Menciptakan Konsumen ”Hijau”

Okt 04, 2013 No Comments by

Oleh: Brigitta Isworo L

Mematikan pengatur suhu ruangan saat meninggalkan kamar? Mencabut pengisi baterai setelah menggunakan? Mengurangi penggunaan tas plastik saat berbelanja? Memilah sampah sesuai jenisnya: organik dan anorganik dan sebagainya? Membeli produk lebih ramah lingkungan? Tidak.

Pertanyaan provokatif itu berupaya mengajak orang berubah dalam perilaku belanja barang, menggunakan barang, dan memperlakukan sampah. Gaya hidup konsumsi ”tinggi” akibat perilaku keliru sudah saatnya diubah.

Awal Agustus (Kamis, 1/8), tim Produksi-Konsumsi Berkelanjutan Kebijakan Pendukung Indonesia (SCP-PSI) yang dipimpin Edzard Ruehe dari Uni Eropa memaparkan strategi nasional untuk meningkatkan konsumsi berkelanjutan atau konsumsi hijau.

Proyek yang dimulai Februari 2012 dan berakhir Januari 2015 serta didanai Komisi Uni Eropa di sejumlah negara Asia ini memilih kelompok urban kelas menengah usia muda (young urban middle-income families/YUMIF). ”Mereka cerdas dan sadar tren. Mereka memikirkan masa depan anak-anak mereka dan kondisi jangka menengahnya. Mereka memiliki standar hidup yang bagus,” ujar manajer proyek kampanye konsumsi hijau Christine Effendy. Kelompok YUMIF juga merupakan kelompok melek info.

Kaum YUMIF diharapkan bisa menjadi penggerak utama perubahan perilaku dari konsumsi boros menjadi konsumsi berkelanjutan atau konsumsi hijau. Konsumsi hijau berupaya mengurangi emisi karbon yang menyebabkan pemanasan global, akar penyebab perubahan iklim yang berdampak pada bencana (banjir, kekeringan, perluasan sebaran penyakit tropis, dan lain-lain).

Menurut pemerhati gerakan perubahan konsumsi, Darwina Wijayanti, perlu ada panutan figur publik, artis, atau tokoh muda agar YUMIF tergerak. ”Slogan harus pas, ada panutan, dan perlu diciptakan ’identitas konsumen hijau’ yang harus melekat saat dikampanyekan.”

Ia juga mengusulkan ibu rumah tangga menjadi target utama. ”Mereka adalah pembuat banyak keputusan untuk keuangan rumah tangga. Kalau bisa mendidik ibu rumah tangga, artinya ’tembak satu mendapat banyak’,” ujarnya.

 

Keberlanjutan Bumi

Saat ini, sumber daya bumi terus diperas untuk proses produksi. Efisiensi dibutuhkan agar sumber daya tak terus digerus. Saat ini juga, di kawasan Asia Pasifik, efisiensi sumber daya untuk memproduksi barang senilai satu dollar AS hanya separuh dari negara-negara lain di dunia. Artinya, penggunaan sumber daya amat boros.

”Demi keberlanjutan usia bumi, konsumsi sumber daya harus direm,” ujar Edzard. Gerakan produksi hijau saat ini bergerak lambat karena dibutuhkan peraturan untuk mendorong produsen. Jika komponen produksi tak bisa berubah sendiri, sektor konsumsi bisa menjadi faktor pendorong, yakni ketika masyarakat menuntut barang produksi ramah lingkungan.

Akan tetapi, mengubah perilaku atau kebiasaan tak semudah membalik telapak tangan. ”Kalau seseorang belum mengalami sendiri dampaknya, akan sulit berubah. Tetap saja boros air misalnya,” ujar Darwina. Astrid Angloher, pakar komunikasi Proyek SCP-PSI, pun sepakat.

Di Jerman, kata Astrid, mengubah kebiasaan membuang sampah perlu 10 tahun atau lebih. Konsumsi berkelanjutan melibatkan aktivitas belanja, cara menggunakan barang, dan perlakuan terhadap sampah atau sisa barang konsumsi.

 

Strategi Kampanye

Untuk mengubah pola pikir yang berujung pada kebiasaan baru, akan dilakukan kampanye. Membuat kampanye agar efektif tak mudah.

Mengutip Change Centre Foundation, Astrid mengatakan, dari suatu kampanye nasional yang efektif, hanya 9,6 persen penduduk bertambah pengetahuan. Untuk Indonesia, berarti sekitar 23 juta orang. Sementara sekitar 7,5 persen (18 juta) berubah sikap dan 5,8 persen (14 juta) punya kebiasaan baru.

Di Indonesia sudah ada tiga hal baik: ide bagaimana berperilaku ramah lingkungan sudah banyak, banyak komunitas mempraktikkan konsumsi hijau, dan banyak proyek percontohan yang sukses. Tantangannya, konsumsi hijau adalah soal kebiasaan. Mengubah kebiasaan butuh motivasi dan energi pemicu, sedangkan penduduk Indonesia amat heterogen.

Di dunia, setiap negara menerapkan strategi kampanye berbeda—sesuai karakter masyarakatnya. Di Kanada, setiap kelompok target mendapat kampanye khusus. Tim di Denmark langsung memberi contoh praktik sederhana. Sementara di Jepang dan China mengaitkan pada hal-hal berbau tradisional furoshiki, tas-ikat dari kain.

Tim ini merencanakan melakukan kampanye periodik, misalnya tiga bulanan. Perlu dilihat sebagai perbandingan, bagaimana kampanye tanpa jeda seperti program keluarga berencana tahun 1970-an terbukti berhasil membuat setiap orang tahu slogan ”dua anak cukup”.

Urusan mengubah kebiasaan dinilai tak akan maksimal tanpa ada dorongan dari pemerintah berupa peraturan. ”Misalnya, soal pemakaian tas plastik di ritel-ritel. Diatur apakah harus bayar,” kata Astrid.

Lewat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, ada pasal-pasal terkait keadilan antargenerasi, pembangunan berkelanjutan, dan soal antisipasi kondisi lingkungan global. Jadi, cukup alasan jika pemerintah mau mendorong lebih keras demi perubahan perilaku mengonsumsi. Tentu dibutuhkan kesiapan pemerintah.

Sumber: KOMPAS, Senin, 19 Agustus 2013.

Berita

About the author

lingkarLSM hadir untuk menemani pertumbuhan. Kami mengidamkan masyarakat sipil yang jujur dan punya harga diri. Kami membayangkan ribuan organisasi baru akan tumbuh dalam tahun-tahun perubahan ke depan. Inilah mimpi, tujuan dan pilihan peran kami. Paling tidak, kami sudah memberanikan diri memulai sebuah inisiatif; dan berharap langkah kecil ini akan mendorong perubahan besar.
No Responses to “Menciptakan Konsumen ”Hijau””

Leave a Reply