Hidup Bersama Limbah Beracun
Oleh Runik Sri Astuti dan Rini Kustiasih
Jajang Suherman (42) terus menggaruk kaki kanannya. Saat kain sarungnya disingkap, di tempat yang ia garuk terlihat bekas luka. Kulit luarnya mengelupas hingga tinggal kulit ari berwarna putih. Inilah dampak tercemarnya Sungai Citarum.
Kemiskinan membuat warga sekitar Sungai Citarum tak punya pilihan kecuali menggunakan air yang tercemar. Maka, penyakit pun membayangi hidup mereka.
Sungai Citarum yang melintasi Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, selama bertahun-tahun menjadi tempat buangan limbah pabrik tekstil. Melalui gorong-gorongnya, pabrik-pabrik itu meluncurkan limbah ke sungai yang sekaligus menjadi sumber air warga setempat.
”Saya menderita gatal-gatal lebih dari lima tahun. Sudah berkali-kali berobat ke puskesmas, tetapi selalu kambuh. Akhirnya jadi luka seperti ini karena digaruk. Habis mau gimana lagi, saya tidak tahan sebab gatalnya luar biasa,” ungkap Jajang, warga Kampung Ciwalengke, Desa Sukamaju, Kecamatan Majalaya.
Iim Halimah (38), istri Jajang, juga mengeluhkan gatal-gatal di tubuhnya.
Penyakit gatal-gatal itu dirasakan merata oleh hampir 1.200 keluarga di Kampung Ciwalengke. Selama puluhan tahun, warga di sana menggunakan air dari Sungai Sasak Benjol, anak Sungai Citarum yang melewati Majalaya.
Nur (46), warga lainnya, menceritakan, anak-anaknya sering mengeluh gatal-gatal di sekujur tubuh. Padahal, mereka baru selesai mandi dan tidak lupa menggunakan sabun. Nur bolak-balik ke puskesmas karena anak-anaknya sering sakit.
Anggota Tim Pemantauan Berbasis Masyarakat Sungai Citarum, Iwa Detiyani, mengatakan, sumber penyakit itu ialah air Sungai Sasak Benjol. Air sungai itu sehari-harinya dimanfaatkan warga untuk keperluan minum, masak, serta mandi, cuci, dan kakus.
Penggunaan air yang tercemar sulit dihindari karena mereka tak memiliki cukup uang untuk membeli air bersih yang harganya Rp 7.000 per galon. Sebagian besar warga ialah buruh pabrik dengan gaji paling tinggi Rp 150.000 per minggu.
Disaring seadanya
Kampung itu amat padat. Rumah warga yang rata-rata berukuran 15 meter persegi berimpitan dalam gang yang lebarnya sekitar 1 meter. Di kanan-kiri kampung adalah perusahaan tekstil yang setiap hari menghasilkan limbah beracun. Limbah yang sama tak terhindarkan ikut dikonsumsi meski air sungai itu juga disaring dengan peralatan sederhana jika dipergunakan untuk minum.
Saringan air itu terbuat dari ember yang serupa dengan ember cat berukuran 50 kilogram. Di dalam ember itu terdapat ijuk dan batu zeolit yang berfungsi mengendapkan kotoran. Ember itu memang bisa menyaring kotoran padat, tetapi tak bisa menahan zat atau bahan beracun yang terlarut dalam air.
”Penyaring air itu bantuan dari kami yang dibeli secara swadaya dan dibagikan kepada 500 keluarga pada tahun 2010. Alat itu sebenarnya sudah tidak berfungsi karena masa berlakunya sudah habis. Batu zeolit itu hanya akal-akalan warga untuk memperpanjang masa pakai supaya tetap bisa digunakan,” kata Deni Riswandani, Koordinator Komunitas Elemen Lingkungan.
Beberapa warga yang tak memiliki saringan itu mengambil air dari bak penampungan. Air kotor itu lalu dialirkan melalui pipa ke rumah warga.
Warga Kampung Cikondang, Desa Majalaya, juga berinisiatif membuat saringan dari bak atau ember. Sumur warga ikut tercemar melalui rembesan air tanah. Air sumur keruh dan berwarna kuning. Kondisi lebih parah jika terjadi banjir besar. ”Jika banjirnya besar, air sumur tidak bisa digunakan selama 4-5 hari walaupun banjir cepat surut,” kata Riki Waskita, warga RT 001 RW 010 Kampung Cikondang.
16 pabrik
Iwa mengatakan, sedikitnya 16 pabrik menggelontorkan limbah kimia langsung ke sungai. Hal itu biasanya dilakukan pada malam hari untuk mengelabui pemantau. Apabila satu pabrik mengeluarkan 400 meter kubik saja per hari, ada 6.400 meter kubik limbah di Sukamaju, belum lagi di kawasan industri lain di Kabupaten Bandung.
Uji kualitas air yang dilakukan Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jawa Barat tahun 2012 menyatakan kandungan chemical oxygen demand (COD) terbesar di sepanjang Daerah Aliran Sungai Citarum ditemukan di Majalaya, tepatnya di sekitar Jembatan Koyod. Pada Oktober 2012, kadar COD mencapai 420 miligram (mg) per liter air, jauh di atas ambang batas normal 25 mg per liter.
Kepala Dinas Kesehatan Jawa Barat Alma Lucyati mengatakan, bahan kimia dalam air yang tercemar bisa memicu beragam penyakit, seperti gatal-gatal, ginjal, gangguan pada ujung saraf, dan kanker.
”Dampak pada manusia tidak terlihat langsung. Biasanya akan muncul beberapa tahun ke depan. Fenomena meningkatnya penyakit gagal ginjal bisa jadi disebabkan oleh penggunaan air yang tercemar,” katanya.
Dalam risetnya, Kepala BPLHD Jawa Barat Setiawan Wangsaatmaja menyebutkan, warga yang tinggal di daerah banjir dan mengonsumsi air yang tercemar lebih rentan 27-50 kali terkena diare, penyakit kulit, dan penyakit dalam yang merupakan akumulasi racun di dalam tubuhnya.
Sumber: KOMPAS, Selasa, 05 Februari 2013.