Nasib Pertanian dan Petani Makin Gelap
Bogor, Kompas – Nasib petani dan masa depan pertanian Indonesia gelap. Hal ini karena menjadi petani tidak menjamin kehidupan yang makin baik. Para petani sekuat tenaga mendorong anaknya keluar dari sektor pertanian. Di sisi lain tidak ada kebijakan yang benar-benar memihak petani.
Hal itu mengemuka dalam sarasehan satu tahun meninggalnya Prof Dr Ir Sajogyo bertema ”Nasib dan Masa Depan Petani dan Pertanian Indonesia”, Sabtu (16/3), di Bogor, Jawa Barat. Sajogyo merupakan pakar sosiologi pedesaan juga penulis Garis Kemiskinan Sajogyo.
Hadir pada sarasehan itu antara lain pelopor gerakan LSM yang juga pendiri Bina Swadaya Bambang Ismawan, Direktur Institut Ecosoc Right Sri Palupi, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria Idham Arsyad, pakar agraria Gunawan Wiradi, Staf Khusus Presiden Bidang Penanggulang Kemiskinan HS Dillon, budayawan Mohammad Sobari, sastrawan dan budayawan Ajip Rosidi.
Menurut Bambang, penelitian Ahmad Erani Yustika menunjukkan ada 88 persen petani yang hanya memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar.
Penghasilan mereka 80 persen dari luar sektor pertanian, seperti jadi tukang ojek, buruh, tukang batu, dan pedagang kecil. ”Apakah mereka layak disebut petani?” katanya.
Kegelapan nasib dan masa depan pertanian Indonesia semakin nyata ketika petani sekuat tenaga mendorong anaknya agar tidak menjadi petani. Fatalisme. Tantangannya bagaimana memperkuat usaha mereka, sekalipun itu di luar sektor pertanian, agar tidak tambah miskin.
Mereka menguasai 92 persen usaha mikro. Masalahnya di negara tidak ada sistem yang memberdayakan dan mendukung usaha mikro yang menghidupi 240 juta jiwa penduduk Indonesia. ”Salah satu yang penting memperkuat usaha mereka,” katanya.
Palupi mengatakan, fenomena kehidupan petani dan nasib pertaniannya bisa dilihat dari perkembangan desa TKI, atau desa yang memasok pekerja informal ke luar negeri.
Di sebuah desa di Sulawesi Utara, misalnya, terjadi pertumbuhan desa TKI 100 persen dalam tiga tahun. ”Kita bisa melihat dengan jelas dari perkembangan TKI-nya,” ujar Palupi.
Menjadi petani sekarang seperti banyak musuhnya. Pemerintah seperti tidak ikhlas kalau ada orang yang menjadi petani. Di Palangkaraya nyaris tidak ada pertanian pangan selain sawit.
”Zaman Soeharto orang dipaksa dengan segala cara untuk menanam padi. Sekarang orang dipaksa juga dengan segala cara meninggalkan tanaman padi,” tegasnya.
Kini ada petani yang lahannya dicaplok perusahaan sawit. Ada petani yang melawan dengan memasang spanduk dan orasi sendiri di depan rumahnya karena tidak ada jalan lagi melawan. Semua jalan buntu. ”Itu pun anaknya sampai diculik, supaya dia berhenti bicara,” ungkapnya. (MAS)
Sumber: KOMPAS, Senin, 18 Maret 2013.