Penanganan Krisis Tak Serius
Jakarta, Kompas – Pemerintah pusat dan daerah tidak serius mengatasi krisis air bersih yang terjadi di Jakarta dan wilayah sekitarnya. Ironisnya, persoalan besar ini tidak menjadi isu strategis pemerintah dalam lima tahun mendatang.
”Untuk melayani 100 persen kebutuhan air bersih dari jaringan pipa, perlu waktu panjang. Tidak mungkin dalam waktu lima tahun. Akhir tahun 2016, target pelayanan air bersih melalui pipa kami prediksi baru mencapai 68 persen,” kata Direktur Utama PD PAM Jaya Sri Widayanto Kaderi, Senin (18/3), di Jakarta.
Menurut Sri, lima tahun ke depan, Pemerintah Provinsi DKI akan menambah volume air baku Kanal Tarum Barat dari Waduk Ir Djuanda di Jawa Barat, bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum. Perbaikan Tarum Barat bisa menambah volume air baku menjadi 21 meter kubik per detik, dari pasokan sekarang 16 meter kubik per detik. Dalam kurun waktu yang sama, Pemprov DKI sedang berupaya memanfaatkan potensi air baku di wilayah Jakarta. ”Rencana penambahan air baku ini akan selesai tahun 2015,” katanya.
Penambahan pasokan air baku dari Tarum Barat dilakukan bertahap sejalan dengan pengerukan endapan dan perbaikan dinding saluran yang mulai dilakukan tahun 2013. Seluruh upaya ini dilakukan karena kondisi Tarum Barat semakin rapuh dimakan usia, tekanan penduduk, dan beban lalu lintas kendaraan.
Kondisi sejumlah saluran di Karawang dan Bekasi juga makin buruk seiring berkembangnya tingkat hunian, WC di sempadan kali, dan jalan inspeksi yang sudah berubah menjadi jalan umum bagi kendaraan berat. Padahal, dari saluran ini dipasok sekitar 81 persen suplai air baku ke Jakarta.
Selain perbaikan saluran, pemerintah juga berencana membangun pipa untuk mengalirkan 4,2 meter kubik per detik air curah. Instalasi pengolah air akan dibangun di sekitar Bendung Bekasi sebelum dialirkan ke DKI Jakarta.
Pembangunan proyek ini diharapkan dapat menambah debit pasokan air baku ke Jakarta 15 meter kubik per detik, totalnya menjadi 31 meter kubik per detik. Diharapkan penambahan ini bisa dilakukan dalam 15 tahun mendatang. ”Pada tahap pertama, pasokan diharapkan bertambah 5 meter kubik per detik pada tahun 2015 atau 2016,” kata Imas Aan dari Humas Perum Jasa Tirta II.
Biaya mahal
Walau tengah melaksanakan program itu, krisis air bersih bukan menjadi isu strategis Pemprov DKI Jakarta. Alasannya, dana investasi untuk itu terlalu mahal. Sebagai gambaran, untuk memanfaatkan air dari 13 kali yang mengalir di Jakarta sebagai bahan baku air bersih butuh dana sekitar Rp 85 triliun.
”Sementara kami fokus untuk mengambil alih pengelolaan air dari swasta ke BUMD (badan usaha milik daerah). Setelah itu menata pengelolaan air agar tidak merugikan publik,” kata Imas.
Pengambilalihan ini, kata Wakil Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama, akan mempermudah perubahan kontrak kerja sama dengan operator.
Keputusan Pemprov DKI tidak memasukkan persoalan krisis air bersih, kata Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta Sayogo Hendrosubroto, merupakan tindakan gegabah. Persoalan itu seharusnya menjadi perhatian serius sebelum masalah tersebut semakin menyulitkan publik.
Dampak yang dirasakan saat ini akibat krisis air adalah kerusakan ekologi yang semakin buruk. Bahkan, krisis air di Jakarta ini bisa membelit keuangan daerah karena selisih biaya operasional dengan water charge (imbalan) yang diklaim operator ditanggung PAM Jaya.
Per Oktober 2012, utang PAM Jaya kepada operator sudah mencapai Rp 573 miliar. Nilai ini akan semakin membengkak karena setiap enam bulan sekali imbalannya meningkat. ”Saya setuju, persoalan ini harus segera diselesaikan,” kata Sayogo.
Wilayah sekitar
Kondisi setali tiga uang juga dirasakan wilayah sekitar Jakarta. Pemkot Tangerang Selatan, Kabupaten Bekasi, dan Pemkot Bekasi tidak memiliki langkah strategis. Apabila persoalan ini terus dibiarkan, tidak mustahil lahir konflik horizontal antara Pemerintah Provinsi Jakarta dan wilayah sekitarnya memperebutkan sumber air baku yang sama. Saat ini pun konflik itu sudah terjadi, khususnya di wilayah Tarum Barat, Bekasi.
Apabila volume air meningkat dan menimbulkan dampak banjir, warga Bekasi terganggu kepentingannya. Mereka akan meminta agar bendung Bekasi dibuka sehingga dampaknya air baku yang seharusnya mengalir ke Jakarta terbuang ke laut.
Kondisi ini sudah terjadi pada banjir 18 Januari, yang menimpa wilayah Jakarta dan daerah sekitarnya.
Rencana gagal
Di sisi lain berbagai rencana untuk meningkatkan volume air baku banyak yang tidak terealisasi. Tahun 1990-an, pemerintah berencana membangun Bendungan Karian di Serang, Banten, untuk memenuhi kebutuhan air bersih 3-4 juta warga di Tangerang dan DKI Jakarta.
”Tujuannya untuk memasok air dari barat DKI Jakarta. Kalau dari arah timur dipasok dari Jatiluhur. Sebagian besar pasokan air Bendungan Karian memang direncanakan untuk Jakarta, tetapi sampai saat ini belum terealisasi,” tutur pemerhati PDAM, Chusfani Kartadikaria.
Di Bekasi, pipa-pipa PDAM baru menjangkau 906.000 jiwa dari 4,96 juta jiwa (18 persen). Sementara itu, sebanyak 4,05 juta jiwa mengandalkan air hujan, sumur, sungai, danau, situ, dan saluran yang rentan tercemar. Ketika sumber air ini kering karena kemarau, warga mengandalkan bantuan pemerintah, PDAM, atau membeli dari pedagang.
Di Tangerang Selatan, sebagian besar warga masih mengandalkan air tanah. (MKN/RAY/PIN/GAL/BRO/NDY)
Sumber: KOMPAS, Selasa, 19 Maret 2013.