Pendidikan untuk Melahirkan Generasi Baru (Bagian 3/4)
Ketika gerakan reformasi merebak pada tahun 1977-’78, seluruh rakyat Indonesia berharap agar segera terjadi perubahan-perubahan yang berarti dalam kahidupan mereka. Lima tahun setelah reformasi berjalan, dan kehidupan rakyat ternyata tidak juga bertambah baik, mulailah terdengar pendapat, bahwa Indonesia harus melahirkan “generasi baru” untuk dapat keluar dari berbagai jenis krisis yang melilit dirinya selama ini.
Suara ini makin lama kedengaran makin lantang, dan bahkan ada yang melontarkan pendapat, bahwa bila perlu Indonesia harus berani melakukan “loncatan generasional”. Artinya, Indonesia harus berani “mengorbankan” suatu generasi, yaitu mengabaikan sepenuhnya generasi tadi, tidak usah memperhitungkannya dalam penyusunan dan pengembangan kekuatan baru dalam kehidupan bangsa.
Apakah gagasan-gagasan di atas cukup sehat, cukup realistik, dan dapat dilaksanakan?
Sukar untuk menjawab pertanyaan ini secara definitif. Bagi saya, yang jelas ialah bahwa gagasan di atas mencerminkan masih adanya optimisme dalam masyarakat kita. . Ini lebih baik daripada gagasan-gagasan yang pesimistik. Apakah cukup realistik? Sukar untuk dijawab, karena gagsan-gagasan tadi masih “mentah”, belum cukup diolah. Jadi belum dapat dikatakan, apakah gagasan untuk melahirkan generasi pembaharu ini cukup realistik atau tidak, dan dapat dilaksanakan atau tidak.
Mempersiapkan “Kelahiran” Generasi Pembaharu
Di samping itu masih ada satu masalah lagi yang juga tidak pernah dipikirkan secara sungguh-sungguh oleh mereka yang menganjurkan “dilahirkannya” generasi pembaharu Indonesia tadi, yaitu “Bagaimana caranya mempersiapkan kelahiran atau kedatangan suatu generasi pembaharu?”
Perlu kita sadari bersama dalam hubungan ini, bahwa generasi pembaharu tidak pernah datang “:dengan sendirinya”. Sebelum suatu generasi pembaharu hadir secara nyata dalami kehidupan suatu bangsa, dalam masyarakat bangsa tadi selalu terdapat kekuatan-kekuatan kultural yang pada dasarnya mempersiapkan kedatangan generasi pembaharu tadi. Adanya rasa jenuh terhadap situasi yang
ada dalam suatu zaman, rasa muak terhadap segenap bentuk kemunfikan yang ada, rasa jemu dengan mediokritas bangsa (national mediocrity) –yaitu kegagalan bangsa untuk melaksanakan sesuatu yang dapat dibanggakan -suasana-suasana seperti ini pada dasarnya merupakan kekuatan-kekuatan kultural yang membuat masyarakat siap untuk menerima kehadiran pembaharu-pembaharu.
Dalam keadaan kita sekarang ini dapat dikatakan, bahwa masyarakat sebenarnya sudah siap menerima kedatangan generasi pembaharu, tetapi generasi seperti itu tidak kunjung datang di tengah-tengah kita. Kapan mereka ini akan datang?
Generasi pembaharu yang kita harapkan ini tidak juga datang di tengah-tengah kita, karena pendidikan sekolah kita tidak pernah mempersiapkan generasi pembaharu ini. Sebagian terbesar dari guru-guru yang mendidik di sekolah kita bahkan tidak sadar, bahwa mereka mempunyai tugas untuk mempersiapkan murid-murid menjadi generasi penerus dan generasi pembaharu. Yang ada dalam
kesadaran mereka ialah bahwa mereka ada disekolah untuk mengajar dan mendidik anak-anak.
Untuk apa? Ini jarang dipikirkan secara cukup dalam oleh kebanyakan dari kita, guru-guru sekolah. Kita sudah puas dengan jawaban-jawaban klise yang mengatakan, bahwa kita mendidik murid-murid untuk membimbing mereka menjadi manusia yang baik, manusia yuang beriman dan bertakwa, manusia yang sehat rokhani dan jasmani, manusia yang cakap, dan sebagainya. Tidak terpikirkan oleh kebanyakan dari kita, guru-guru sekolah, bahwa secara historis kita mempunyai tugas untuk mempersiapkan murid-murid kita menjadi generasi baru yang kelak harus memperbaiki segenap kesalahan yang terdapat dalam masyarakat kita selama ini.
Dalam hubungan ini perlu pula kita sadari, bahwa setiap generasi pembaharu selalu memiliki sifat-sifat dasar atau “watak dasar” yang secara fundamental berbeda dari -dan dalam beberapa hal bahkan bertentangan dengan -watak dasar yang ada pada generasi-generasi sebelumnya. Generasi 1908 lahir dari kesadaran, bahwa mereka tidak dapat lagi menerima perlakuan Pemerintah Kolonial Hindia – Belanda yang tidak manusiawi terhadap penduduk pribumi. Generasi-generasi sebelum generasi Budi Oetomo menerima saja perlakuan Pemerintah Kononial Hindia-Belanda yang menghina dan melecehkan penduduk pribumi ini. Generasi Sastra 1945 menolak watak dasar generasi sastra Pujangga Baru yang mereka anggap cengeng dan terlalu banyak menyibukkan diri dengan soal-soal remeh dalam kemanusiaan dan kehidupan bangsa.
Yang diharapkan oleh masyarakat kita dewasa ini saya kira ialah bahwa generasi pembaharu yang akan datang nanti berwatak lebih bersih, lebih tinggi kemampuannya memecahkan berbagai jenis persoalan bangsa, dan lebih bertanggungjawab dalam melaksanakan tugas mereka untuk mengelola lingkungan dan mengayomi penduduk. Kalau “watak dasar” generasi mendatang sama saja dengan “watak dasar” generasi-generasi yang ada selama ini, maka pembaharuan kehidupan bangsa itu tidak akan pernah terjadi. Kita akan tetap terperangkap dalam pola hidup yang telah menjerumuskan bangsa ke dalam krisis yang ada sekarang ini.
Oleh: (Alm) Mochtar Buchori
Makalah yang disampaikan pada “Simposium tentang Peran Guru dalam Perubahan Sosial Politik Bangsa”
Diselenggarakan di Aula SMU 6 Bulungan pada 15 Mei 2009 oleh Musyawarah Guru Mata Pelajaran Sejarah DKI, Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI), dan Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI).