Politik Keteraturan dan Kekerasan Simbolik dalam RUU Ormas
Trias Politika yang dimaknai dengan hadirnya komponen eksekutif, legislatif dan yudikatif dalam tatanan kehidupan ketatanegaraan, kini telah mengalami pergeseran makna dan artikulasi. Bahwa aktor penentu arah kehidupan berbangsa dan bernegara ditentukan oleh tiga aktor penting yang memiliki peran dan sumbangsih yang sama besarnya terhadap penciptaan kesejahteraan manusia yaitu negara (state), pasar (private sector) dan masyarakat sipil (civil society).
Negara berperan untuk menata regulasi yang memiliki keberpihakan terhadap rakyat melalui serangkaian peraturan perundang-undangan dan juga memfasilitasi penciptaan iklim usaha yang kondusif bagi pasar sebagai penggerak roda perekonomian bangsa.Pasar berperan sebagai pencipta kesejahteran ekonomi dan pendistribusian nilai tambah bagi warga negara.Sedangkan masyarakat sipil berperan sebagai kontrol atas dimanika negara dan penyelahgunaan modal untuk akumulasi kesejahteran pribadi.
Dalam lintasan sejarah Indonesia, pada masa pra-kemerdekaan, masyarakat sipil hadir sebagai penentang tirani kekuasaan penjajahan terhadap rakyat Indonesia.Pada masa Orde Baru, masyarakat sipil hadir sebagai penentang terhadap kekuatan hegemoni negara dan ekonomi yang menjadikan rakyat sebagai obyek kekuasaan.Pada masa ini, organisasi masyarakat sipil dianggap sebagai “lawan” dan eksistensinya dianggap mengamcam kekuasaan negara.Oleh karenya, Orde Baru merespon keberadaan organisasi masyarakat sipil dengan melakukan pembatasan dan pembungkaman terhadap suara-suara kritisnya.
Pada masa itu pula, negara tidak hanya melakukan kooptasi pada struktur organisasi tetapi juga pada fungsi dan pengendalian internal yang menjadi wilayah pengaturan internal organisasi masyarakat sipil itu sendiri. Lahirnya UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) tidak terlepas dari kepentingan rezim Orde Baru untuk mengkonsolidasikan kekuasaan dan mengontrol kehidupan sosial politik masyarakat. Bagi rezim Orde Baru, masyarakat sipil pada satu sisi memiliki potensi untuk mengkonsolidasikan kekuasaannya. Namun pada sisi yang lain berpotensi menghalangi dan bahkan menentang kekuasaannya. Oleh karenanya rezim Orde Baru menyusun aturan untuk memudahkan melakukan kontrol eksistensi dan perannya.
UU No 8 Tahun 1985 lahir dengan semangat mengontrol dan merepresi dinamika organisasi masyarakat. Bentuk Ormas sendiri adalah (bentuk) yang sebetulnya tidak memiliki tempat dalam kerangka hukum di Indonesia, namun dipaksakan karena kebutuhan rezim Orde Baru untuk menerapkan konsep “wadah tunggal” nya.
Konsep wadah tunggal ini bermaksud untuk melokalisir satu kelompok yang dianggap sejenis dalam satu wadah yang “sah” sehingga mudah dikontrol karena nantinya hanya akan ada satu wadah untuk setiap jenis kelompok. Selain itu, UU Ormas juga memuat ancaman pembekuan dan pembubaran yang represif tanpa mensyaratkan proses pengadilan yang adil dan berimbang.
Oleh: Agung Wijaya
Artikel ini merupakan bagian dari presentasi Diskusi RUU Ormas yang diselenggarakan tanggal 11 September 2012 di Bumiwiyata, Depok. Hasil kerjasama antara ICCO Kerk in Actie dan Yayasan Penabulu yang diikuti beberapa Yayasan Mitra ICCO Kerk in Actie dengan narasumber dari: Kontras, Koalisi Kebebasan Berserikat, INFID, dan YLBHI.