Perencanaan dalam Dekade Desentralisasi
Masa Orde Baru telah berakhir. Indonesia memasuki Orde Desentralisasi dalam tata pemerintahan. Perubahan pun terjadi hingga tingkat desa. Desentralisasi politik dan administrasi telah memberikan peluang lebar kepada masyarakat desa dalam kebijakan pembangunan. Berbagai macam inovasi kebijakan telah dilakukan untuk mencari format terbaik dalam melembagakan partisipasi masyarakat.
Perencanaan desa sebagai kebijakan yang strategis pun mengalami perubahan. Perencanaan yang sebelumnya terpusat didesain sedemikian rupa menjadi perencanaan yang terdesentralisasi, atau perencanaan yang lebih dekat dengan masyarakat lokal. Pemerintah daerah mempunyai kewenangan penuh untuk mempersiapkan perencanaan sendiri (self planning) yang sesuai dengan konteks lokal, sekaligus memiliki kepastian anggaran dari dana perimbangan Pusat-Daerah. Sejalan dengan dikedepankannya prinsip tata pemerintahan yang baik terutama di tingkat Kabupaten/Kota, maka konsep perencanaan pembangunan partisipatif mulai digagas dan dikembangkan di berbagai daerah di Indonesia.
Kebijakan perencanaan pembangunan partisipatif pada era otonomi daerah adalah dalam bentuk Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002, yang mengatur tentang perlunya melakukan penjaringan aspirasi masyarakat untuk memberi kesempatan kepada masyarakat berpartisipasi dan terlibat dalam proses penganggaran daerah dalam penyusunan konsep arah dan kebijakan umum APBD.
Menurut UU No. 32/2004 (pemerintahan daerah) dan UU No. 25/2004 (sistem perencanaan pembangunan nasional), perencanaan daerah itu harus ditempuh secara partisipatif dan berasal dari bawah (bottom up planning), yaitu bermula dari aras Desa. Perencanaan pembangunan sekarang tampak lebih desentralistik dan partisipatif, yang memungkinkan pemerintah daerah menghasilkan perencanaan daerah yang sesuai dengan konteks lokal serta proses perencanaan daerah berlangsung secara partisipatif dan berangkat dari Desa.
Kemudian dalam rangka mengefektifkan dan mengoptimalkan proses perencanaan dan pengendalian pembangunan daerah sebagai bagian dari perencanaan pembangunan nasional, Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Surat Edaran Nomor 050/987/SJ Tahun 2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Koordinasi Pembangunan Partisipatif.
Dalam konteks pelembagaan partisipasi, Konsep tentang LKMD sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 1980 tentang Penyempurnaan dan Peningkatan Fungsi Lembaga Sosial Desa menjadi Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa tidak sesuai lagi dengan semangat Otonomi Daerah, oleh karena itu dilakukan penataan kembali sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dalam mendukung upaya revitalisasi LKMD, pemerintah telah menetapkan Keputusan Presiden Nomor 49 Tahun 2001 tentang Penataan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa Atau Sebutan Lain. Dalam Keppres No. 49/2001 tersebut dinyatakan bahwa LKMD atau sebutan lain mempunyai tugas: (1) menyusun rencana pembangunan yang partisipatif; (2) menggerakkan swadaya gotong royong masyarakat; dan (3) melaksanakan dan mengendalikan pembangunan. Sedangkan dalam melaksanakan tugasnya, LKMD atau sebutan lain mempunyai fungsi: (1) menanam dan memupuk rasa persatuan dan kesatuan masyarakat desa; (2) mengkoordinir perencanaan pembangunan; (3) mengkoordinir perencanaan lembaga kemasyarakatan; (4) merencanakan kegiatan pembangunan secara partisipatif dan terpadu; dan (5) menggali dan memanfaatkan sumber daya kelembagaan untuk pembangunan desa.
Terbukanya otonomi desa ditandai dengan diberinya kewenangan kepada desa untuk memiliki perencanaan sendiri. Pemerintah melalui Permendagri No. 66 tahun 2007 telah memberikan mandat kepada tiap-tiap desa untuk memiliki dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa) dan Rencana Kerja Pembangunan Desa yang selanjutnya disingkat (RKP-Desa). Dokumen perencanaan tersebut disusun melalui forum musyawarah perencanaan pembangunan desa (Musrenbangdes).
RRPJM Desa adalah dokumen perencanaan untuk periode 5 (lima) tahun yang memuat arah kebijakan pembangunan Desa, arah kebijakan keuangan Desa, kebijakan umum, dan program, dan program Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), lintas SKPD, dan program prioritas kewilayahan, disertai dengan rencana kerja.
RKP-Desa adalah dokumen perencanaan untuk periode 1 (satu) tahun merupakan penjabaran dari RPJM-Desa yang memuat rancangan kerangka ekonomi desa, dengan mempertimbangkan kerangka pendanaan yang dimutahirkan, program prioritas pembangunan desa, rencana kerja dan pendanaan serta prakiraan maju, baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah desa maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat dengan mengacu kepada Rencana Kerja Pemerintah Daerah dan RPJM-Desa.
Sebelum adanya kebijakan yang memberikan keleluasaan desa dalam menyusun dokumen perencanaan, Musrenbangdes biasanya hanya merupakan forum seremonial yang diadakan sebagai pelengkap forum perencanaan di tingkat daerah. Namun sekarang, RPJM Desa dan RKP Desa harus ditetapkan dengan Peraturan Desa (Perdes) yang bersifat mengikat. Bahkan Permendagri No. 66 Tahun 2007 memberikan landasan dan prinsip perencanaan yang ideal bagi desa. Antara lain, perencanaan desa harus berorientasi pemberdayaan, dilaksanakan secara partisipatif, berpihak pada masyarakat terutama yang miskin, terbuka, akuntabel, selektif, efisien dan efektif, berdasarkan data yang akurat, dan melalui proses penggalian informasi.
