Masyarakat Terdampak Tanpa Akses
Jakarta, Kompas – Masyarakat terdampak pencemaran tak punya akses keterbukaan informasi lingkungan. Padahal, sudah diamanatkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
”Keterbukaan informasi lingkungan mendukung partisipasi masyarakat untuk mengatasi berbagai persoalan lingkungan,” kata Deputi Menteri Lingkungan Hidup Bidang Pembinaan Sarana Teknis Lingkungan dan Peningkatan Kapasitas Henri Bastaman, di Jakarta, Selasa (30/4), pada pertemuan regional World Resource Institute bekerja sama dengan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) dan The Access Initiative.
Menurut Henri, keterbukaan informasi lingkungan diterapkan dengan baik di negara maju seperti Jepang dan Amerika Serikat. Keterbukaan informasi mendorong partisipasi masyarakat dan memengaruhi kebijakan pemerintah dalam menjaga lingkungan.
Direktur ICEL Henri Subagiyo mengatakan, pertemuan regional itu membahas program penguatan akses keterbukaan informasi lingkungan di Indonesia dan Thailand. Ada dua program di Indonesia, yaitu di Serang, Banten, dan Jepara, Jawa Tengah.
”Keterbukaan informasi lingkungan kurang berjalan baik. Informasi yang semestinya wajib disampaikan ke publik saja banyak yang tak disampaikan,” kata Henri.
Ia mencontohkan, permasalahan warga Serang dihadapkan pada pencemaran Sungai Ciujung dari limbah industri pulp dan kertas. Informasi status sungai yang semestinya disampaikan pemerintah daerah, sampai sekarang belum jelas.
”Penguatan akses keterbukaan informasi lingkungan yang dilaksanakan di Jepara karena adanya pencemaran dari aktivitas kegiatan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di sana,” kata Henri.
Kesulitan warga
Deddy Hartadi dan M Bakri, yang mewakili warga di Serang dan Jepara, mengatakan, selama ini warga masih mengalami kesulitan memperoleh akses keterbukaan informasi lingkungan. Tidak ada yang dibuka kepada publik tentang apa yang sebenarnya terjadi.
”Pada musim kemarau, kami menghadapi pencemaran Sungai Ciujung karena debit dari hulunya hampir nol. Air sungai yang mengalir berupa limbah industri,” kata Deddy.
Bakri mengatakan, pencemaran yang diduga akibat aktivitas pembangkit listrik tenaga uap menyebabkan kematian ikan- ikan laut.
”Dalam setahun, bisa terjadi tiga sampai empat kali kematian ikan massal di pantai yang memanjang hingga 3 kilometer dan 1 kilometer ke arah tengah laut,” ujar Bakri.
Lebih parah lagi, menurut Bakri, setiap hari banyak ikan mati karena tersedot masukan air (water intake) ke mesin pembangkit listrik. Sejauh ini, warga belum bisa mengakses informasi dampak lingkungan akibat aktivitas PLTU tersebut. (NAW)
Sumber: KOMPAS, Rabu, 01 Mei 2013.