Tiga Arena Sosial (1/12)
Seri 1/3 dari Bag. 1 Konfigurasi Arena Sosial, dari keseluruhan 12 seri artikel berjudul Menuntaskan Dilema “Moral dan/atau Modal?” dalam Praksis Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia, ditulis oleh Hasan Bachtiar.
Keterangan lengkap tentang tulisan ini.
Dalam wacana ilmu-ilmu sosial, khususnya ekonomi-politik, dikenal suatu pemilahan, atau pembedaan, namun dengan pemakaian istilah-istilah yang bervariasi, yang bersifat fundamental mengenai tiga “arena” atau ranah sosial, yakni (1) politik (polity), (2) ekonomi (economy), dan (3) budaya (culture). Meski bisa ditarik perbedaan ciri-cirinya, ketiga arena sosial ini tidak berdiri secara terpisah satu sama lainnya, melainkan justru saling bertumpang-tindih, membentuk irisan-irisan, saling terkait (inter-related), bahkan saling memengaruhi (living in an interplay). Dinamika di dalam konfigurasi, atau konstelasi, ketiga arena inilah yang, sebagaimana disinyalir banyak ilmuwan sosial, menentukan wajah tata peradaban umat manusia di dalam pelbagai konteks ruang dan waktunya. Ilustrasi 0.1 berikut mencoba menggambarkan interplay ketiga arena tersebut.
Ilustrasi 0.1: Interplay Tiga Arena Sosial
Sebagai basis pelacakan terhadap perkembangan kajian tentang isu globalisasi dalam tradisi sosiologi, misalnya, Malcolm Waters mencoba mengidentifikasi hakikat dan karakter ketiga arena tersebut. Di dalamnya ketiga arena tersebut juga berlangsung jenis-jenis pertukaran (types of exchanges) yang cukup khas.
Menurut Waters, pertama, polity adalah arena “pengaturan-pengaturan sosial untuk konsentrasi dan aplikasi kekuasaan, khususnya sejauh ini yang melibatkan pemaksaan dan pengawasan yang terorganisasi (militer, polisi, dll.), seperti halnya transformasi praktik-praktik ini yang terlembagakan sebagai otoritas dan diplomasi, yang bisa memapankan kontrol atas penduduk-penduduk dan teritori-teritori”. Di dalam arena ini terjadi “pertukaran-pertukaran politis” (political exchanges), yaitu “dukungan, keamanan, koersi, otoritas, kekuatan, pengawasan, legitimasi, dan pembangkangan”.
Kedua, Waters memaknai economy sebagai arena “pengaturan-pengaturan sosial untuk produksi, pertukaran, distribusi, dan konsumsi barang dan jasa yang nyata”. Di sini tercipta “pertukaran-pertukaran material” (material exchanges) yang meliputi “jual-beli, sewa-menyewa, pekerjaan berupah, pelayanan jasa demi imbalan, dan akumulasi kapital”.
Sementara itu, ketiga, Waters mengartikan culture sebagai arena “pengaturan-pengaturan sosial untuk produksi, pertukaran, dan ekspresi simbol-simbol yang merepresentasikan fakta-fakta, afeksi-afeksi, makna-makna, kepercayaan-kepercayaan, preferensi-preferensi, selera-selera, dan nilai-nilai”. Pada arena terakhir inilah berlangsung “pertukaran-pertukaran simbolis” (symbolic exchanges) melalui “sarana-sarana komunikasi lisan, publikasi, pertunjukan, pengajaran, pidato, ritus, tayangan, hiburan, propaganda, iklan, demonstrasi umum, akumulasi dan transfer data, pameran, serta tontonan”.