Ikhtiar Menjadi Hijau (Bagian 2/2)

Jul 10, 2012 No Comments by

BNI sebut contoh. Bank pelat merah ini memiliki konsep dan implementasi cukup lengkap dalam hal green dan sustainability. ”BNI memiliki sustainability roadmap menuju investasi yang bertanggung jawab secara sosial dan lingkungan,” kata Darwina. Dia menyebut contoh, demi implementasi konsep green, BNI sampai mengubah model operasi bisnisnya (business operation), attitude karyawan, bahkan manajemen. “BNI merupakan pionir di perbankan untuk sustainable banking model,” dia memberi alasan.

Emil membenarkan pendapat Drawina. “Intinya, BNI memberikan kredit kepada nasabah yang peduli lingkungan. Mereka melakukan outreach,” ujar sosok yang dikenal luas sebagai Pembina disejumlah LSM Lingkungan hidup ini itu. Misalnya, saat BNI memberikan kredit, akan dikontrol kreditnya kemana kalau ke usaha perkebunan sawit, akan dicek dulu, mengikuti kaidah RSPO atau tidak. Itu hanya sebagian kecil dari praktik di BNI, selengkapnya dapat dilihat pada bagian selanjutnya dari Sajian Utama kali ini.

Hal sama juga terjadi pada tiga usaha lainnya. Bio Farma, umpamanya. Seperti dijelaskan Basuki, usaha farmasi ini hampir boleh dikata tidak memiliki dampak negatif terhadap lingkungan. “Sumber dayanya justu memiliki fungsi yang sangat luas bagi kesehatan masyarakat,” katanya. Di lembaga yang usianya sudah lebih dari 100 tahun itu, sudah ada pemisahaan manajemen limbah B3 padat, sampah limbah padat, dan sebagainya. “Mereka ada usaha-usaha yang integratif,” Emil menyambung. Bila ada kesempatan, mainlah ke Bio Farma di Jl. Pasteur, Bandung. Di lingkungan ini diupayakan minim emisi  sejak ruang parkir, penggunaan air tanah tak lebih dari 40%, dan ada konservasi air tanah.

Begitu pun Medco Energi. Lho, mengapa mereka mendapat apresiasi? Bukankah semua usaha tambang dikenal ekstraktif?

Pertanyaan itu pula yang mendarat ketika Astra Internasional, raksasa otomotif dan produsen oli, mendapat apresiasi. Bukankah mereka kontributor terbesar polutan di udara, penyedot energi fosil, penghisap ekstraksi bumi paling rakus (mayoritas komponennya adalah hasil olah bahan tambang)? Kok bisa?

Para juri berpendapat mereka sangat peduli lingkungan dan memiliki strategi jangka panjang untuk menuju green economy. Medco hanya melakukan penambangan tertutup (deep mining) – bukan open mining – sehingga dampak negatif terhadap lingkungan relatif lebih kecil. Di dalam proyek tambangnya banyak digunakan konsep organik ketimbang bahan-bahan kimia.

Dalam kasus Astra, usaha publik dengan kapitalisasi pasar terbesar ini sudah sejak 2004 mencanangkan prolingkungan, bahkan membuat program Astra Green Company. Program ini memiliki visi dan grand strategy yang jelas, dan didukung langsung oleh manajemen puncak. Pengukuran terhadap hasilnya juga dikuantifikasi secara pasti. Astra melukan upaya konkret untuk meminimalisasi dampak dari produk-produknya dan memfasilitasi upaya penyelamatan lingkungan.

Eniya menjelaskan, secara ideal, konsep green company harus dipahami dari hulu hingga hilir. “Bukan proses engineering saja, namun aliran supply chain juga harus diperhatikan. Keterkaitan masing-masing supply chain terdapat lingkungannya harus ditelah,” ujarnya menandaskan. Dia menyebutkan, kalau hal itu menyangkut bahan baku, mesti dilihat dari mana bahan bakunya. Demikian juga kertas kardus pembungkus produk, harus diketahui bahwa kardus berasal dari bahan baku yang harus tersedia secara terus-menerus. Hal itu bagian dari disiplin green company. “Mereka harus sudah sampai di level memikirkan keberlanjutan dan melakukan inovasi, dan mereka juga profit,” katanya memberi penegasan.

Emil melengkapi keterangan itu. Dia menandaskan, ada empat kondisi kalau organisasi ingin disebut menjalankan konsep green company secara baik. Pertama, harus berkomitmen penuh dan didukung manajemen penuh dan didukung manajemen puncak. Kedua, menjadikannya sebagai main stream bisnis lembaga sehingga dilakukan roll out di semua aktivitas dan di semua cabang. Ketiga, melakukannya secara terintegrasi, terukur dengan management system dan punya indikator kerja. Keempat, melakukan outreach, dengan merangkul semua stakeholder. “Ini bukan seperti CSR yang sekedar kasih uang, namun harus ada proses membimbing, keberlanjutan,” kata lelaki yang 8 juni lalu menginjak usia 82 tahun itu.

