Membumikan Gerakan Hijau
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa dari beberapa kota utama di Indonesia hanya 40% dari responden menyatakan memilih produk hijau. Gerakan hijau masih belum merasuk ke dalam sanubari masyarakat kita.
Gerakan hijau merupakan suatu proses untuk mencapai kondisi ‘hijau’ melalui strategi bisnis, desain produk, maupun melalui gaya hidup. Berdasarkan konsep ini, jelas yang paling berperan adalah masyarakat, baik sebagai produsen, sebagai konsumen, dan masyarakat sebagai stakeholders. Ketiga peran inilah yang memberikan kontribusi utama bagi berhasilnya gerakan hijau.
Masyarakat dengan perannya sebagai konsumen dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok berdasarkan derajat kemauannya untuk bersikap dan bertingkah laku ‘hijau’. Roper Organization mendefinisikan tipe konsumen hijau menjadi lima kelompok. Kelompok pertama adalah true blue greens, para pemimpin dari gerakan hijau di antara populasi umum. Kelompok greenback greens merupakan kelompok masyarakat yang mewujudkan komitmen hijau dengan (hanya) menunjukkan kemauan untuk membayar lebih untuk memperoleh produk hijau. Selanjutnya adalah kelompok sprouts, kelompok masyarakat yang memiliki kecenderungan untuk melakukan tindakan hijau tetapi belum menunjukkan pola tingkah laku yang jelas. Sedangkan kelompok masyarakat yang menolak untuk melaksanakan tindakan hijau dengan mengemukakan berbagai alasan dan kritik disebut grousers. Kelompok terakhir adalah basic browns yang tidak mempercayai bahwa aktivitas individu dapat memberikan pengaruh pada peningkatan kualitas lingkungan dan keseimbangan alam serta tidak bersedia melakukan tindakan hijau.
Termasuk di manakah konsumen negeri kita? Secara jujur, sebagian besar masyarakat kita baru mencapai tarat sprouts, grousers, dan basic browns. Dengan situasi ini, peran konsumen sebagai salah satu pilar utama gerakan hijau masih sangat rapuh. Konsumenlah yang dapat memaksa produsen untuk mengikuti alur berpikir ‘hijau’. Dengan demikian peningkatan ‘kelas’ konsumen dalam konteks ‘hijau’ masih sangat diperlukan.
Masyarakat dalam perannya sebagai pelaku bisnis, dalam merealisasikan konsep hijau dapat diwujudkan secara internal maupun eksternal. Tanggung jawab internal diwujudkan dengan adanya perombakan, mulai dari falsafah hidup organisasi, proses produksi, sampai pada aktivitas sehari-hari. Sedangkan tanggung jawab eksternal diwujudkan dengan usaha aktif untuk ikut serta mendidik konsumen dan masyarakat luas.
“Menjadi hijau” bukan hanya mengubah proses dan produk saja, akan tetapi juga mempedulikan ke-“hijau”-an dari bahan baku yang digunakan dan kualitas perusahaan pemasok dipandang dari kacamata sadar lingkungan. Selain itu, aktivitas untuk meminimumkan dampak negatif dari sisa produk yang dihasilkan juga menjadi tanggung jawab perusahaan. Akan tetapi, butir-butir penting tersebut hanya dapat terlaksana secara efektif dan efisien dalam suatu perusahaan apabila didukung oleh manajemen yang juga “hijau”, yang didukung oleh adanya sistem manajemen yang baik pula. Perusahaan yang dikendalikan sembarangan biasanya tidak akrab lingkungan; sebaliknya perusahaan yang berusaha keras untuk mengurangi dampak lingkungan yang mereka timbulkan biasanya dimanajemeni dengan baik.
Salah satu cara untuk mengubah perusahaan menjadi lebih hijau adalah melalui kultur perusahaan menjadi kultur yang peduli terhadap ‘kehijauan’ proses dan hasil. Manajemen yang terbuka mempermudah proses menjadi lebih hijau, seperti dicontohkan oleh Geneva Steel. Emisi limbah Geneva Steel turun sampai seperempat dari batas maksimum yang diizinkan pemerintah. Rahasianya sederhana saja: merawat baikbaik semua pintu oven. Perusahaan pun dapat menaikkan labanya. Dan dengan keuntungan itu perusahaan mampu melakukan pelbagai investasi dalam teknologi yang lebih bersih.
Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan besar yang menguntungkan dengan manajemen baik akan lebih mudah menghijaukan diri daripada perusahaan kecil. Karena itu, salah satu cara untuk menyebarkan ideide hijau adalah dengan mendorong perusahaan-perusahaan besar agar mau memaksa para subkontraktor dan pemasoknya agar lebih ramah lingkungan.
Tekanan untuk menghijaukan diri ini juga mengubah hubungan antara perusahaan dan konsumen. Contohnya adalah ICI yang bersedia mengambil kembali produknya yang terkontaminasi asam belerang, membersihkannya dan mengirimkannya kembali kepada para pelanggannya di industri perminyakan. Dengan kata lain, tekanan masyarakat agar perusahaan lebih peduli lingkungan ini merupakan kesempatan untuk memperkuat hubungan antara perusahaan dan konsumen. Konsumen akan mencari produk yang bersahabat dengan lingkungan. Perusahaan akan mencari pemasok yang bisa memecahkan persoalan-persoalan lingkungannya.
Hubungan antar perusahaan pun akan berubah. Karena sama ditekan untuk menjadi hijau. Maka banyak perusahaan mulai cerewet terhadap perusahaan-perusahaan pemasoknya, meski dirinya sendiri belum menghijaukan diri. Cara lain yang bisa ditempuh untuk tidak mencemari lingkungan adalah melalui kerja sama dengan perusahaan lain. Dengan kerja sama, tidak hanya biaya menjadi lebih murah, tapi juga mengurangi waktu pengembangan teknik-teknik hijau dan mempermudah daur ulang.
Banyak manajer di perusahaan-perusahaan yang sadar lingkungan melihat manajemen hijau dan tujuan “zero defects” sebagai hal yang paralel. Filosofi yang mendasari “zero defects” dan manajemen hijau pun serupa: “Biaya kontrol kualitas akan meroket kalau dilakukan setelah produk terjual. Biaya kendali mutu akan mencapai titik terendah kalau kontrol mutu dilakukan sejak awal proses pembuatan.” Begitu pula “penghijauan” akan murah kalau berupa minimalisasi limbah. Biaya “penghijauan” meninggi kalau dilakukan pada akhir proses dan menjadi paling mahal kalau berupa pembersihan polusi. Maka, kalau dulu orang mengejar “zero defects“, sekarang orang berburu “zero emissions“.
Gerakan hijau yang kelihatan ‘otot’-nya di negara-negara maju, masih belum mempunyai ‘greget’ di negara kita. Tetapi konsumen global yang sudah ‘termakan’ gerakan hijau akan menekan dunia usaha di Indonesia untuk masuk ke dalam arus gerakan hijau global.
Sumber: A.B. Susanto, Membumikan Gerakan Hijau, Majalah Dzon, Edisi No.5, Februari 2003.