Kesalahan Umum Soal CSR #13: Mempraktikkan CSR dalam Ranah Eksternal Saja
Artikel ini merupakan penggalan dari artikel yang berjudul: Dari “CSR” Menuju CSR, Berbagai Kesalahan Umum tentang CSR dan Sumbangan Pemikiran untuk Meluruskannya, Penulis: Jalal (A+ CSR Indonesia), Tom Malik (Indonesia Business Link).
Banyak kejadian beberapa tahun belakangan ini, ketika perusahaan hendak mulai menerapkan CSRnya banyak pekerjanya bertanya-tanya mengapa mereka merasa menjadi anak tiri. Memang, belakangan banyak sekali perusahaan tiba-tiba mencurahkan uang dalam jumlah yang besar, yang seakan-akan memberi sinyal bahwa kondisi perusahaan sedang sangat membaik. Sayangnya curahan sumberdaya untuk pemangku kepentingan eksternal itu tidak dibarengi dengan curahan yang sama untuk pemangku kepentingan internalnya.
Ada yang berargumentasi bahwa selama perusahaan belum dengan sadar mengadopsi CSR, para pekerja sudah mendapatkan banyak perhatian dari perusahaan. Dengan demikian, ketika CSR diadopsi wajar saja kalau kemudian pemangku kepentingan eksternallah yang didahulukan kepentingannya. Argumentasi tersebut ada benarnya juga, namun bukan tanpa kritik. Realitas yang ada di Indonesia misalnya menunjukkan bahwa banyak sekali perusahaan—asing maupun nasional—yang sejak dahulu memiliki masalah dengan hak-hak normatif pekerja. Upah yang rendah, jam kerja yang panjang tanpa tambahan upah lembur, kondisi kerja yang tidak sehat, dan sebagainya kerap terdengar. Hal itu berarti bahwa hubungan perusahaan dengan para pekerja sebagai pemangku kepentingan tidak dapat dianggap sudah beres.
Kalau berbagai standar CSR diperhatikan, sangatlah jelas bahwa CSR tidak pernah mengabaikan pemangku kepentingan internal. Seluruh standar CSR yang mencakup “seluruh” pemangku kepentingan, memasukkan pekerja di dalamnya. Berbagai standar yang khusus dibuat untuk mengatur atau memandu perusahaan dalam berhubungan dengan pekerjanya juga tersedia. Karenanya, pengabaian pekerja—sebagai salah satu pemangku kepentingan internal paling penting—menjadikan CSR timpang, kalau bukan tidak berarti sama sekali. Kalau hubungan dengan pemangku kepentingan eksternal baik namun yang internal diabaikan, perusahaan dapat dianggap hanya melakukan “CSR” dengan biaya yang ditanggung oleh pemangku kepentingan internal itu.
Ada istilah yang selama ini dipakai untuk menyatakan bahwa CSR itu merupakan pertanda bahwa perusahaan sadar tentang kepentingannya sendiri akan terlayani hanya apabila seluruh pemangku kepentingannya juga dilayani dengan baik, yaitu enlightened self interest. Istilah itu mengandaikan perusahaan (atau lebih tepatnya pemilik perusahaan) sebagai satu individu.
Kalau keberadaan perusahaan itu merupakan resultan dari kepentingan pemilik, pekerja dan pemangku kepentingan eksternalnya, seharusnya istilah itu lebih tepat dinyatakan sebagai enlightened common interest. Konsekuensinya setiap pihak melalui aktivitasnya di dalam maupun luar perusahaan secara sadar menyumbang pada kebaikan bersama. Dari sudut pandang ini,
CSR memang harus menunjukkan keseimbangan antara pelayanan terhadap pemangku kepentingan internal dan eksternal, atau ia tidak akan dianggap sebagai CSR yang memadai.
Artikel selengkapnya dapat didownload pada halaman Unduh kategori Literasi.