Membangun Hutan Rakyat di Lahan Guntai

Agu 30, 2013 No Comments by

Oleh: Dedi Muhtadi

Areal Kota Bandung, – Jawa Barat, yang dikembangkan dari sekitar 8.000 hektar menjadi 16.791 hektar pada tahun 1988, ternyata mengubah kehidupan keluarga Enjang Juju (43). Kebetulan perekonomian Indonesia saat itu cukup baik sehingga merangsang orang kota memburu lahan di Desa Ciporeat, Kecamatan Cilengkrang, Bandung, tempat tinggal Enjang beserta keluarga besarnya.

Desa yang letaknya berbatasan langsung dengan hutan Gunung Manglayang ini memang indah dan sejuk. Dari ketinggian 1.190 meter di atas permukaan laut, orang bisa memandang hamparan Kota Bandung dengan segala keruwetannya.

Sebelum hutan pinus Manglayang dijadikan hutan konservasi pada 2004, Kawasan Bandung Utara ini relatif terbuka. ”Dulu kayu pinus itu banyak dijadikan sumpit,” ungkap Enjang.

Truk-truk pengangkut kayu dan sayuran pun biasa berlalu lalang, bercampur dengan angkutan susu sapi di kawasan yang juga sentra peternakan sapi perah. Seiring berjalannya waktu, kepemilikan lahan garapan warga pun berubah. Keluarga besar Enjang yang asalnya dari petani pemilik lahan dengan beberapa sapi akhirnya jadi penggarap.

”Pembeli tanah menyuruh saya menggarap lahan dengan tanaman apa saja asal menghasilkan,” ujar bapak tiga anak itu saat menceritakan lahan garapannya seluas 8 ha di Pasir (bukit) Jirak, yang sudah beralih tangan. Setiap habis panen, hasil penjualan sayuran seperti buncis atau singkong disetorkan ke pemilik tanah di Kota Bandung.

Tak semua lahan jadi perkebunan. Sisa lahannya, 4 ha, ditanami kopi. Keluarga si pemilik tanah juga jarang menengok lahannya. Setahun, kunjungan mereka bisa dihitung jari. Seperti Enjang, banyak tetangganya, yang juga warga asli Desa Ciporeat, kecipratan dengan uang dari kota yang sebelumnya ditukar dengan lahan milik mereka.

Meski lahannya sudah dijual, warga masih diizinkan menggarap lahan dengan pola bagi hasil. Setelah bertahun-tahun, penggarapan lahan oleh pemilik lama jadi pola umum di Kawasan Bandung Utara.

 

Hutan rakyat

Di Ciporeat ada lima kelompok tani gabungan yang dipimpin Enjang. Satu kelompok tani rata-rata beranggotakan 60 petani. Salah satunya, Kelompok Tani Kahuripan II, mengolah lahan 52,70 ha. Hampir semua petani penggarap menggarap lahan guntai (tanah milik orang lain).

Untuk menambah penghasilan, di samping tanaman sayuran dan ternak sapi, Enjang dan kawan-kawannya juga jadi buruh kebun bibit desa. Mereka memelihara bibit-bibit tanaman perkebunan yang benihnya diberikan oleh Dinas Perkebunan Jawa Barat.

”Selama enam bulan, kami dibayar Rp 40.000 per hari melalui HOK (hari orang kerja),” ujar Enjang. Tahun lalu, misalnya, petani penggarap ini memelihara 15.000 tanaman kopi yang disebarkan ke sejumlah perkebunan di Jabar. Dari pengalamannya itu, Enjang bisa menangkarkan bibit kayu hutan seperti jati putih, sengon, suren, atau akasia.

Kini, penangkaran benih menjadi penghasilan baru bagi Enjang dan anggota kelompoknya. ”Dihitung-hitung, sebulan kami bisa dapat Rp 1,5 juta,” ujar lulusan Sekolah Menengah Peternakan Cikole, Lembang, ini. Selain dijual ke desa tetangga, benih kayu hutan itu juga dibawa ke luar Bandung, seperti Garut atau Sumedang.

Berubahnya hutan produksi jadi kawasan konservasi di Gunung Manglayang membuat babi hutan, yang selama ini tinggal di hutan atas, leluasa turun ke hutan konservasi. Ketika persediaan makanan di hutan menipis, gerombolan babi hutan itu turun ke lahan garapan petani. Karena tanamannya sering diganggu babi hutan, sejumlah petani lalu meninggalkan garapan dan membiarkannya jadi alang-alang. Namun, petani kreatif menanaminya dengan tanaman keras.

”Untuk sehari-hari, kami masih ada sapi perah atau jadi buruh serampangan di kota,” ujar Amas (62), warga Ciporeat. Sejak 2009, Kelompok Tani Kahuripan mengubah lahan perbukitan dengan tanaman keras jadi hutan rakyat. Bibitnya tersedia secara mandiri di tempat penangkaran.

”Tahun lalu kami menangkarkan 132.000 bibit tanaman yang kami bagikan ke seluruh kelompok,” ujarnya, seraya menambahkan, biaya penyediaan bibit diperoleh dari dana bantuan sosial Pemerintah Provinsi Jabar. Sejak saat itu lahan-lahan di kaki Gunung Manglayang pelan-pelan berubah dari tanaman sayuran jadi hutan rakyat mandiri.

Tahun 2012-2013, misalnya, Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, yang dibina sesepuh Jabar, Solihin GP, membantu menumbuhkan 46,1 ha hutan rakyat di desa. Sebanyak 49.150 tanaman hutan, mulai dari jati putih (gmelina), jabon, suren, hingga lainnya, disebarkan lewat Kelompok Tani Kahuripan.

 

Lahan konservasi

Selama ini, lahan konservasi seluas 38.548 ha di utara Kota Bandung melahirkan berbagai konflik. Kawasan berketinggian mulai dari 750 meter di atas permukaan laut itu sebagian besar dikuasai untuk bangunan rumah, hotel, dan restoran. Kini, sebagian mulai dihijaukan jadi hutan rakyat. Tentu, apa yang dilakukan Enjang dan kelompoknya bisa menjadi secercah cahaya.

Sumber: KOMPAS, Jumat, 21 Juni 2013.

Berita

About the author

lingkarLSM hadir untuk menemani pertumbuhan. Kami mengidamkan masyarakat sipil yang jujur dan punya harga diri. Kami membayangkan ribuan organisasi baru akan tumbuh dalam tahun-tahun perubahan ke depan. Inilah mimpi, tujuan dan pilihan peran kami. Paling tidak, kami sudah memberanikan diri memulai sebuah inisiatif; dan berharap langkah kecil ini akan mendorong perubahan besar.
No Responses to “Membangun Hutan Rakyat di Lahan Guntai”

Leave a Reply