Dari Punggung Kuda Hingga Panggung PBB
Wanita ini amat dikenal di Nusa Tenggara Timur (NTT). Di sana mereka memanggil dia Ibu Naf, kadang Mama Nafsiah, karena kedekatannya dengan warga setempat saat menemani sang suami: Aloysius Benedictus Mboi, orang nomor satu di NTT pada periode 1978-1988.
Bareng suaminya yang juga dokter, Naf meningkatkan kesehatan ibu dan anak. Dia tak ragu menjangkau daerah-daerah terpencil di NTT, meski harus naik punggung kuda.
Pada 1986, Nafsiah dan Ben Mboi mendapat anugerah Ramon Magsaysay. Keduanya dipuji, antara lain, karena berhasil menurunkan angka kematian ibu dan anak di salah satu provinsi miskin di Indonesia itu.
Nafsiah datang dari keluarga terpandang di Sulawesi Selatan. Lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, pada 1964, bersama tahun itu juga mereka bergabung sebagai dokter sukarelawan Dwikora. Keduanya ditempatkan di Ende, Flores, NTT, selama tiga tahun.
Ketika jabatan suaminya berakhir, Nafsiah kian terlibat dalam banyak pekerjaan sosial. Sebagai pengingat kesehatan dan pejuang hak anak dan perempuan, dokter spesialis anak ini ikut mendirikan Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia. Nafsiah juga pernah menjadi anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Wakil Ketua Komisi Nasional Perempuan.
Pada 1997-1999, Nafsiah adalah satu-satunya perempuan, dan satu-satunya orang Asia, hingga kini, yang pernah menjadi ketua Komite Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Yang juga tak pernah lelah dia lakukan adalah mengedukasi perempuan bahwa mereka bukanlah obyek. Dan bahwa perempuan punya hak atas diri dan kesehatannya. Saat diangkat menjadi Menteri Kesehatan pada pertengahan tahun ini, dia tengah menjabat Sekretaris Eksekutif Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. Dia merupakan Menteri Kesehatan paling tua yang pernah dimiliki republik ini, 72 tahun.
Untukmu, Calon Pemimpin Indonesia,
Saya awali tulisan ini untuk anak-anakku pemuda dan pemudi dengan pertanyaan “Sudahkan kalian menjadi pemuda – pemudi Indonesia?” pertanyaan ini tidak perlu dijawab sekarang, namun coba renungkan pada sanubari yang paling dalam makna ini “Menjadi Indonesia” bagi pemuda.
Anak-anakku, generasi muda calon pemimpin bangsa. Suatu hari saya bertindak selaku Inspektur Upacara memperingati hari Sumpah Pemuda di Kementerian Kesehatan. Rangkaian acara dilakukan sesuai dengan urutan yang dipandu oleh pembawa acara. Singkat cerita, tiba waktunya pembacaan sambutan Inspektur Upacara dan seluruh peserta upacara disilahkan mengambil sikap istirahat.
