Nelayan Terus Galau terhadap Kebijakan Energi

Jul 01, 2013 No Comments by

Oleh: Rini Kustiasih

Wanadi (35) dan Sujana (58) menambatkan perahu di tepi Sungai Bondet, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, pekan lalu. Sudah beberapa hari ini mereka tidak melaut karena solar langka. Di sisi lain, nelayan galau terhadap tarik ulur harga bahan bakar minyak.

Sebuah stasiun pengisian bahan bakar nelayan (SPBN) di tepian Sungai Bondet yang muram dan sepi seolah mewakili rintihan nelayan di kawasan pantai utara Jawa di tengah tidak menentunya kebijakan energi. Sudah lama SPBN tersebut tidak beroperasi.

”Mungkin setahun atau lebih. Saya beli solar ke warung lain,” ujar Wanadi, nelayan Desa Grogol, Kecamatan Gunung Jati.

Ada tiga warung di kawasan itu yang biasanya menjual solar bersubsidi, Rp 5.000 per liter. Harga itu lebih mahal dibandingkan dengan harga solar bersubsidi di stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) yang dijual Rp 4.500 per liter.

Dalam sebulan terakhir ini, nelayan kebingungan mencari solar yang kini pasokannya dibatasi. Sudah tak terhitung berapa hari Wanadi tak melaut. Di warung tempat ia biasa membeli solar, harga solar mencapai Rp 7.000 per liter.

Kamsari (50), nelayan lain di Desa Gebang Mekar, Kacamatan Gebang, nekat menjual kusen jendela rumahnya yang terbuat dari kayu jati. Rumah itu dibangun dari hasil jerih payah istrinya yang bertahun-tahun menjadi tenaga kerja Indonesia. Kusen jendela yang laku Rp 100.000 itu untuk membeli solar dan kebutuhan sehari-hari.

Jamhuri (45), nelayan lainnya, bahkan menggadaikan cincin istrinya seberat 2 gram hanya untuk mendapatkan Rp 200.000 untuk makan.

Beberapa nelayan di Bondet terbiasa membeli solar di SPBU yang ada di tepian jalan. ”Pagi hari saya biasanya membeli satu jeriken di SPBU. Sorenya saya beli lagi sebab dalam satu kali pembelian hanya boleh membeli satu jeriken,” kata Sujana.

Ia sebenarnya tak boleh membeli lebih dari satu jeriken. Namun, antara petugas dan nelayan saling tahu. Sujana kerap menyelipkan uang rokok kepada petugas agar bisa mengisi kembali jerikennya pada sore hari.

Satu jeriken bisa berisi 25-30 liter solar. Untuk bisa mendapatkan solar di SPBU, nelayan harus menunjukkan bukti izin penangkapan ikan atau kartu kepemilikan perahu. Kondisi itu menyulitkan mereka sebab kebanyakan nelayan tidak memiliki dokumen lengkap. Perahu itu kebanyakan dibeli dari hasil utang-piutang.

Untuk sekali perjalanan melaut harian, dari pagi sampai sore atau sebaliknya, nelayan kecil dengan perahu berukuran kurang dari 10 gros ton rata-rata memerlukan 10 liter solar. Dalam sehari, mereka memerlukan Rp 50.000 untuk BBM. Jika ditambah biaya perbekalan, seperti air minum dan nasi, nelayan memerlukan Rp 150.000 per hari.

Pahitnya, laut tak selalu memberikan ikan dalam jumlah besar bagi nelayan. Kerusakan ekosistem dan praktik penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan turut memengaruhi turunnya hasil tangkapan.

”Kadang-kadang kami dapat ikan satu atau dua ekor. Ikan subal atau kuro yang paling banyak di sini. Satu atau dua ikan ukurannya bisa 1 kilogram tergantung besar kecilnya ikan. Ikan subal harganya Rp 25.000 per kilogram,” ujar Kusain yang biasa mengutang solar.

 

Ketidakpastian

Rencana kenaikan harga BBM memukul Kusain, Sujana, Kamsari, dan Wanadi. Dengan tangkapan yang tidak menentu dan harga ikan yang tidak stabil, mereka menghadapi kenaikan komponen biaya produksi.

Meski ada jaminan harga solar bersubsidi untuk kalangan tertentu tidak naik, nelayan belum tenang. Betapa tidak, pada hari-hari normal saat wacana kenaikan harga BBM belum ada, SPBN yang seharusnya menyediakan solar bersubsidi untuk nelayan ternyata tak beroperasi. Kalaupun beroperasi, kuotanya tidak mencukupi kebutuhan.

Sebagai contoh, SPBN di Karangsong, Kabupaten Indramayu, setiap bulan memasok 540 kiloliter solar. Jumlah itu belum memenuhi kebutuhan total di kawasan itu, yakni 800 kiloliter per bulan. Untuk mengatasi kekurangan itu, nelayan mencari solar bersubsidi hingga ke Eretan dan Dadap, Indramayu. Kedua tempat itu juga memiliki SPBN, 150 kiloliter di Eretan dan 100 kiloliter di Dadap.

Nelayan akhirnya tetap mengantre di SPBU. Dengan kondisi itu, subsidi bagi rakyat miskin, khususnya nelayan, memang dari dulu tidak sampai. Infrastruktur yang seharusnya menyalurkan subsidi bagi nelayan, yakni SPBN, tidak berfungsi optimal atau barangkali setengah hati.

Di sentra perikanan lain di Cirebon, yakni di Desa Gebang Mekar, jangankan SPBN yang beroperasi dengan kuota BBM yang mencukupi, sebuah tempat pelelangan ikan (TPI) yang dibangun pada tahun 2004 pun tidak beroperasi. Nelayan terjerat tengkulak yang menumpuk modal dari pembelian ikan dengan harga sewenang-wenang.

”Kami (nelayan) hanya jadi obyek kebijakan energi pemerintah, tetapi tidak pernah diperhatikan nasibnya atau setidaknya dimintai pendapat. Padahal, bagi kami, BBM menyumbang komponen biaya produksi sekitar 60-70 persen. Setelah harga BBM naik, lantas bagaimana dengan kami jika kondisi SPBN seperti ini,” ujar Sekretaris Jenderal Serikat Nelayan Indonesia (SNI) Budi Laksana.

Budi berharap pemerintah memperhatikan kondisi nelayan tradisional. SNI mencatat, sejak 2012 BBM khusus nelayan yang seharusnya 2,5 juta kiloliter hanya terdistribusi sekitar 1,3 juta kiloliter. Kenyataannya di lapangan, hanya 800.000 kiloliter yang dinikmati nelayan. Adapun jumlah SPBN di Indonesia pada tahun 2011 hanya 237 unit.

Sampai kapan nelayan dibuat galau dengan karut-marut kebijakan energi?

Sumber: KOMPAS, Selasa, 21 Mei 2013.

Berita

About the author

lingkarLSM hadir untuk menemani pertumbuhan. Kami mengidamkan masyarakat sipil yang jujur dan punya harga diri. Kami membayangkan ribuan organisasi baru akan tumbuh dalam tahun-tahun perubahan ke depan. Inilah mimpi, tujuan dan pilihan peran kami. Paling tidak, kami sudah memberanikan diri memulai sebuah inisiatif; dan berharap langkah kecil ini akan mendorong perubahan besar.
No Responses to “Nelayan Terus Galau terhadap Kebijakan Energi”

Leave a Reply