Merawat “Emas Hijau” Indonesia
Hamzirwan
Siapa sangka bisnis kelapa sawit Indonesia bisa berkembang seperti sekarang? Sejak warga negara Belgia, Adrien Hallet dan K Schadt, menanam kelapa sawit secara komersial di Tanah Itam Ulu dan Pulau Raja di Sumatera Utara serta di Sungai Liput, Aceh Tamiang, Aceh, tahun 1911, Indonesia kini memiliki 8,9 juta hektar perkebunan kelapa sawit. Peluang yang tumbuh harus dikelola dengan baik. Kelestarian lingkungan harus tetap menjadi prioritas.
Meski asli dari Afrika Barat, tanaman penghasil minyak nabati paling efisien di dunia saat ini justru mampu tumbuh lebih baik di Indonesia. Dari luas tanam kelapa sawit tersebut, rakyat memiliki sedikitnya 3,7 juta hektar (ha), perkebunan badan usaha milik negara (616.575 ha), dan perkebunan swasta (4,5 juta ha). Indonesia memproduksi 22,5 juta ton minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) pada tahun 2011 dan diperkirakan mencapai 26 juta ton pada 2012. Jumlah ini jauh meninggalkan Malaysia yang memiliki 4,5 juta ha kebun dan memproduksi 17 juta-18 juta ton CPO per tahun.
Untuk Indonesia, Sumatera bagian utara merupakan kawasan terbaik untuk pertumbuhan kelapa sawit. Hal ini pula yang membuat perkembangan kelapa sawit, mulai dari swasta sampai rakyat, di wilayah ini lebih maju daripada daerah lain. Pengembangan perkebunan kelapa sawit turut memengaruhi pembangunan suatu wilayah lewat pembangunan infrastruktur, aktivitas ekonomi, sarana pendidikan dan kesehatan, serta terutama penciptaan lapangan kerja.
Banyak blok perkebunan yang seiring waktu berkembang menjadi pusat ekonomi dan pertumbuhan daerah. Hal ini bisa dilihat di Kisaran, ibu kota Kabupaten Asahan, tempat perusahaan perkebunan Naamlooze Vennootschap Hollandsch Amerikaansche Plantage Maatschappij berdiri sejak 1911, yang diakuisisi PT Bakrie Sumatera Plantations Tbk pada 1986. Rantai pasok perkebunan kelapa sawit pun mampu menumbuhkan wirausaha-wirausaha seperti penyewaan truk.
Sekarang, hampir tidak ada konglomerat di Indonesia yang tidak terjun ke bisnis kelapa sawit. Sebut saja pengusaha kawakan pemilik Carrefour dengan bendera Trans Corp, Chairul Tanjung; pengusaha properti papan atas pemilik kelompok usaha Lippo, James Riyadi; pemilik kelompok usaha Djarum R Budi Hartono; keluarga Salim, pemilik kelompok usaha Indofood; atau keluarga Putera Sampoerna, mantan pemilik perusahaan rokok HM Sampoerna. Mereka membangun perkebunan kelapa sawit dengan mengakuisisi perusahaan lain.
Investor dari Malaysia, China, Amerika Serikat, dan Korea Selatan pun tak mau ketinggalan. Tiga perusahaan perkebunan raksasa asal Malaysia, yakni Golden Hope, Sime Darby, dan Guthrie pun merger untuk menyatukan aset mereka di Malaysia dan Indonesia. Investor Malaysia terus memperluas kebun kelapa sawit di Indonesia, terutama Kalimantan, lalu mengekspor CPO untuk memasok industri pengolahan mereka di Malaysia.
Prospek bisnis kelapa sawit dalam bentuk produk turunan yang menggiurkan juga membuat pemain lama, seperti keluarga Widjaja, pemilik kelompok usaha Sinarmas, lewat bendera PT Sinar Mas Agro Resources and Technology (SMART) Tbk; Martua Sitorus, pemilik Wilmar; dan keluarga Bakrie lewat bendera PT Bakrie Sumatera Plantations Tbk, mengembangkan industri hilir. Mereka mengembangkan industri perkebunan terintegrasi untuk meningkatkan nilai tambah bisnis kelapa sawit.
