Paradigma Ekonomi Pertumbuhan Memperburuk Kondisi Lingkungan

Mei 10, 2013 No Comments by

Jakarta, Kompas – Paradigma ekonomi berbasis pertumbuhan terbukti merusak lingkungan. Kebutuhan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi mendorong eksploitasi sumber daya alam yang bermuara pada meningkatnya emisi gas rumah kaca penyebab perubahan iklim.

Untuk menghentikan perburukan kondisi perubahan iklim, dibutuhkan perubahan signifikan dalam cara berproduksi dan konsumsi. Pemerintah Indonesia dipandang tidak memiliki agenda kuat untuk melawan arus global tersebut. Untuk mengatasi perubahan iklim, paradigma pembangunan harus memasukkan nilai-nilai sosial dan ekologi dan kembali pada tujuan ekonomi sesuai dengan UUD 1945 yang bertujuan menyejahterakan rakyat.

Hal itu mengemuka dalam diskusi yang diselenggarakan Megawati Institute bertajuk ”Kedaulatan Rakyat: Dalam Politik Ekonomi Perubahan Iklim”, Selasa (16/4), di Jakarta. Sebagai pembicara, peneliti Indonesia for Global Justice (IGJ) Salamuddin Daeng, Koordinator Koalisi Anti Utang (KAU) Dani Setiawan, mantan anggota MPR urusan ekologi dan mantan Staf Ahli Menteri Lingkungan Hidup Surna Tjahja Djajadiningrat, serta mantan Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup yang juga penggagas pembangunan berkelanjutan Emil Salim. Hasil penelitian Megawati Institute disampaikan anggota DPR dari Fraksi PDI-P, Arif Budimanta.

Surna Tjahja mengatakan, ”Akar masalah perubahan iklim adalah sistem kapitalisme global yang menghancurkan jaringan kehidupan, tidak memedulikan keadilan sosial serta nilai-nilai adat.”

Arif menggarisbawahi, emisi gas rumah kaca Indonesia paling tinggi di kawasan Asia Tenggara. ”Indonesia tertinggi dibandingkan dengan Malaysia, Thailand, dan negara lain di kawasan,” ujar Arif.

Menurut Dani Setiawan, Indonesia kini semakin bergantung pada negara maju. Untuk mendanai program perubahan iklim, Indonesia berutang 2,3 miliar dollar AS (sekitar Rp 20 triliun).

Di tataran global, isu perubahan iklim dicoba diatasi dengan menciptakan pasar, di antaranya perdagangan karbon.

Indonesia sebagai pemilik sumber daya alam tidak memiliki daya tawar tinggi terhadap negara-negara maju. Menurut Surna, Indonesia tidak akan mampu meningkatkan daya tawar karena telah menandatangani perjanjian di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) diikuti berbagai perjanjian perdagangan bilateral serta lahirnya Undang-Undang Penanaman Modal.

Menurut Salamuddin, 93 persen luas hutan Indonesia (sekitar 193 juta hektar) sudah berpindah ke tangan investor, sebagian besar asing. Itu berupa konsesi pertambangan mineral, gas, hutan tanaman industri, dan perkebunan kelapa sawit.

Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia yang menjadi cetak biru pembangunan Indonesia dipandang mendukung eksploitasi sumber daya alam dan bertentangan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah.

Emil Salim menegaskan pentingnya tiga pilar pembangunan. Selain ekonomi, juga sosial dan lingkungan. (ISW)

Sumber: KOMPAS, Rabu, 17 April 2013.

Berita

About the author

lingkarLSM hadir untuk menemani pertumbuhan. Kami mengidamkan masyarakat sipil yang jujur dan punya harga diri. Kami membayangkan ribuan organisasi baru akan tumbuh dalam tahun-tahun perubahan ke depan. Inilah mimpi, tujuan dan pilihan peran kami. Paling tidak, kami sudah memberanikan diri memulai sebuah inisiatif; dan berharap langkah kecil ini akan mendorong perubahan besar.
No Responses to “Paradigma Ekonomi Pertumbuhan Memperburuk Kondisi Lingkungan”

Leave a Reply