Meniscayakan Bisnis Hijau
Kata hijau green memang mengalirkan kata sejuk dan aman tatkala kita mendengar atau mengucapkannya. Namun, selama beberapa tahun terakhir, kata hijau cenderung diucapkan dengan antusiasme menggelegak, penuh passion, bahkan sering dibarengi eksotisme. Yang terjadi bukan lagi sekedar eskalasi makna hijau dari sejuk menjadi hangat, melainkan langsung melompat menjadi panas.
Lihatlah, dimana-mana, slogan Go Green! diteriakkan dengan lantang dan ingar-bingar, mulai dari aktivis lingkungan hingga anak-anak kecil dan ibu rumah tangga. Dari kepala negara sampai kepala desa. Dari kaum jetset dan selebritas kelas dunia hingga orang biasa-biasa saja. Dari musisi gedongan hingga pengamen jalanan.
Tak terkecuali, tentu saja, diranah bisnis: mulai dari para pemilik dan eksekutif puncak organisasi hingga karyawan pabriknya. Bahkan akhir-akhir ini, muncul fenomena baru: disetiap diskusi atau obrolan antarpelaku bisnis, terasa kuno dan takut dicap kurang beradab kalau tak menyelipkan kata green dalam diskusi mereka. Dan itu biasanya dikaitkan dengan keseluruhan proses bisnis, mulai dari pasokan bahan baku, proses produksi, proses akhir, sampai distribusinya ke konsumen.
Euforia hijau tersebut – teristimewa dikalangan pelaku bisnis – sangat patut kita syukuri. Bagaimanapun, sebagai entitas bisnis, organisasi merupakan penyumbang terbesar terhadap penurunan daya dukung bumi, pencemaran lingkungan, polusi udara dan air, serta dampak negatif lainnya. Terlebih lagi, bagi sejumlah organisasi yang bergerak di industri yang memang berpotensi merusak lingkungan seperti usaha pertambangan, kimia, perkayuan, otomotif, dan sebangsanya.
Desakan go green terhadap dunia usaha kian kencang terlebih setelah Al Gore, mantan Wapres Amerika Serikat di era Bill Clinton, menyuarakan isu pemanasan global lewat film dokumenter yang dibintanginya sendiri, An Inconvenient Truth. Ditangan Al Gore, topik ilmiah yang njliment dan menjemukan perihal kerusakan lingkungan hidup seperti pemanasan global mampu disajikan secara menarik sekaligus dramatis sehingga gampang dicerna masyarakat awam. Suara Al Gore, bagaimanapun, berandil besar mendorong publik, terutama mereka yang disebut environmentally-educated consumers, menekan dunia usaha sebagai penghasil emisi tertinggi untuk lebih memperhatikan proses produksi barang/jasa mereka agar tak sekadar berkualitas melainkan juga ramah lingkungan. Apalagi, sumber daya energi fosil menyusut tajam sehingga dunia usaha yang dikenal boros energi dituntut cerdik menggunakan sumber daya alternatif. Begitu pula terhadap sumber kehidupan yang lain, khususnya air.
Menanggapi desakan tersebut, akhir-akhir ini kian banyak usaha mengklaim diri sebagai green company. Kepada para konsumennya dan masyarakat luas, mereka berusaha menyakinkan bahwa mereka peduli terhadap kelestarian lingkungan, terutama melalui program Corporate Social Responsibility-nya.
Nah, sejauh mana atau apa kriterianya suatu usaha dapat dikategorikan sebagai green company? Tanpa mengurangi penghargaan atas upaya banyak organisasi – kecil apa pun upaya tersebut – untuk menjadikan diri sebagai green company, definisi green company sebetulnya simpel saja. Yakni, organisasi yang tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan setempat ataupun global, juga terhadap masyarakat dan ekonomi secara keseluruhan. Green company, selain tumbuh sehat sebagai bagian dari entitas bisnis yang mampu mencetak laba, juga beroperasi sebagai organisasi yang bersahabat dengan bumi dan seluruh penghuni yang hidup di atasnya. Artinya kehadirannya selalu memberikan manfaat yang berkelanjutan bagi semua pemangku kepentingannya: konsumen, investor, karyawan, masyarakat, dan bumi.
Mengadopsi konsep yang dikembangkan Boston Consulting Group, green company beroperasi di atas pijakan 4P, yakni: prinsip, proses, produk dan promosi. Yang pertama, prinsip, artinya lembaga memiliki visi untuk menjadi organisasi yang ramah lingkungan atau meminimalkan dampak buruk terhadap alam. Ini kemudian dijabarkan dalam kebijakan dan strategi bisnis yang prolingkungan.
Kedua, proses, yakni menyangkut proses bisnis dengan menggunakan teknologi yang ramah lingkungan, beroperasi di tempat yang ramah lingkungan (misalnya, gedung yang didesain hijau), dan proses bisnis lain yang tidak merusak lingkungan. Bahkan, memanfaatkan energi terbarukan, menekan konsumsi energi, mengurangi emisi, dan menggunakan bahan daur ulang.
Ketiga, produk, yakni menghasilkan produk/jasa yang tidak merusak alam – bila mungkin, malah menghasilkan produk yang bisa didaur ulang dan digunakan kembali. Yang terakhir, promosi, yaitu mengampanyekan posisi organisasi atas praktis bisnis prolingkungan yang secara konsisten telah dijalankan.
Membangun bisnis hijau memang harus kian digencarkan. Sebab, faktanya, perubahan iklim semakin kacau, daya dukung bumi melemahkan sementara populasi terus membengkak, serta sumber daya alam yang terus berkurang karena terus-menerus dikuras.
Kenyataan itulah yang mendorong SWA berinisiatif melakukan survei dan membuat peringkat Indonesia Green Company. Kita tahu, membangun tatanan bisnis hijau jelas membutuhkan proses yang panjang. Karena itu, sekecil dan sesederhana apa pun inisiatif pelaku bisnis untuk membangun green company, patut diapresiasi dan didorong.
Penulis: Harmanto Edy Djatmiko.
Disarikan darimajalah: SWA, Halaman: 30-31.