Hampir sebagian besar industri hilir dikembangkan di dekat laut untuk memudahkan pengapalan produk. Bakrie dan Wilmar mengembangkan kawasan industri oleokimia di pantai timur, Sumatera Utara, sementara SMART membangun industri hilir di Bekasi, Jawa Barat. Pengusaha kelapa sawit kelas kakap ini menyadari, pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk Indonesia akan menciptakan pasar domestik yang kuat di masa depan.
Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga mengklaim, aksi korporasi investor industri hilir bisa menembus Rp 20 triliun hingga 2015. Pasokan CPO Indonesia yang berlimpah mampu menarik investor mengembangkan industri hilir di Indonesia.
Instrumen fiskal
Meski peranan kelapa sawit terhadap perekonomian domestik sudah teruji dalam krisis ekonomi tahun 1999 dan tahun 2008, sejauh ini pemerintah belum terlalu serius memperhatikannya. Sejak menetapkan pajak ekspor (kemudian menjadi bea keluar) dengan tarif progresif sesuai harga internasional pada 2007, belum ada kebijakan baru yang lebih adil bagi sektor hulu dan hilir kelapa sawit.
Instrumen fiskal bea keluar (BK) CPO menjadi insentif bagi industri hilir kelapa sawit sekaligus menjadi disinsentif bagi petani dan pengusaha perkebunan kelapa sawit.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Asmar Arsjad meminta pemerintah menghapus kebijakan BK CPO dengan tarif progresif yang merugikan petani. Menurut dia, pemerintah seharusnya membuat kebijakan yang lebih memihak petani seperti menambah anggaran peremajaan kelapa sawit rakyat dan sertifikasi kebun rakyat.
Instrumen fiskal dengan tarif tinggi sesuai fluktuasi harga CPO internasional membuat harga CPO Indonesia terdiskon cukup besar. Bahkan, setiap kenaikan 1 persen tarif BK akan menekan harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit petani hingga Rp 250 per kilogram. Sayangnya, petani tetap harus membeli pupuk dengan harga tinggi untuk merawat kebun mereka.
Tanpa perbaikan infrastruktur jalan, pelabuhan, dan pelayanan publik, tujuan penerapan BK sebenarnya sulit tercapai. Instrumen BK CPO ini pun lebih tepat disebut sarana pemerintah mengeruk keuntungan dari perkebunan kelapa sawit seperti petani. Pemerintah menerima sekitar Rp 14 triliun per tahun dari BK CPO. Sudah sepatutnya pemerintah mengalokasikan minimal Rp 1 triliun khusus untuk pengembangan industri kelapa sawit.
Pemerintah perlu membiayai riset jangka panjang untuk menemukan, misalnya, benih kelapa sawit unggul yang pendek dengan produktivitas tinggi dan membantu petani meremajakan pohon kelapa sawit. Intensifikasi perkebunan kelapa sawit rakyat tentu sangat berarti dalam upaya Indonesia mencapai 40 juta ton CPO pada 2020 tanpa mengandalkan perluasan lahan.
Menteri Pertanian Suswono pun menyadari masalah produktivitas ini. Menurut Suswono, Kementerian Pertanian telah menyurati Kementerian Keuangan agar dana BK CPO bisa digunakan langsung untuk upaya peningkatan produktivitas kebun kelapa sawit dan pengembangan produk turunan CPO. Namun, regulasi anggaran membuat hal ini belum terwujud.
Ketua Bidang Budidaya dan Industri Dewan Minyak Sawit Indonesia Daud Dharsono mengatakan, rata-rata produktivitas perkebunan kelapa sawit nasional sekitar 3,9 ton CPO per ha per tahun. Cukup rendah jika dibandingkan dengan Malaysia yang bisa mencapai 6 ton CPO per ha per tahun.
Hal ini tidak akan terjadi jika produktivitas perkebunan rakyat mandiri lebih tinggi daripada 1,7 ton CPO, dengan catatan kualitas benih tanaman yang rendah dan frekuensi pemupukan bisa diperbaiki.
Upaya peningkatan produktivitas sekaligus penciptaan nilai tambah lewat industri hilir di dalam negeri harus menjadi isu sentral yang terintegrasi dalam peta jalan bisnis kelapa sawit nasional. Satu catatan penting pengembangan kelapa sawit, kelestarian lingkungan harus tetap menjadi prioritas.
Sekarang, kita dorong pemerintah membuat kebijakan konkret yang adil untuk mengembangkan dan merawat ”emas hijau” Indonesia, kelapa sawit.
Sumber: KOMPAS, Jumat, 11 Januari 2013.