Dari Puisi ke Segala Arah

Sep 21, 2013 No Comments by

Goenawan Mohamad mencintai setiap pagi yang melintasi hidupnya. Termasuk pagi Juli 2012, ketika dia menginjak usia 71. “Saya tak begitu mempedulikan usia,”katanya. Tahun sebelumnya, ketika ia genap 70, kerabat dan sahabat mempersembahkan banyak “pesta”: pementasan teater, peluncuran buku, pembacaan puisi, dan —tentu saja— diskusi.

GM –begitu ia biasa disapa—dikenal sebagai penyair dan esais yang, pada Maret 1971, ikut mendirikan dan memimpin Majalah Tempo. Di majalah ini pula setiap pekan ia menulis Catatan Pinggir, hingga kini – meski secara resmi sudah pensiun. Catatan Pinggir telah dimaktubkan ke dalam berjilid-jilid buku, termasuk versi Inggris, Sidelines (1994) dan Conversation with Difference (2003).

Puisinya dibukukan dalam Parikesit (1971), Interlude (1973), Asmaradana (1992), Misalkan Kita di Sarajevo (1998) dan Sajak-Sajak Lengkap 1961-2001(2001). Pada 2004 terbit kumpulan puisinya dalam bahasa Inggris, Goenawan Mohamad Selected Poems. Kumpulan esainya meliputi Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin Kundang (1972), Seks, Sastra, Kita (1993), Kesusastraan dan Kekuasaan (1993), Setelah Revolusi Tak Ada lagi (2001), Kata,Waktu (2001), Eksotopi (2002) –antara lain.

GM juga aktif dalam seni pertunjukan. Ia menciptakan beberapa libretto, satu di antaranya, Kali, dalam bahasa Inggris, dipentaskan di teater On the Board di Seattle, Washington, Amerika Serikat, pada 2001. Terakhir ia, bekerja sama dengan komponis Tony Prabowo, menulis libretto dan menyutradarai opera Tan Malaka, yang dipentaskan di Teater Salihara dan Graha Bakti Budaya Taman Ismal Marzuki, Jakarta.

Ketika Majalah Tempo dibreidel, 1994, GM memprakarsai keahiran teater dan komunitas Utan Kayu, wadah yang menampung karya dan pemikiran alternatif. Setelah Tempo terbit kembali, GM memprakarsai kelahiran teater dan komunitas Salihara, lembaga yang tetap merayakan pemikiran dan karya-karya alternatif, tapi dengan seleksi yang lebih ketat.

 

Menjadi Indonesia

Menjadi Indonesia: dua patah kata itu menimbulkan sederet pertanyaan Mengapa kita Menjadi Indonesia? Haruskah kita Menjadi Indonesia? Apakah kita belum Menjadi Indonesia?

Saya tidak akan memberi jawaban yang urut – bahkan saya di sini tidak bermaksud memberi jawaban. Saya hanya hendak membangun sebuah percakapan, menyadari bahwa pertanyaan-pertanyaan yang disebut tadi adalah pertanyaan yang tidak bisa dielakkan, tetapi memerlukan perenungan.

Sebagian besar dari kita – dari generasi ini dan generasi yang akan datang – sudah dan akan hidup di sebuah wilayah yang disebut “Indonesia”. Tentu ada yang sudah dan akan pindah, menjadi penduduk atau bahkan warga negeri lain. Tetapi jumlahnya relatif kecil. Dan di zaman ini, jumlah itu kian sulit berkembang, karena pendatang baru, yang disebut sebagai emigran, cenderung ditampik untuk menetap, khususnya di Amerika dan Eropa. Bahkan di sana-sini para emigran dimusuhi.

Saya tidak tahu apakah kecenderungan ini akan tetap demikian di masa depan, tapi saya kira tidak akan pernah terjadi sebuah keadaan di mana 25% penduduk Indonesia berduyun-duyun jadi emigran ke negeri lain.

Dengan kata lain, sebagian besar dari anda, juga anak cucu anda kelak, akan selalu harus “Menjadi Indonesia”. “Menjadi Indonesia” adalah paduan antara takdir dan pilihan bebas. Anda, sebagian besar dari anda, dilahirkan di sini, dibesarkan di sini, terbiasa dengan makanan, perilaku, dan bahasa yang jadi bagian kehidupan di sini. Anda terbentuk oleh pengalaman kolektif dan orang-orang sini. Akan tidak mungkin meniadakan itu semua. Tak akan mudah meninggalkan Indonesia dari kesadaran anda.

