“Duh, Leha Ka Laya Ituh”…

Mar 22, 2013 No Comments by

Gesit Ariyanto

Inalili senang bukan kepalang. Sepetak lahan sekolah yang ia kelola batal diuruk untuk perluasan halaman sekolah. ”Akan kami jadikan laboratorium lahan gambut,” kata Kepala SDN Percobaan Menteng, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, itu, pertengahan Februari 2013.

Luas lahan itu sekitar 15 meter x 15 meter yang lebih menyerupai sisa rawa basah. Sejatinya, itu lahan gambut, tanah gembur yang berfungsi seperti spons, sebuah ekosistem unik yang membentuk daratan Kalimantan.

Hidup dan besar di Kalimantan, hingga jelang pensiun sebagai guru, baru kali ini Inalili terbuka dan paham mengenai peran dan fungsi penting lahan gambut. Karena itu, ia sangat gembira bisa menyisakan sepetak lahan di sekolah dengan total luas 2 hektar itu. Tak ada kata terlambat menjaga dan membagikan informasi berharga bagi anak didik.

Bersebelahan dengan lahan gambut itu, ditanam belasan bibit pohon khas Kalimantan di hutan mini sekolah. Ada ulin, jelutung, pantung, blangiran/kahui, dan gaharu ramas. Tingginya puluhan sentimeter, yang ditanam beberapa hari sebelumnya.

”Untuk pemahaman lebih baik bagi kami dan siswa, kami akan mengontak Universitas Palangkaraya,” kata Inalili Simon, perempuan Dayak Kapuas itu. Berulang kali ia mengaku gembira dapat pengetahuan baru soal pembangunan berkelanjutan.

Sehari sebelumnya di Kabupaten Kuala Kapuas, dua jam perjalanan darat dari Kota Palangkaraya, ratusan pohon spesies lokal ditanam di dua sekolah, yaitu SMPN 4 Selat dan SMAN 2 Kuala Kapuas. ”Banyak di antara kami yang belum pernah tahu pohon ulin,” kata Kepala SMPN 4 Selat Haris Fadhillah. Penanaman bersamaan dengan Deklarasi Aksi untuk Bumi-Sekolah Sobat Bumi. Ditampilkan pula aneka masakan berbahan tanaman lokal.

Membuka pikiran

Pencerahan pentingnya menjaga keberlanjutan lingkungan, termasuk peran dan fungsi lahan gambut berikut tanaman khas Kalimantan, sudah dirintis dua tahun sebelumnya. Pencerahan juga dialami Luise T Dehen. Warga asli Kalimantan Tengah yang berpengalaman mengajar lebih dari 30 tahun itu bersemangat. ”Sebelumnya, saya tidak terlalu paham,” kata Kepala SMPN 12 itu.

Adalah Satuan Tugas Reduksi Emisi untuk Deforestasi dan Degradasi Plus (REDD+) yang memulai program Sekolah Sobat Bumi. Bekerja sama dengan Badan Lingkungan Hidup Kalteng dan REDD+ Kalteng, mereka menyosialisasikan pentingnya menerapkan Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan (ESD). ”Kami tak memaksa, hanya membuka pikiran,” kata Aulia Wijiasih, pendamping program dari Satgas REDD+.

Para guru diajak memetakan kondisi mereka dan masyarakat kini, mulai makanan di dapur hingga bangunan rumah. Ternyata, bahan masakan hingga papan dan tiang penyangga rumah bersumber pada kelestarian lingkungan mereka.

Dan, sumber kehidupan serta budaya mereka itu kini menuju kehancuran. ”Guru-guru sendiri yang berdiskusi dan memetakan masalah terkini,” kata Aulia.

Program ESD dikenalkan tahun 2011, yang dilanjutkan dengan Sekolah Sobat Bumi sebagai komitmen sekolah menerapkan ESD. Saat itu, 120 sekolah diberi pelatihan. Isinya, dasar filosofis, praktis, dan teknis mengembangkan pendidikan pembangunan berkelanjutan di sekolah. Akhir Desember 2012, terpilih 11 sekolah di 4 kabupaten/kota di Kalteng.

”Pelatihannya sangat membumi, bukan teori seperti yang sudah-sudah. Kami bersemangat sekali, bahkan tak ada pikiran membolos dari pelatihan empat hari,” kata Joko Susilo, guru Bahasa Inggris SMPN 4 Selat, Kuala Kapuas.

Kini, ia mengaitkan pelajaran Bahasa Inggris dengan lingkungan, kearifan lokal, dan kehidupan masyarakat Kalimantan, seperti materi procedure, yang meminta siswa membuat urutan memasak masakan khas Kalteng.

Siswa SMA, pada saat belajar materi statistik Fisika, diminta menyiapkan presentasi soal lahan gambut terbakar dan yang dibuka untuk perkebunan. Pendek kata, mereka diajak mengenal lebih dekat lingkungannya.

Lalu, apa beda pelatihan menyusun kurikulum berbasis lingkungan yang dulu dengan versi ESD? ”Dulu, fokus belajar pada materi, bukan kepedulian. Itu kami ubah,” kata Fujiyanti, guru SMAN 2 Kuala Kapuas.

Dulu, skenario pendidikan di kelas mengadopsi besar-besaran dari buku yang dibuat dengan berbasis kondisi Pulau Jawa sehingga ada materi soal kereta api. Padahal, tak ada satu pun kereta api dan stasiun di Kalteng. ”Sejak pelatihan dan dukungan REDD+, kearifan lokal yang banyak diadopsi,” kata dia.

Kesadaran, bukan uang

Aulia, yang sejak awal mendampingi sekolah-sekolah itu, mengatakan, program ESD tak memberi bantuan finansial sama sekali. ”Dirancang membangkitkan kesadaran masyarakat melalui sekolah,” kata dia.

Sekolah Sobat Bumi merupakan sekolah yang sungguh berminat menerapkan pendidikan pembangunan berkelanjutan. Di antaranya ditunjukkan dengan antusiasme mengerjakan ”pekerjaan rumah” seusai pelatihan, yakni menyusun rencana pengajaran mengadopsi lingkungan yang terukur.

Dari sekolah, masyarakat nantinya diharap terlibat langsung menerapkan empat pilar pembangunan berkelanjutan. Keempat pilar itu adalah pembangunan ekonomi yang adil, pelestarian lingkungan, mengembangkan ketahanan sosial, dan memperkuat keanekaragaman budaya. Saat ini, pilar pelestarian lingkungan setidaknya tertanam di 11 sekolah.

Pada siang terik di halaman SDN Percobaan Menteng, Palangkaraya, Inalili mengisahkan betapa pentingnya menjaga kelestarian hayati Kalimantan yang kini digerus tambang dan perkebunan monokultur. ”Leha ka laya ituh?” katanya dalam bahasa Dayak Kapuas. Arti bebasnya, kenapa kita lengah?

Sumber: KOMPAS, Rabu, 06 Maret 2013.

Berita

About the author

lingkarLSM hadir untuk menemani pertumbuhan. Kami mengidamkan masyarakat sipil yang jujur dan punya harga diri. Kami membayangkan ribuan organisasi baru akan tumbuh dalam tahun-tahun perubahan ke depan. Inilah mimpi, tujuan dan pilihan peran kami. Paling tidak, kami sudah memberanikan diri memulai sebuah inisiatif; dan berharap langkah kecil ini akan mendorong perubahan besar.
No Responses to ““Duh, Leha Ka Laya Ituh”…”

Leave a Reply