Penyelesaian Masalah Perubahan Iklim Terhambat Dana
Negara maju bersedia kucurkan dana hingga US$ 100 miliar per tahun.
Bayu Galih, Tommy Adi Wibowo
VIVAnews – Perubahan iklim global sudah menjadi masalah dunia, tak terkecuali Indonesia. Dampak perubahan itu juga berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat Indonesia. Itulah sebabnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menginstruksikan kementerian dan lembaga terkait agar segera mewujudkan penurunan emisi gas rumah kaca. Harus turun 26 persen pada 2020.
Untuk menyelesaikan permasalah tersebut, Indonesia melalui Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) mengirimkan Delegasi Republik Indonesia (Delri) ke Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim (COP 18/CMP 8) di Doha, Qatar.
DNPI sebagai lembaga yang ditugaskan khusus untuk menanganani masalah perubahan iklim, baik itu kebijakan, pencegahan, ataupun juga mengenai perubahan iklim, memberikan paparannya mengenai hasil dari Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim.
Menurut Ketua Harian DNPI, Rachmat Witoelar, konferensi tentang perubahan iklim di Doha kemarin adalah pintu gerbang untuk menyelesaikan masalah perubahan di Indonesia. Dari hasil negosiasi di konferensi tersebut, kami memberikan sejumlah keputusan.
Pertama menetapkan amandeman Protokol Kyoto termasuk periode kerja dan mekanisme periode kedua. Kedua, untuk merumuskan program kerja penangan perubahan iklim pasca-2020. Ketiga, penyelesaian mandat Bali Action Plan, dengan beberapa keputusan yang terkait dengan implementasinya termasuk mengenai adaptasi dan pendanaan.
“Terkait masalah pendanaan untuk menyelesaikan masalah perubahan iklim, ada yang menagih dan ada yang ditagih. Yang menagih negara berkembang, yang ditagih itu negara maju. Ada pihak yang menderita dan ada pihak yang menikmati,” kata Rachmat Witoelar, saat ditemui di Kantor Kementerian BUMN, Jakarta, 13 Desember 2012.
Ia menambahkan dari hasil keputusan koferensi tentang perubahan iklim, negara-negara maju akan memulai realisasi pendanaan jangka panjang melalui mid-term financing 2013 sampai 2015. Adapun angka yang diberikan setidaknya dengan nilai US$100 miliar pertahun dengan catatan negara berkembang mempunyai program adaptasi dan dapat diukur.
“Pendanaan itu telah disepakati dan kesepakatan itu sudah bulat. Karena sudah dijanjikan, maka sebagai negara berkembang kita akan tagih terus,” ujar Rachmat Witoelar.
Namun, komitmen negara maju untuk memberikan pendanaan mengenai pengurangan emisi terus ditunda, ini karena negara-negara maju banyak yang terkena bencana alam dan masalah perekonomian. Permasalahan tersebut yang akhirnya membuat negara maju tidak bisa melaksanakan komitmennya.
“Dalam penyelesaian masalah perubahan iklim banyak yang belum tuntas, kami tidak puas dan akan berjuang lebih keras. Di konferensi berikutnya kita akan menagih pendanaan itu,” ucap Rachmat.
Sumber: Viva News, Jum’at, 14 Desember 2012.