Tinggalkan Ekonomi Serakah
Tepuk tangan meriah menyambut ajakan Presiden SBY dalam Sidang Pleno KTT Rio+20, Juni lalu, untuk mengubah pola pembangunan ekonomi dari greed economy ke green economy.
Ajakan ini menyentuh senar peka yang telah lama tertanam di hati banyak rakyat negara berkembang, terutama sejak krisis ekonomi melanda dunia berkali-kali dan dipicu oleh keserakahan ekonomi.
Pada abad ke-20, sektor riil, seperti industri, pertambangan, dan pertanian, memacu pertumbuhan ekonomi global. Pada abad ke-21, sektor finansial perbankan investasi mendorong perkembangan ekonomi global. Dengan menerbitkan surat berharga, seperti saham, obligasi, dan reksa dana, imbalan jasa perbankan investasi bisa jauh melebihi imbalan jasa perbankan komersial. Dan, bank investasi sangat kreatif ”menciptakan surat-surat berharga baru” untuk ditawarkan dengan imbalan menarik kepada masyarakat, seperti aneka ”surat derivatif kontrak” yang memproteksi aset terhadap perubahan nilainya.
Lahirlah derivative mortgage-backed securities, yakni derivatif surat kredit perumahan yang tumbuh sangat cepat. Di Amerika Serikat sampai mencapai nilai 74 persen dari 14,3 triliun dollar AS nilai produk domestik bruto (PDB) Amerika Serikat (2007). Dari jumlah kredit perumahan ini, 1,5 triliun dollar AS atau hampir 10 persen PDB AS adalah kepada nasabah yang daya bayar utangnya ”kurang baik” (subprime). Pola kredit perumahan subprime ini memuat keuntungan besar karena berisiko besar.
Efektivitas kredit perumahan beruntung besar ini sangat bergantung pada naiknya nilai aset dengan pertumbuhan ekonomi yang dipacu bunga bank rendah. Apabila kondisi ekonomi global berubah sehingga meningkatkan suku bunga bank, segala keuntungan sistem derivatif kredit perumahan ini akan terhapus. Meninggalkan penerima utang tanpa rumah karena disita dan tanpa kemampuan membayar karena daya-bayarnya kurang (subprime). Bertumpuklah utang bank investasi mencapai triliunan dollar AS. Karena dampak sosialnya sangat besar, pemerintah terpaksa menalangi (bailout) dan mengurangi pengeluaran pembangunan lain. Berkembanglah krisis finansial di AS menjadi krisis ekonomi global.
Bursa Wall Street pun kecolongan ketika organisasi minyak besar, Enron, di Houston, Texas, memanipulasi laporan akuntansi publiknya yang dipacu oleh nafsu keserakahan ekonomi.
Memburu energi
Dalam bidang energi, nafsu keserakahan memburu minyak tidak cukup di daratan, tetapi masuk ke lepas pantai yang akan menjadi pemasok 40 persen kebutuhan minyak global tahun 2020. Maka, usaha minyak BP berusaha mengebor minyak di lautan dalam Teluk Meksiko dengan dampak pengeboran bocor yang mengakibatkan kerusakan lingkungan alam dahsyat. Presiden Amerika Serikat sampai merasa perlu mengeluarkan larangan pengeboran minyak di laut dalam sejak insiden ini.
Masih banyak lagi contoh kerakusan ekonomi yang bisa diangkat, tetapi cukup untuk menunjukkan betapa besar dorongan hawa nafsu rakus menyemangati pengembangan ekonomi global sekarang ini. Pembangunan ekonomi berlangsung tanpa pertimbangan moral tanpa memperhitungkan dampak kerusakan pada sektor nonekonomi lainnya. Pembangunan ekonomi seakan-akan didorong oleh nafsu serakah ”mengejar laba lebih banyak, lebih besar, dan lebih tinggi”. Untuk itu, segala cara dihalalkan sehingga lahirlah ”ekonomi serakah”.
Yang keliru di sini bahwa pembangunan mengejar hanya pertumbuhan ekonomi semata-mata melalui satu jalur garis linear saja. Kita lupa bahwa manusia selaku makhluk sosial tidak hanya hidup dengan kebutuhan ekonomi, tetapi juga memiliki kebutuhan nonekonomi, seperti kebutuhan pendidikan, kesehatan, hidup dengan kecukupan air bersih, fasilitas sanitasi, dan rumah berjamban-keluarga. Hidup dalam kerukunan sosial tanpa mendiskriminasikan diri dari perbedaan agama, suku, ras ataupun golongan. Manusia ingin lepas dari cengkeraman pengangguran dan kemiskinan. Karena itu paham ”mengejar kenaikan PDB dengan peningkatan laju ekonomi saja” menyesatkan dan membawa kita semakin jauh dari tujuan mencapai masyarakat yang adil-makmur.
Pembangunan harus memuat ikhtiar mengejar sasaran ekonomi yang sekaligus mencapai delapan sasaran tujuan pembangunan milenium (MDGs), yakni memberantas kemiskinan, mewujudkan pendidikan dasar untuk semua, mendorong kesetaraan jender dan memberdayakan perempuan, menurunkan angka kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu hamil, memerangi penyakit HIV/AIDS/malaria/TBC, serta memastikan kelestarian lingkungan dan mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.
Pola tiga jalur
Pola pembangunan mengejar MDGs tidak lagi bersifat linear-satu-jalur ekonomi, tetapi berubah menjadi pola pembangunan tiga jalur: ekonomi, sosial, dan lingkungan yang ditempuh secara serentak. Tiap jalur merupakan pembatas dan pengendali bagi jalur lain. Dengan demikian, usaha mencapai sasaran jalur ekonomi harus diperhitungkan agar langkahnya tidak menghambat jalur sosial mencapai sasaran dan begitu juga tidak menghambat jalur lingkungan mencapai sasarannya.
Dengan pola ini, sasaran pembangunan memuat PDB dengan substansi human development index dan MDGs, serta dampak ”jejak-ekologi” pembangunan tidak melampaui ambang batas biokapasitas daya dukung ekosistem penopang kehidupan alami dan insani. Pola pembangunan ini lebih mengutamakan kualitas pembangunan dengan keserasian hidup antara manusia dan Tuhan, keserasian hidup antara manusia dan masyarakat, serta keserasian hidup manusia dan lingkungan alam.
Dengan semangat inilah kita menciptakan pola pembangunan lepas dari ”keserakahan ekonomi” menuju ”ekonomi hijau alami ciptaan Ilahi.”
Oleh: Emil Salim, Menteri Lingkungan Hidup 1978-1993.
Sumber: KOMPAS, Selasa, 28 Agustus 2012, Halaman: 6.