Aturan Tidak Lagi Digubris

Feb 11, 2013 No Comments by

Bandung, Kompas – Sebagian besar hutan lindung penyangga daerah aliran sungai di Jawa Barat kini rusak parah. Selain dipicu tekanan penduduk, kerusakan alam yang makin lama makin masif itu juga disebabkan inkonsistensi penataan ruang wilayah oleh pemerintah daerah masing-masing. Aturan yang dibuat pun sama sekali tidak digubris.

”Bertahun-tahun perusakan alam dibiarkan karena pemerintah provinsi tak mampu mengendalikan bupati/wali kota,” kata sesepuh Jawa Barat, Solihin GP, Sabtu (2/2), di Bandung.

Pembiaran itu berpokok pada kebijakan lingkungan yang tidak selaras antarpemerintah daerah. Ini termasuk antara Pemerintah Provinsi Jabar dan pemerintah daerah 27 kota/kabupaten. Perda cenderung tidak pro-lingkungan dan kesejahteraan rakyat. ”Yang diutamakan hanya mendongkrak pendapatan asli daerah dan bahkan kongkalikong dengan para pemodal,” ungkap Solihin.

Amat mengganggu

Kepala Badan Pengendali Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jabar Setiawan Wangsaatmaja membenarkan, problem birokrasi dan otonomi daerah amat mengganggu kelestarian lingkungan. Contohnya, Pemprov Jabar tidak bisa memaksakan target 45 persen daerah kawasan hijau dalam program provinsi hijau jika kabupaten/kota tidak memiliki komitmen atas target pemprov itu. ”Perizinan dan pengaturan lahan sepenuhnya kewenangan daerah kota/kabupaten. Di sinilah letak kesulitannya,” ujarnya.

Salah satu contoh kerusakan itu berlangsung di Daerah Aliran Sungai Ciliwung dan kawasan lindung Bogor-Depok-Bekasi-Puncak-Cianjur (Bodebekpunjur) yang menyebabkan banjir besar di Bandung dan Jakarta pekan lalu. Kritisnya hutan dan daerah resapan air di Bodebekpunjur sebenarnya sudah diketahui sejak lama, yakni akibat menjamurnya lahan permukiman serta bangunan vila dan hotel di kawasan Bogor, Puncak, dan Cianjur. Proses alih fungsi lahan yang terus-menerus ini praktis tak bisa dikendalikan karena difasilitasi oleh penataan ruang daerah, termasuk Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jabar.

Walhi Jabar mengkaji, di satu sisi RTRW Jabar memberikan legitimasi penyelamatan kawasan lindung dan jaminan adanya pengendalian pembangunan di kawasan Bogor, Puncak, dan Cianjur. Namun, di sisi lain, RTRW melegitimasi pengembangan kawasan budidaya di Kabupaten Bogor dengan sektor unggulan yang mengancam keberlangsungan lingkungan, termasuk di dalamnya kawasan Puncak.

Sektor unggulan itu meliputi pariwisata, industri manufaktur, perikanan, perdagangan, jasa, pertambangan, agribisnis, dan agrowisata. Jika dirumuskan dengan benar, RTRW Jawa Barat 2009-2029 pasti mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Bodebekpunjur. ”Namun, dalam penataan ruang itu ada ketidaksinkronan substansi Bopunjur sebagai kawasan strategis provinsi yang berfungsi sebagai pelindung dengan pola ruang tidak memastikan adanya kawasan hijau (lindung),” ujar Dadan Ramdan, Direktur Walhi Jabar.

Malah, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kabupaten Bogor pun berniat menyesuaikan Perda No 19/2008 tentang RTRW Kabupaten Bogor 2005-2010. Salah satunya adalah mengubah status hutan lindung menjadi hutan produksi dan permukiman. Hal ini menyesuaikan dengan Perda Provinsi Jabar No 22/2010 tentang RTRW Jabar 2009-2029.

Krisis air

Di kawasan Bandung Utara, lahan konservasi seluas 38.548 hektar sebagian besar juga sudah rusak. Kawasan dengan ketinggian 750 meter di atas permukaan laut itu telah dikuasai 350 izin pembangunan perumahan, hotel, restoran, dan lain-lain. Padahal, kawasan ini sudah ditetapkan sebagai lahan konservasi melalui Keppres No 32/1990, Kepmen Lingkungan Hidup No 35/1998, dan SK Gubernur Jabar No 191.1/1982, dan dikuatkan Perda Provinsi Jabar No 2/2003 tentang RTRW.

Guru Besar Ilmu Lingkungan Institut Teknologi Bandung Mubiar Purwasasmita menyebutkan, kawasan ini adalah koridor alam lintasan angin dari arah Cekungan Bandung ke dataran tinggi Lembang. Koridor ini berfungsi mendinginkan suhu permukaan bumi Kota Bandung.

Namun, kini, hal itu tak terjadi lagi, karena 70 persen kawasan hutan yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air Kota Bandung itu telah rusak. BPLHD Jabar dan Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) mencatat, selama 30 tahun terakhir wilayah hutan yang rusak dan beralih fungsi menjadi lahan pertanian (sayuran) dan lainnya mencapai 90 persen.

Kekeliruan penggunaan lahan juga telah menyisakan 250.000 hektar lahan kritis di pegunungan, terutama di Daerah Aliran Sungai Citarum. Tidak berfungsi sebagai penangkap air, indeks ketersediaan air baku di Jabar per kapita tahun 2012 rata-rata 885 meter kubik per tahun.

Artinya, Jabar sudah tergolong langka air, sebab kebutuhan air yang ideal paling tidak 2.000 meter kubik per kapita. Lingkungan pegunungan dengan 40 daerah aliran sungai di Jawa Barat hanya mampu menyediakan air bagi 10 juta jiwa. Padahal, Jabar juga menyediakan air bagi sekitar 80 persen warga DKI Jakarta.

Kini, penduduk Jabar sekitar 44, 2 juta jiwa dan menempati 3,7 juta hektar lahan. ”Karena itu, Jabar saat ini seperti akuarium berisi ikan yang melampaui kapasitasnya,” ujar praktisi lingkungan dari DPKLTS, Supardiono Sobirin.

Dari luasan hutan Jabar, terdapat 132.180 hektar hutan konservasi, 291.306 hektar hutan lindung, dan 393.117 hektar hutan produksi. Namun, 10 tahun terakhir, kondisi hutan ini makin kritis. Pemprov Jabar perlu menekan pemerintah kota/kabupaten agar merevisi RTRW dengan 45 persen kawasan lindung. ”Pendekatan dalam perbaikan lingkungan perlu diubah dengan pendekatan partisipatif,” ujar Sobirin.(REK/MHF/ELD/HEI/CHE/SEM/NIK/DMU)

Sumber: KOMPAS, Senin, 04 Februari 2013.

Berita

About the author

lingkarLSM hadir untuk menemani pertumbuhan. Kami mengidamkan masyarakat sipil yang jujur dan punya harga diri. Kami membayangkan ribuan organisasi baru akan tumbuh dalam tahun-tahun perubahan ke depan. Inilah mimpi, tujuan dan pilihan peran kami. Paling tidak, kami sudah memberanikan diri memulai sebuah inisiatif; dan berharap langkah kecil ini akan mendorong perubahan besar.
No Responses to “Aturan Tidak Lagi Digubris”

Leave a Reply