Sistem Memberikan Solusi yang Pasti
Sebenarnya alam sudah mengajarkan kepada kita cara berpikir sistem (system thinking), bahwa serangkaian kejadian memberikan alternatif kecenderungan yang sangat berantai menghasilkan perubahan-perubahan yang pasti. Walaupun kita tidak merasakan adanya perubahan tersebut, karena berjalan dengan lambat seperti proses karat pada besi. Kecenderungan kita yang berpikir logis, lebih memerhatikan hal-hal yang nyata saja dengan sudut pandang yang sempir. Tujuannya hanya satu: agar dapat bekerja dengan lebih efisien dan disiplin. Kita terbiasa melihat masalah dengan cakupan terbatas, seperti seekor kuda yang diberi kacamata, hanya bisa melihat lurus ke depan.
Namun, dari rangkaian kejadian berdasarkan pengalaman, tanpa berpikir lagi kita sudah dapat memperkirakan apa yang bakal terjadi. Misalnya, awan yang berkumpul, cuaca menjadi gelap dan angin membuat daun bergoyang, kita menyimpulkan sebagai tanda bahwa hujan akan segera turun. Kita juga tahu, setelah kilat, petir dan hujan itu, langit akan terang kembali. Rangkaian kejadian itu akan menghasilkan air tanah yang tergenang dan mengalir menuju ke laut. Selanjutnya, panas terik sinar matahari akan menguapkan air menjadi awan, menunggu saatnya penuh terkumpul untuk turun kembali sebagai hujan.
Semua peristiwa yang terjadi susul menyusul dalam selang waktu dan ruang itu, adalah kejadian yang saling berkaitan mengikuti pola tertentu, masing-masing kejadian mempunyai pengaruh pada kejadian berikutnya dalam hubungan yang dapat dipahami setelah merenungkan keseluruhan rangkaian tersebut. Pola utuh itu adalah sebuah sistem.
Kay forrester, profesor dari MIT (Massachuset Institut of Technology), melalui bukunya Industrial Dynamics (1967) memperkenalkan system thinking untuk memahami perubahan sistem sosial akibat penerapan suatu gagasan enjinering baru. Forrester melihat gejala alam sebagai sebuah sistem dinamis (perubahan variatif) yang berbeda dengan sistem statis (perubahan tunggal) yang bisa dikenal pada sebuah mesin.
Contoh aplikasi untuk memahami perbedaan persepsi dari system thinking dengan pemikiran logis yang biasa kita gunakan, adalah kasus penggunaan insektisida untuk mengatasi hama tanaman. Namun, insektisida tersebut tidak mampu memilih mana serangga hama tanaman dan mana yang bukan. Akibatnya fatal, karena ada serangga yang berfungsi membantu tanaman dari serangan parasit lain ikut mati. Penggunaan pestisida tersebut ternyata juga memberi pengaruh samping negative pada udara, air dan tanah, yang selanjutnya terbawa bersama hasil panen. Itulah sebabnya terjadi pembalikan arah (deflacting point) pola konsumsi masyarakat ke tanaman organik yang bebas pestisida.
Dengan memahami pola-pola tertentu dari sebuah sistem, kita bisa membuat simulasi-simulasi sederhana untuk memahami masalah yang berubah dengan tidak pasti. Solusi tersebut adalah konsekuensi logis untuk mengoreksi bagian-bagian tertentu dan sistem yang berjalan pincang, yang kita lihat sebagai gejala atau masalah.
Kita sering tidak mengenal apa yang menjadi masalah, sehingga solusinya justru menyebabkan masalah baru (solution create new problem). Misalnya, kasus impor beras karena alasan persediaan dalam negeri tidak cukup (keperluan sesaat), akibatnya membuat lumpuhnya sector pertanian, sehingga akhirnya kita tergantung pada baris impor (keperluan jangka panjang). Masalah sekarang, para petani yang menganggur itu mencari pekerjaan di kota, yang menimbulkan masalah baru. Lingkaran setan masalah terus berputar, masyarakat miskin yang semakin banyak di kota, dapat berpotensi terjadinya revolusi sosial yang berbahaya.
Disarikan pada buku: CSR dalam Praktik di Indonesia, Pengarang: Jackie Ambadar, hal: 20-22