Kesalahan Umum Soal CSR #10: CSR Cuma Tambahan Biaya Belaka
Artikel ini merupakan penggalan dari artikel yang berjudul: Dari “CSR” Menuju CSR, Berbagai Kesalahan Umum tentang CSR dan Sumbangan Pemikiran untuk Meluruskannya, Penulis: Jalal (A+ CSR Indonesia), Tom Malik (Indonesia Business Link).
Ketika perusahaan mulai mengadopsi CSR, tidak terelakkan adanya penambahan pengeluaran. Ini mungkin penyebab utama keengganan untuk mengadopsi CSR. Banyak pihak yang menyatakan tambahan pengeluaran itu sia-sia belaka, dan boleh jadi juga bahwa anggapan tersebut memiliki dukungan empiris. Penelitian-penelitian mengenai filantropi perusahaan banyak mendapatkan kenyataan bahwa pengeluaran perusahaan itu benar-benar tidak bisa dilacak keuntungannya.
Namun demikian, hal itu sama sekali bukan kesalahan dari ide CSR. Itu adalah kesalahan penerapannya. Penelitian-penelitian mengenai kaitan antara kinerja CSR dan kinerja finansial memang masih menghasilkan kaitan yang tidak seragam. Tetapi, penelitian dengan jumlah sampel terbesar dan rentang waktu terpanjang dari Marc Orlitzky, Frank Schmidt dan Sara Rynes membuktikan bahwa hubungan tersebut adalah hubungan yang positif. Artinya, mereka yang mengeluarkan sumberdayanya untuk melaksanakan CSR ternyata mendapat keuntungan yang setimpal dengan kinerja CSRnya itu. Tentu saja, kaitan antara curahan sumberdaya dan kinerja CSR tidaklah bersifat linear.
Hal ini berarti bahwa CSR adalah sama dengan investasi lainnya. Ia memang membutuhkan curahan sumberdaya, namun curahan tersebut sesungguhnya akan kembali dalam bentuk keuntungan untuk perusahaan—dan karenanya Kurt Weeden menyarankan penggunaan istilah corporate social investing agar perusahaan tidak berpikir program CSR sebagai biaya semata. Secara sederhana sebetulnya investasi untuk memeroleh kondisi yang harmonis dengan pemangku kepentingan bisa dinalar pasti menguntungkan. Bayangkan saja kalau sebuah perusahaan beroperasi dengan tidak memedulikan masyarakat sekitar, pasti ia akan mendapatkan banyak masalah. Kita dengan mudah dapat menghitung berapa kerugian perhari yang harus ditanggung perusahaan kalau berhenti beroperasi. Untuk industri-industri tertentu, jumlah yang ditanggung karena penghentian operasi bahkan mencapai milyaran rupiah per hari. Padahal, kalau hubungan dengan pemangku kepentingan dikelola dengan baik, kemungkinan penghentian operasi menjadi sangat kecil.
Di luar “perhitungan negatif” di atas, banyak sekali keuntungan perusahaan yang diperoleh dari reputasi sebagai perusahaan yang berkinerja sosial dan lingkungan yang tinggi.
Kemudahan menarik investasi, menarik tenaga kerja yang lebih baik, nilai saham yang terjaga, biaya operasi yang lebih rendah dan seterusnya kerap dinyatakan sebagai keuntungan itu. Mungkin hitungan-hitungan incremental capital-output ratio untuk setiap rupiah yang dikeluarkan untuk investasi CSR belum bisa dibuat dengan rigid. Mungkin ada juga yang punya pendirian seperti Peter Drucker bahwa “If you cannot measure it, you cannot manage it.” Yang jelas, konsekuensi dari tidak melakukan CSR semakin hari semakin besar saja, karena kesadaran sosial dan lingkungan masyarakat sipil pasti terus meningkat. Ini saja cukup untuk mengingatkan bahwa curahan sumberdaya untuk CSR sesungguhnya tidak akan pernah siasia.
Yang harus terus dipelajari dan diterapkan adalah bagaimana meingkatkan efisiensi investasi tersebut. Pada gilirannya, setiap rupiah yang dikeluarkan untuk CSR akan berdampak pada kinerja finansial yang semakin besar, atau perusahaan tidak akan dapat menurunkan investasi sosialnya untuk memeroleh kinerja yang sama.
Artikel selengkapnya dapat didownload pada halaman Unduh kategori Literasi.