Sebatang Pohon Tak Akan Menjadi Hutan
Oleh: Rene L Pattiradjawane
Dinamika kawasan Asia-Pasifik menjadi semakin luas dan mendalam. Muncul usaha mencari keseimbangan baru dalam resesi global, dengan kebangkitan Abenomics di Jepang, kebijakan perimbangan ulang kekuatan militer Asia-Pasifik oleh Washington, kebangkitan damai China, serta penataan kerja sama keamanan kolektif dengan memperluas Traktat Persahabatan dan Kerja Sama (TAC) ASEAN.
Pertemuan Dialog Shangri-La di Singapura awal pekan ini melibatkan para menteri pertahanan dan komandan militer di Asia-Pasifik, dengan fokus persaingan China-AS membentuk lingkup pengaruh ala Perang Dingin. China sebagai adidaya baru dan AS sebagai adidaya bertahan, bermanuver dalam Game Theory memperluas jangkauan kekuatan angkatan laut masing-masing.
Dalam dialog ini, China mengakui, kekuatan angkatan lautnya juga melakukan pengintaian di wilayah yang masuk dalam lingkup kedaulatan AS di Lautan Pasifik, seperti Guam dan Hawaii.
Di sisi lain, Rusia pun mulai berpatroli di wilayah ”laut selatan”, menggunakan kapal selam nuklir untuk memperluas kemampuannya melakukan penangkalan nuklir.
Maka, dekade kedua abad ke-21 ini, lautan keliling dunia penuh sesak dengan kapal selam berbagai negara. Jumlah kapal selam di kawasan Indo-Pasifik pun meningkat secara drastis, mengantisipasi dampak persaingan China-AS.
Ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya perubahan dinamika kekuatan kawasan Asia-Pasifik ini. Pertama, adanya pendekatan deterministik para pengamat internasional mengasumsikan perilaku negara bangsa tertentu dalam sistem pemikiran yang berdasar aksioma tertentu.
Padahal, setiap bangsa memiliki budaya dan sejarah unik. Pemimpin bangsa selalu memiliki pilihan untuk membawa negaranya masuk atau keluar dari konflik.
Kedua, dalam sejarah kekuatan-kekuatan dominan di kawasan Indo-Pasifik, tak ada bangsa Asia kecuali Jepang yang berubah menjadi kekuatan kolonial. Dominasi kolonialisme selalu berakhir dengan perlawanan dan konflik bersenjata. Bahkan, dalam era Perang Dingin, determinisme ideologi memecah belah kesatuan negara-negara di Asia-Pasifik.
Dan, ketiga, kemunculan secara cepat setiap kekuatan baru selalu mengganggu status quo. Belum pernah ada bangsa seperti China, yang bergerak sangat jauh, sangat cepat, dan mencapai status internasional tinggi pada semua dimensi. Hanya dalam satu generasi, China menjadi fenomena ketika produk domestik brutonya dimulai lebih kecil dari Spanyol dan sekarang menjadi ekonomi kedua terbesar di dunia.
Semua ini menjelaskan esensi Doktrin Natalegawa mengenai keseimbangan dinamis, mendorong perlunya menciptakan struktur keamanan regional. Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengusulkan gagasan Indo-Pacific Wide Treaty of Friendship and Cooperation guna menghindari terjadinya konflik luas dan terbuka. Ini sesuai pepatah China, du mu bu cheng lin, dan xian bu cheng yin (sebatang pohon tak akan menjadi hutan, satu senar tak bisa menghasilkan musik).
Bekerja samalah!
Sumber: KOMPAS, Rabu, 05 Juni 2013.