Namun ada sejumlah kelemahan sistem dan metodologi perencanaan daerah, yang justru memperlemah kemandirian dan kapasitas Desa. Pertama, baik UU No. 32/2004 maupun UU No. 25/2004 sama sekali tidak mengenal perencanaan Desa, atau tidak menempatkan Desa sebagai entitas yang terhormat dalam sistem perencanaan pembangunan nasional. Sementara PP No. 72/2005 (turunan dari UU No. 32/2004) justru yang memperkenalkan perencanaan Desa, tetapi konsep perencanaan Desa yang dikemukakan bukanlah perencanaan otonom (self planning), melainkan perencanaan Desa sebagai bagian (subsistem) dari perencanaan daerah. Dalam konteks posisi ini Desa hanya “bertugas” menyampaikan usulan sebagai input perencanaan daerah, bukan “berwenang” mengambil keputusan secara otonom untuk menyusun perencanaan Desa.
Kedua, secara metodologis perencanaan daerah mengandung kesenjangan antara “hasil sektoral” dengan “proses spasial”. Perencanaan daerah sebenarnya menghasilkan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yang bersifat sektoral (pendidikan, kesehatan, prasarana daerah, pertanian, perikanan, perkebunan, pariwisata, dan lain-lain), tetapi prosesnya menggunakan pendekatan spasial, yaitu melalui Musrenbang Desa dan kecamatan. Apa risiko kesenjangan ini? Dalam Musrenbang Desa, masyarakat Desa tidak mempunyai kapasitas untuk menjangkau isu-isu sektoral. Meskipun di wilayah Desa terdapat prasarana pendidikan dan kesehatan, misalnya, masyarakat Desa tetap tidak mempunyai kapasitas untuk menjangkau prasarana itu. Prasarana publik itu tetap dalam jangkauan kewenangan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Sedangkan kapasitas masyarakat Desa hanya menjangkau masalah prasarana fisik yang berada di lingkup kampung, sehingga setiap Musrenbangdes hanya mampu mengusulkan perbaikan prasarana fisik di lingkungan mereka.
Masyarakat Desa tidak mungkin menyampaikan usulan-usulan sektoral yang lebih luas. Kesenjangan dan ketidakmampuan masyarakat Desa itu terjadi karena Desa tidak mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus berbagai sektor pembangunan (Sutoro Eko, 2007).
Ketiga, perencanaan pembangunan di tingkat Desa belum partisipatif. Peran elite Desa yang mengklaim mewakili aspirasi masyarakat masih mendominasi kekuatan dalam menentukan kebijakan pembangunan Desa. Sekarang istilah partisipasi stakeholders sebenarnya sudah populer diadopsi oleh pemerintah sebagai sebuah pendekatan partisipatif dalam pembangunan. Di Desa, istilah itu juga cukup akrab diungkapkan para elite Desa. Tetapi stakeholders yang terlibat dalam perencanaan pembangunan masih berkutat pada aktor pemerintahan Desa dan lembaga-lembaga formal di tingkat Desa (lurah, BPD, PKK, LPMD, RT, dan RW). Keterlibatan organisasi-organisasi sektoral, organisasi kemasyarakatan yang lain, dan kelompok perempuan masih sangat terbatas.
Keempat, proses partisipasi dan perencanaan di Musrenbangdes menghadapi distorsi dari proyek-proyek tambahan dari pemerintah, misalnya Program Pengembangan Kecamatan (PPK). PPK adalah proyek yang tidak menyatu (integrasi) dengan Musrenbang reguler, tetapi ia membikin sendiri proses dan forum perencanaan. Temuan di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat enggan berpartisipasi dalam Musrenbang reguler, dan tampak lebih bersemangat berpartisipasi dalam Forum PPK. Mengapa? Musrenbang reguler sungguh melelahkan dan membosankan karena tidak ada kejelasan anggaran yang bakal diterima Desa. Sebaliknya Forum PPK, yang sudah berjalan sejak 1998 hingga sekarang, tampak lebih partisipatif dan bergairah karena proyek ini mampu memastikan pagu anggaran yang akan diperoleh oleh Desa.
Kelima, proses perencanaan partisipatif dari bawah bekerja dalam wilayah yang luas, kondisi sosial yang segmented dan struktur pemerintahan yang bertingkat-tingkat, cenderung menimbulkan jebakan proseduralisme dan kesulitan representasi (Brian Cooksey dan Idris Kikula, 2005). Dalam proses partisipasi, kelompok-kelompok marginal dan perempuan yang hidup di Desa pasti tidak terwakili dalam perencanaan daerah. Selain itu perencanaan partisipatif yang bertingkat dari bawah memang tidak dihayati dan dilaksanakan secara otentik dan bermakna atau “murni dan konsekuen”, melainkan hanya prosedur yang barus dilewati.
Sebagai prosedur formal, perencanaan dari bawah sebenarnya hanya sebagai alat justifikasi untuk menunjukkan kepada publik bahwa perencanaan pembangunan yang dilalui oleh pemerintah kabupaten telah berangkat dari bawah (dari Desa) dan melibatkan partisipasi masyarakat. Yang terjadi sebenarnya adalah perencanaan yang tidak naik ke kabupaten, dan program-program kabupaten yang turun ke Desa ternyata juga tidak mengalami pemerataan. Banyak Desa yang kecewa karena setiap tahun membuat perencanaan tetapi ternyata programnya tidak turun.
Disarikan dari buku: Sinkronisasi Perencanaan Desa, Penulis: Rohidin Sudarno, Suraji, Hal: 28-36.