padahal, anggapan tersebut keliru, dalam jangka panjang tambahan investasi itu sangat dirasakan manfaatnya.

Keberhasilan Pemerintah Maroko dalam praktik ekonomi biru menjadi salah satu referensi penting. Mereka bisa meningkatkan pemanfaatan sumber daya alam hingga berlipat. Sebelumnya, pendapatan nelayan di Maroko hanya 2.000 dollar AS per bulan, tetapi setelah menerapkan prinsip ekonomi biru, menjadi 10.000 dollar AS per bulan. (ENY PRIHTIYANI)

Sumber: KOMPAS, Jumat, 15 Maret 2013, Halaman: 17.

Berita

About the author

lingkarLSM hadir untuk menemani pertumbuhan. Kami mengidamkan masyarakat sipil yang jujur dan punya harga diri. Kami membayangkan ribuan organisasi baru akan tumbuh dalam tahun-tahun perubahan ke depan. Inilah mimpi, tujuan dan pilihan peran kami. Paling tidak, kami sudah memberanikan diri memulai sebuah inisiatif; dan berharap langkah kecil ini akan mendorong perubahan besar.
No Responses to “Dari Hijau ke Biru”

Leave a Reply