Pada kesempatan tersebut, saya tidak langsung membacakan sambutan, namun saya gunakan untuk berdialog dengan seluruh peserta upacara yang berdiri dari staf, pejabat structural eselon IV, III, II, eselon I dan Wakil Menteri dan tidak ketinggalan para staf Ahli Menteri. Saya raih dan dekatkan posisi microphone kedepan mulut saya (supaya suara lebih mantap) kemudian saya ajukan pertanyaan kepada peserta begini: “siapa yang diantara Saudara yang menganggap dirinya “Pemuda Indonesia?”. Awalnya tidak ada yang berani menjawab, barisan staf Nampak mulai riuh berbisik kiri dan kanan antara mereka. Berbeda dengan barisan para pejabat eselon I dan II Nampak lebih gaduh dan sebagian tertawa, kemudian seorang Dirjen mengangkat tangan. Saya jawab: “menurut saya Undang-undang 40 tahun 2009, Pak Dirjen bukan Pemuda Indonesia’ yang disambut dengan tertawa oleh seluruh hadirin. Barisan staf menjadi sepi. Tiba-tiba diujung depan barisan staf, seorang staf mengangkat tangan dan menjawab: “Bu, pemuda itu adalah WNI yang berusia 18-30 tahun!” lalu saya katakan: Ya, jawabannya tepat kalau begitu saya akan traktir bakso sehabis acara. Kemudian saya ulangi jawabannya bahwa: “Pemuda adalah warga Indonesia yang berusia 18 (delapan belas) sampai 30 (tiga puluh) tahun”. (UU no.40 th 2009). Lalu mengapa kita semua termasuk diatas 40 tahun tetap memperingati Sumpah Pemuda? Kali ini dari barisan staf lebih berani dan mencoba menjawab melalui microphone komanadan upacara, namun masih belum sempurna, petugas upacara juga coba menjawab namun juga belum sesuai. Bahkan ketika ditanya, supaya jawabannya semakin keras justru jawabannya tidak jelas kedengeran karna semakin pelan suaranya. Tiba-tiba seorang pejabar eselon I menjawab begini: “Makna memperingati hari Sumpah Pemuda bagi yang diatas 30 tahun adalah agar daalam keseharian hidupnya pola pikir dan tindakkannya yang positif tetap di semangati oleh jiea Sumpah Pemuda”. Mendengar jawaban tersebut saya ucapkan terima kasih, memang demikian seharusnya bahwa roh dari Sumpah Pemuda tetap bergelora jauh didalam sanubari kita dan wujudkan dalam tindakan yang nyata. Lebih jauh saya sampaikan kepada semua peserta upacara dan juga para pemuda calon penerus dan pemimpin bangsa yang membaca buku ini, bahwa kita semua terlahir di tanah air yang satu Tanah Air Indonesia, berbagsa satu yaitu Bangsa Indonesia. Coba kita simak dengan seksama ini naskah Sumpah Pemuda. Pada setiap butir sumpahnya diawali dengan kalimat: Kami Putra dan Putri Indonesia……… dan seterusnya, artinya untuk mengisi makna sumpah pemuda tidak lagi mengenal usia, bahwa sepanjang hayat itulah waktu pengabdian kita semua kepada nusa dan bangsa yang kita cintai ini.
Upacara peringatan Sumpah Pemuda kali ini mungkin menjadi lebih panjang waktunya, namun masih ada masukan yang saya sampaikan kepada penyelenggara, agar kedepan petugasnya bisa digabung ada putrinya bukan putranya saja. Saya akan baikot tidak mau jadi Inspektur upacara kalau petugasnya tidak ada putra-putri. Ingat Sumpah Pemuda, butir sumpahnya putra dan putri Indonesia, bukan putra dan putra Indonesia.
Itu cerita sebuah upacara sekaligus memaknai arti Sumpah Pemuda. Anak-anakku, sebagai anak muda calon pemimpin bangsa, usia muda adalah usia penuh gelora, semangat jiwa membara, kekuatan Fisik yang penuh digdaya, jadilah perintis bukan sekedar penerimaan warisa.
Renungkan kembali makna “Menjadi Indonesia”, Ke-bhinekaan Indonesia menjadi kekuatan, keragaman suku dan bangsa menjadi kekayaan, kecantikan pulau dan lautan menjadi andalan, jiwa dan semangat para pahlawan menjadi dorongan. Jadilah pemimpin bangsa yang bertanggung jawab.
Negara ini memanggil Putra dan Putri Indonesia yang tangguh dan sehat, sehat jiwanya, sehat raganya untuk membangun bangsa. Untuk itu jadikan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) menjadi keseharian kita semua. Kesehatan memang bukan segalanya namun tanpa kesehatan segalanya menjadi tak bermakna. Sehat adalah modal utama hidup; selamat mengisi hidup dengan kehidupannya yang penuh manfaat bagi diri dan orang lain. Hindari perilaku yang tidak bertanggung jawab walau kadang bujuk rayu terus menggoda, tidak merokok, tidak minum alcohol, tidak mengkonsumsi narkoba dan bentengi diri kalian dari seks bebas. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan petunjuk dan pertolongan kepada anak-anakku sekalian.
Tetap Semangat!…….. dan Salam Sehat…….! Jayalah Indonesia di tanganmu kelak.
Sumber: Surat Dari & Untuk Pemimpin, Penulis: Nafsiah Mboi, Hal: 30-32.