Perpanjang Moratorium Hutan dan Lahan Gambut
Jambi, Kompas – Pelaksanaan moratorium hutan alam dan lahan gambut dalam dua tahun terakhir belum berhasil menyelamatkan hutan alam dan lahan gambut tersisa. Pemerintah didesak untuk memperpanjang moratorium dan memperbaiki tumpang tindih perizinan dalam kawasan hutan.
Direktur Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Rakhmat Hidayat, mengatakan, pemerintah belum dapat sepenuhnya melindungi kelestarian hutan alam tersisa. Sejumlah wilayah hutan alam di Sumatera beralih fungsi menjadi perkebunan, tanaman industri, dan pertambangan. Moratorium yang diberlakukan juga belum menghasilkan satu peta bersama yang definitif dan berkekuatan hukum sebagai rujukan perizinan dan perencanaan pembangunan kawasan. ”Perlindungan atas hutan dan lahan gambut belum maksimal,” ujar Rakhmat, di Jambi, Kamis (9/5).
Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut berakhir 20 Mei 2013. Sejak berlaku 2 tahun lalu, moratorium berupaya menyelamatkan hutan dari kerusakan. Namun, upaya itu belum berhasil menahan laju deforestasi. Deforestasi hanya berkurang dari 3,5 juta hektar per tahun jadi 450.000 hektar per tahun.
Semenanjung Kampar
Kondisi ekosistem Semenanjung Kampar yang sempat dipersoalkan organisasi lingkungan internasional Greenpeace semakin memprihatinkan. Sekitar 5.000 hektar kawasan hutan gambut di Kabupaten Pelalawan, Riau, itu telah rusak akibat proses penebangan liar. Untuk mencegah kerusakan yang lebih parah, Kementerian Kehutanan memberikan izin kepada PT Gemilang Cipta Nusantara (GCN), anak perusahaan Raja Garuda Emas Group, untuk melakukan restorasi ekosistem seluas 20.000 hektar di kawasan terdekat dengan masyarakat sekitar.
Direktur PT GCN Dian Novarina mengungkapkan, pihaknya akan melakukan pemulihan kawasan dimaksud dalam beberapa periode selama masa konsesi 60 tahun. Periode pertama dilakukan dalam waktu 10 tahun. (ITA/SAH)
Sumber: KOMPAS, Jumat, 10 Mei 2013.