Keempat lembaga yang menerima apresiasi pada Indonesia Green Company Award 2012 memang layak diberi acungan jempol karena berupaya menerapkan empat garis yang diberikan Emil di atas. Namun, tentu saja bukan berarti mereka sudah sempurna. Perbaikan harus dilaksanakan di segala sisi, termasuk perhatian terhadap ujung dari produk yang dipasarkan. Astra, ambil contoh. Bagaimanapun, emisi gas buang dari kendaraan yang dipasarkanya tetap harus diperhatikan. Begitu pula dengan oli-oli bengkel. Mereka tak bisa lepas tangan begitu saja. Begitu juga dengan oli-oli bengkel. Mereka tak bisa lepas tangan begitu saja. Outreach dengan stakeholders mesti digalakkan. Mereka harus ikut menciptakan perilaku bertanggung jawab mitra-mitra bisnisnya. Memang Astra sudah mengompensasi dampak negatif operasinya dengan ikut gerakan penanaman di sejumlah tempat, tetapi itu harus diperluas dan dikembangkan terus-menerus. Rasanya hal yang kurang asyik buat Astra yang profitnya terus melesat tetapi secara tidak langsung turut menurunkan kualitas kehidupan. Ingat: bagaimanapun, pertambahan mobil dan motor yang berseliweran di jalanan membawa dampak lingkungan yang tidak kecil!

Itu contoh catatan kritis yang diberikan buat empat lembaga yang mendapat apresiasi. Lantas, bagaimana dengan 24 peserta lainnya?

Pertama, acungan jempol tetap layak diberikan kepada mereka yang membuka diri untuk dinilai para juri yang cukup galak di setiap sesi. Kebersediaan green initiative-nya dipereteli merupakan hal yang tidak mudah. Langkah mereka mungkin belum seperti empat lembaga diatas yang sudah ada di “kilometer 8-10” dalam urusan green company. Namun sekecil apapun langkahnya, mereka sudah masuk ke jalur yang tepat. Dan, ini sudah menjadi credit point tersendiri. Bravo!

Namun, ini tentu saja tak memadai. Yang kedua, langkah mereka harus terus disempurnakan di banyak sisi, untuk kemudian diakselerasi sehingga secara bertahap bisa melaju ke kilometer selanjutnya. Harap diingat: Indonesia Green Company Award 2012 bukanlah ajang untuk promosi. Jadi, langkah internal di organisasi peserta itu sendiri yang jauh lebih penting ketimbang apresiasi di ajang ini. Pendek kata: buat seluruh partisipan, ini bukanlah akhir.

Diatas di singgung tentang upaya organisasi menjadi green company untuk mencapai sustainability. Diluar penjurian, sebenarnya upaya-upaya untuk memulai membangun green company mulai dijalankan kalangan pengusaha besar di Indonesia. Sebut contoh, PT Tirta Investama, produsen Aqua dan Mizone. Dijelaskan Sonny S.Sukada, Direktur Sustainable Development Tirta Investama, usahanya juga sudah melangkah ke isu sustainable dan punya program Aqua Lestari yang terdiri dari pelestarian air dan lingkungan, praktik pengusaha ramah lingkungan, serta pengembangan masyarakat. Aqua berusaha menjaga lingkungan dari hulu hingga hilir, antara lain dengan melakukan agroforestry, melakukan konservasi menanam bakau, hingga mengelola sampah botol plastik.

Hal serupa dilakukan PT Unilever Indonesia. Dijelaskan Maurits Lalisang, Presdir Unilever Indonesia, pihaknya menerapkan strategi yang disebut Unilever Sustainable Living. “ Ini komitmen Unilever untuk bertanggung jawab atas dampak yang ditimbulkan oleh bisnisnya terhadap lingkungan dan masyarakat di sepanjang rantai nilai, mulai dari pemilihan bahan baku sampai penggunaan produk oleh konsumen,” papar Maurits.

Ya, green company akan terwujud bila pemilik usaha atau manajemen puncak punya niat sungguh-sungguh untuk peduli lingkungan. Program seperti green company, seperti dikatakan Darwina, tak akan berhasil kalau sekedar dijadikan program tempelan dari kegiatan CSR lembaga. Tak bisa juga hanya dilihat sebagai kewajiban lembaga untuk berbagi dengan pihak luar. Melainkan harus ada niat tulus dan dijalankan dengan program yang komprehensif. Semoga saja kedepan akan makin banyak organisasi berupaya menjadi green company.

Upaya yang kini di gelar SWA ini rencananya akan berlanjut secara kontinyu sehingga organisasi kian terpacu mengakselerasi diri menjadi green company. Ini hanya langkah awal. Namun, bila banyak organisasi mengayunkan langkah ini, kita layak berharap sesuatu yang baik akan diraih. Cukup sudah 1,2,3 atau 5 usaha yang mencemari lingkungan dan kurang peduli dampak sosial. Namun untuk green company, seribu usaha pun tak pernah memadai di tengah bumi yang semakin menua ini.

Jadi? Seperti penghantar di atas: ambillah rehat sejenak. Terutama bagi para pengambil keputusan dunia organisasi. Pikirkan: apa yang sudah kita perbuat untuk menjadi green? Pahlawan bisnis hari ini boleh jadi adalah pendosa di mata anak-cucu yang tak lagi punya kualitas kehidupan yang baik.

Oleh: Sudarmadi.

Disarikan dari Majalah: SWA, Halaman: 35-36.

Pengukuran Dampak, Posisi, Peran, dan Misi

About the author

lingkarLSM hadir untuk menemani pertumbuhan. Kami mengidamkan masyarakat sipil yang jujur dan punya harga diri. Kami membayangkan ribuan organisasi baru akan tumbuh dalam tahun-tahun perubahan ke depan. Inilah mimpi, tujuan dan pilihan peran kami. Paling tidak, kami sudah memberanikan diri memulai sebuah inisiatif; dan berharap langkah kecil ini akan mendorong perubahan besar.
No Responses to “Ikhtiar Menjadi Hijau (Bagian 2/2)”

Leave a Reply