Tentu, hidup tidak cukup untuk sekadar tinggal dan menetap. Dalam lingkungannya, manusia tidak mungkin hanya jadi pelengkap penyerta. Kita akan berusaha, agar lingkungan tempat hidup kita, adalah sebuah lingkungan yang mendukung pemenuhan pelbagai hasrat kita.

Dengan kata lain, kita akan selalu berusaha memperbaikinya. Usaha ini akan berlangsung terus menerus, karena hasrat tak akan pernah sepenuhnya terpenuhi. Suatu saat kita mencapai sesuatu, tetapi tak lama sesudah itu tumbuh hasrat selanjutnya. Akan selalu datang keinginan baru, idaman baru.

Sementara itu, generasi selanjutnya akan lahir, tumbuh, dengan hasrat yang diwariskan orangtua mereka atau yang merupakan cerminan zaman mereka sendiri.

Dengan hasrat dan idaman yang tak putus-putusnya itulah kehidupan berubah. Keinginan dan citacita adalah bagian dari perubahan, dan perubahan adalah bagian dari keinginan dan cita-cita.

Sebab itulah, perkembangan sejarah tidak pernah selesai. Tiap babakan bermula dengan semangat yang menggebu tetapi tiap babakan akan disusul dengan kecelakaan baru.

Kita ingat, para bapak dan ibu pendiri bangsa memperjuangkan Indonesia Merdeka – bahkan ada yang menpertaruhkan nyawa untuk itu. Tetapi setelah Indonesia merdeka, ternyata banyak hal yang tidak sesuai dengan cita-cita kemerdekaan, bahkan ada lelucon yang bertanya, kapan merdeka ini selesai.

Begitu pula dengan perubahan-perubahan politik, sejak “Demokrasi Terpimpin” sampai dengan “Reformasi”.

Kini setelah “Reformasi” demokratisasi diperjuangkan, dan untuk itu sejumlah mahasiswa dan pemuda diculik atau tertembak, orang ada yang menyesali demokrasi yang sekarang kita jalani.

Maka “Menjadi Indonesia” adalah menjadi manusia yang bersiap memperbaiki keadaan, tetapi bersiap pula untuk melihat bahwa perbaikan itu tidak akan sempurna dan ikhtiar itu tidak pernah selesai. Di atas saya mengatakan, “Menjadi Indonesia” adalah paduan antara takdir dan pilihan bebas. Kini bisa saya tambahkan, “Menjadi Indonesia” adalah sebuah amanat untuk berusaha mengadakan perbaikan terus menerus.

Sudah tentu, usaha perbaikan itu tidak bisa hanya untuk diri sendiri. Bagaimana pun juga pada tiap piring nasi yang kita hadapi, ada berlapis-lapis hasil kerja orang lain. Pada tiap jalan yang kita tempuh, ada keringat ribuan orang. Kita tidak mungkin dan tidak pernah bekerja sendiri.

Maka “Menjadi Indonesia” juga berarti menjadi-Indonesia-bersama-orang-Indonesia-lain. Dan dalam kerja mencapai harapan, kita mau tak mau bersentuhan dengan hasil usaha orang yang berbedabeda, yang tida kita kenal, yang tidak kita tanyai asal-usulnya, agama maupun etnisnya.

Maka dalam proses hidup bersama orang Indonesia yang berbeda-beda itu, sangat perlu terjaga dua hal penting – yakni keadilan dan kemerdekaan. Tanpa keadilan, “Menjadi Indonesia” akan mudah retak. Tanpa kemerdekaan, “Menjadi Indonesia” akan mudah beku

Saya yakin, cinta kita kepada Indonesia akan tumbuh dalam kerja memenuhi amat itu – amanat untuk terus menerus memperbaiki keadaan, mengembangkan keadilan dan kemerdekaan.

Sumber: Surat Dari & Untuk Pemimpin, Penulis: Goenawan Mohamad, Hal: 15-17.

Cerita Perubahan, Mengawal Perubahan

About the author

lingkarLSM hadir untuk menemani pertumbuhan. Kami mengidamkan masyarakat sipil yang jujur dan punya harga diri. Kami membayangkan ribuan organisasi baru akan tumbuh dalam tahun-tahun perubahan ke depan. Inilah mimpi, tujuan dan pilihan peran kami. Paling tidak, kami sudah memberanikan diri memulai sebuah inisiatif; dan berharap langkah kecil ini akan mendorong perubahan besar.
No Responses to “Dari Puisi ke Segala Arah”

Leave a Reply