Denyut Kehidupan dari Perut Bumi

Feb 12, 2014 No Comments by

Di antara stalaktit yang menggantung dan suasana gelap yang menguasai bawah tanah, Misno (60) mengingat pengalamannya bertahun-tahun lampau. Di kala musim kemarau dan sumber air di dekat kampungnya mengering, ia harus mencari air hingga ke Guwo Karang Pulut yang jaraknya kira-kira 2 kilometer dari rumahnya di Dusun Ngampel, Desa Tirtosworo, Kecamatan Giriwoyo, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah.

Untuk membawa air, ia memanfaatkan gentong dari tanah liat karena pada saat itu belum ada ember plastik di kampungnya. Kedua gentong itu dipikulnya di atas bahu sambil menuruni undakan tanah yang bercampur bebatuan karst yang licin di kala musim hujan.

Untuk menerangi goa, ia menggunakan oncor blarak atau obor yang terbuat dari daun kelapa kering. Goa bermulut besar yang bisa memuat belasan orang berjajar itu mengandung sungai bawah tanah dan sumber air di dalamnya yang menolong kehidupan warga setempat kala krisis air melanda.

Beruntung, sejak dua tahun lalu Misno sudah tidak perlu lagi memikul dan menuruni bebatuan menuju goa yang sangat berisiko terpeleset, jatuh, dan cedera fatal. Sudah ada pipa yang mengalirkan air dari goa itu ke rumah warga. Biayanya Rp 11.000 per meter kubik. Masih dirasa mahal, tetapi cukup membantu ketimbang bertaruh keselamatan untuk mendapatkan beberapa gentong air. Warga di Desa Bayemharjo, Kecamatan Giritontro, yang bersebelahan justru sudah memanfaatkan air dari sini jauh lebih lama meski secara administratif lokasi goa ini di Desa Tirtosworo.

”Saya pakai air dari sini untuk minum, masak, cuci, dan memberi minum ternak, tetapi biasanya yang penting-penting saja karena iurannya masih agak mahal. Yang lainnya dipenuhi dari sumber air Puring di dekat kampung,” kata Misno, beberapa waktu lalu.

 

Sungai Bawah Tanah

Wilayah ini kaya akan goa, sumber air, dan sungai bawah tanah yang terbentuk bersamaan dengan evolusi pembentukan karst selama ribuan tahun. Tempat ini berada di dalam perbukitan karst atau tersembunyi di perut bumi, sebagian bisa diakses lewat mulut goa yang sempit atau kerap disebut luweng oleh warga setempat.

Goa air serupa yang juga sudah dimanfaatkan untuk mengalirkan air adalah Guwo Blunyah di Dusun Tameng, Desa Girikikis, juga di Kecamatan Giriwoyo. Air dipompa oleh mesin lantas dialirkan lewat gorong-gorong yang dibangun di muka goa ke rumah warga. Ada sekitar 500 keluarga yang sudah menikmati air dari goa ini.

Goa ini menembus hingga ke Dusun Sembung di Desa Girikikis dengan ukuran mulut goa lebih lebar. Di dusun ini juga terdapat sebuah goa yang mampu menampung hingga ratusan orang.

Pada masa penjajahan Belanda, kenang Sunarto (68), warga setempat, goa ini digunakan sebagai tempat pengungsian warga. Tua muda bersembunyi dari kejaran tentara Belanda di goa yang terletak di dalam satu perbukitan di dusun itu. Goa ini kering dengan langit-langit tinggi yang berhias sedikit stalaktit.

”Kami sembunyi di sana seminggu sampai bulanan, membawa tikar dan bantal. Kami juga membawa bekal makanan, seperti nasi dan ayam,” kata Sunarto.

Masih banyak lagi goa lainnya, seperti Goa Ngantap yang sudah dimanfaatkan untuk obyek wisata, serta Goa Langse yang kaya akan stalaktit, tetapi belum tersentuh pengelolaan. Hasil penelitian Badan Lingkungan Hidup Jateng tahun 2008, di Kecamatan Giriwoyo dan Giritontro terdapat setidaknya 49 luweng atau mulut gua vertikal yang menuju sungai bawah tanah.

Hasil pemetaan lapangan dengan Sistem Informasi Geografis oleh Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) pada Juli 2003 menemukan 51 sumber air di Kecamatan Giriwoyo yang menyuplai kebutuhan air setempat dan kecamatan yang bertetangga.

 

Pabrik Semen

Kekayaan alam yang berada di kawasan karst Pegunungan Sewu ini yang mendorong warga bertekad mempertahankan lingkungan mereka. Di wilayah itu rencananya akan didirikan pabrik semen dan eksplorasi batu gamping oleh PT Ultratech Mining Indonesia. Kegiatan pertambangan ini tentu saja akan menghancurkan lingkungan yang sedianya ingin mereka wariskan kepada anak cucu.

”Saya tidak setuju kalau daerah ini ditambang. Nanti sumber air kami rusak. Lagi pula, saya mau kerja apa. Saya tidak mau kerja di tambang. Seumur-umur saya bisanya bertani,” kata Misno.

Warga lain, Warino dari Dusun Sembung, mengungkapkan hal serupa. Ia membayangkan bukit-bukit di belakang rumahnya yang akan diratakan demi diambil batu gampingnya untuk dibuat semen. ”Belum lagi kalau warga harus digusur untuk pertambangan ini. Sampai kapan pun kami menolak rencana itu,” katanya. (sri rejeki)

Berita

About the author

The author didnt add any Information to his profile yet
No Responses to “Denyut Kehidupan dari Perut Bumi”

Leave a Reply