Melestarikan Kearifan Wae Rebo
Oleh: Dwi As Setianingsih
Kampung adat Wae Rebo di Gunung Pocoroko, Kabupaten Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur, adalah primadona baru. Setelah mendapat anugerah Award of Excellence dari Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB atau UNESCO kawasan Asia Pasifik, kampung ini tak pernah sepi.
Para wisatawan berlomba membuktikan keagungan mahakarya budaya bangsa Indonesia dan menimba kearifan hidup masyarakat Wae Rebo.
Kampung Wae Rebo terletak sekitar 1.100 meter dari permukaan laut, masuk wilayah Desa Satarlenda, Kecamatan Satarmese Barat, Manggarai, NTT.
Wae Rebo ”ditemukan” pertama kali tahun 1997 oleh antropolog Belanda, Catherine Allerton. Allerton mencari Wae Rebo untuk sebuah penelitian.
Tahun 2008, jejak Allerton diikuti arsitek Yori Antar. Yori berkunjung ke Wae Rebo dan menginisiasi pembangunan rumah adat yang saat itu rusak. Dana pembangunan digalang antara lain dari Yayasan Tirto Utomo, pengusaha Arifin Panigoro, dan Laksamana Soekardi.
Proses pembangunan rumah adat didokumentasikan sehingga warga menguasai kemampuan membangun rumah yang disebut mbaru niang. Upaya konservasi itu membuahkan Award of Excellence UNESCO dan melejitkan Wae Rebo ke dunia.
Dari tujuh rumah adat di Wae Rebo, saat ini tersisa dua rumah yang belum direvitalisasi. Dalam waktu dekat, kedua rumah akan direvitalisasi oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dana yang dianggarkan Rp 500 juta.
Saat ini, 670 wisatawan baik lokal maupun asing telah berkunjung ke Wae Rebo. Wisatawan asing terbanyak dari Belanda, Perancis, dan Amerika Serikat. Wisatawan lokal selain dari NTT, datang dari Surabaya dan Jakarta.
Untuk menuju Wae Rebo, perjalanan harus ditempuh dengan berjalan kaki selama 4,5 jam. Jarak Wae Rebo kurang lebih 9 kilometer dari desa terakhir di Denge lewat jalan setapak, mendaki dengan sudut 45 derajat di antara hutan lebat.
Setengah jam terakhir, setelah memasuki perkebunan kopi milik warga, tampak kampung adat Wae Rebo. Di antara puncak-puncak bukit yang mengelilinginya, Kampung Wae Rebo merupakan daya magis yang menebar pesona luar biasa.
Kampung Wae Rebo berbentuk melingkar, bentuk rumahnya juga bulat dengan atap kerucut. Rumah adat utama disebut rumah gendang, berdiameter 15 meter dengan ukuran tinggi sama, dihuni 8 keluarga. Rumah lain, disebut niang gena, berdiameter 12 meter dengan tinggi kurang lebih sama, dihuni 6 keluarga. Rumah itu diturunkan oleh leluhur Wae Rebo bernama Maro yang disebutkan berasal dari Minangkabau.
Saat ini ada 44 keluarga yang tinggal di Wae Rebo. Mata pencarian utamanya berkebun. Mereka menanam kopi, cengkeh, dan umbi-umbian. Perempuan Wae Rebo, selain memasak, mengasuh anak, dan menenun, juga membantu kaum lelaki di kebun.
Titik pusat Kampung Wae Rebo berada di batu melingkar di depan rumah utama yang disebut compang. Pintu tiap rumah adat dibangun menghadap ke compang. Compang merupakan pusat aktivitas warga untuk mendekatkan diri dengan alam, leluhur, serta Tuhan. Penghormatan terhadap ketiga unsur diwujudkan dalam berbagai upacara adat yang sampai kini rutin dilakukan. Salah satunya upacara menyambut pergantian tahun dyang isebut penti.
”Di Wae Rebo, semua berbentuk bulat, mulai dari gunung tempat tinggal mereka, kampung yang melingkar, hingga rumah. Masyarakat Wae Rebo percaya, di dalam bulat ada keadilan,” kata Yosep Katop, Sekretaris Lembaga Masyarakat Adat Wae Rebo, pertengahan September, di Wae Rebo.
Hak untuk menghuni rumah adat diperoleh melalui penunjukan oleh tetua masing-masing pewaris keturunan. Biasanya hak diberikan kepada anak laki-laki tertua dalam keluarga. Namun, posisi itu dapat digantikan oleh anak lain melalui musyawarah adat.
Cermin Keharmonisan
Dalam keseharian, masing- masing keluarga di rumah adat menempati ruang berukuran sekitar 4 x 3 meter di bagian rumah yang disebut tenda. Tenda adalah lantai utama di dalam mbaru niang, tempat warga melakukan aktivitas sehari-hari, seperti tidur, makan, dan memasak. Untuk keperluan masak, masing-masing keluarga memiliki tungku perapian di bagian tengah rumah.
Laki-laki Wae Rebo biasanya turun ke Pasar Kombo di Denge di hari Minggu, membawa kopi hasil kebun. Hasil penjualan kopi digunakan untuk membeli bahan kebutuhan pokok, seperti beras dan lauk pauk.
Warga biasanya menyimpan hasil bumi, seperti kopi, jagung, ubi jalar atau talas, di bagian atap rumah yang disebut loteng. Loteng lapis pertama disebut lobo, lalu ada lentar, lemparae, dan hekang kode.
Titik pusat rumah berada di tiang bongkok atau tiang utama. Pintu-pintu kamar menghadap ke tiang bongkok yang melambangkan hak setiap penghuni rumah yang sama rata.
Meski nilai-nilai kekerabatan terus dilestarikan, tak ada catatan jelas mengenai waktu kedatangan Kakek Maro di Wae Rebo. Dari tuturan cerita, sebelum tinggal di Wae Rebo, Maro beberapa kali berpindah. Diperkirakan, usia Kampung Wae Rebo mencapai ribuan tahun.
”Kakek Maro tinggal di Wae Rebo setelah mendapat petunjuk melalui mimpinya. Lokasi yang dipilih diberi nama Wae Rebo, artinya mata air. Mata air itu berjarak sekitar 2 kilometer dari kampung,” kata Yosep.
Sikap hidup masyarakat Wae Rebo yang rendah hati tecermin dalam penggunaan ikat kepala yang disebut sappu. Ikatan yang rata, tanpa lengkungan ke atas, menunjukkan sikap rendah hati. Sikap ini diejawantahkan dalam keramahan menyambut orang yang datang berkunjung.
Ketua Lembaga Masyarakat Adat Wae Rebo Fransiskus Mudir menyatakan, ”Kami menerima keterbukaan kampung ini dan sadar akan membawa dampak. Kami bertekad untuk membina generasi muda Wae Rebo agar budaya nenek moyang kami tetap lestari.”
Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Kebudayaan Wiendu Nuryanti dalam kunjungan ke Wae Rebo mengatakan, program revitalisasi desa adat tak hanya dilakukan untuk memperbaiki fisik desa adat, tetapi yang lebih penting adalah menjaga adat budaya serta nilai-nilai kekerabatan yang menjadi kekhususan komunitas itu.
Sumber: KOMPAS, Sabtu, 28 September 2013.