Menjawab Tantangan Kemandirian
Oleh: Agnes Aristiarini
Hanya selang setahun, Indonesia kembali diguncang harga kedelai. Bedanya, kalau tahun lalu harga kedelai melambung karena kekeringan melanda Amerika Serikat sebagai salah satu pemasok kedelai, kali ini harga kedelai ikut membubung bersama anjloknya nilai rupiah.
Termasuk negara pengimpor kedelai terbesar dunia, posisi Indonesia amatlah rentan. Dengan produksi 843.838 ton per tahun (FAO, 2013), Indonesia harus mengimpor lebih dari satu juta ton kedelai setiap tahun untuk memenuhi kebutuhan rata-rata dalam negeri yang mencapai lebih dari 2 juta ton. Dari jumlah itu, hampir 90 persen menjadi bahan baku produksi tahu-tempe. Sisanya untuk kecap, tauco, tepung, dan benih.
Indonesia saat ini memang menghadapi problem pangan luar biasa. Badan Pusat Statistik memproyeksikan jumlah penduduk Indonesia 242 juta jiwa tahun 2013, sementara peningkatan produksi pangan tak signifikan. Akibatnya, data 2011 dari Departemen Pertanian AS (USDA) menunjukkan peningkatan impor pangan Indonesia. Impor beras naik 141 persen, kedelai 19 persen, dan jagung 89 persen.
Salah satu penyebab utama pertanian Indonesia stagnan adalah terbatasnya lahan pertanian pangan. Dwi Andreas Santosa dalam tulisannya, ”Membangun Kedaulatan Pangan” (Kompas, 11 Februari 2012), menyebutkan, dengan luas lahan pertanian pangan 358 meter persegi per kapita untuk sawah atau 451 meter persegi jika digabungkan dengan lahan kering, tidak mudah untuk meningkatkan produksi.
Kondisi ini diperparah dengan konversi lahan pertanian ke non-pertanian yang mencapai 100.000-110.000 hektar per tahun meski ada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Perbaikan Teknologi
Ketika Thomas Robert Malthus meramalkan pertumbuhan penduduk seperti deret ukur, sementara pertumbuhan produksi pangan seperti deret hitung, muncul Revolusi Hijau pada tahun 1960-an. Basis Revolusi Hijau adalah intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian dengan perluasan lahan dan perbaikan tata cara produksi (mekanisasi pengolahan tanah, pengairan, benih unggul, pemupukan, pemberantasan hama dan penyakit) serta pengelolaan panen dan pascapanen. Metode ini pada zamannya menjawab keraguan Malthus dan menyediakan pangan dunia.
Kesadaran bahwa Revolusi Hijau ternyata berdampak buruk muncul awal 1980-an. Upaya produksi yang masif dan massal tidak hanya merusak kesuburan tanah, tetapi juga mendorong petani masuk ke industrialisasi pertanian. Mereka tak punya kedaulatan memilih benih, menentukan saat tanam, serta bergantung pada industri pupuk dan pestisida. Hanya para petani berlahan luas yang menikmati dampak Revolusi Hijau. Para petani kecil dengan lahan terbatas terjerat biaya produksi tinggi dan tenaga buruh tani digantikan mekanisasi sehingga muncul kesenjangan.
Koreksi terhadap Revolusi Hijau telah banyak dilakukan, mulai dari rehabilitasi lahan, diversivikasi tanaman, sampai pertanian organik. Namun, jumlah penduduk yang terus meningkat memunculkan kembali tantangan ketersediaan pangan.
Berbagai perusahaan agroindustri, termasuk di antaranya Monsanto, menjawab dengan teknologi. Ketika jumlah lahan tidak bertambah, upaya produksi dipusatkan pada intensifikasi pertanian. Selain menciptakan pupuk dan pestisida yang lebih responsif dan efektif, banyak perusahaan agroindustri memusatkan pengembangan pada tanaman transgenik.
Transgenik
Sebutan transgenik menunjukkan bahwa tanaman telah direkayasa secara genetika dengan penyisipan gen-gen tertentu. Kedelai Roundup Ready 2 Yield dari Monsanto, misalnya, disisipi gen bakteri Agrobacterium tumefaciens, cauliflower mosaic virus (CaMV), dan enzim peptida dari petunia hibrida sehingga tahan herbisida Roundup dari perusahaan yang sama. Diluncurkan lima tahun lalu, Roundup Ready 2 Yield sudah ditanam di lebih dari 20 juta hektare lahan di AS dan Kanada.
Sebagai produk pengembangan benih Roundup Ready yang beredar sejak 1996, tahun 2012 benih ini menghasilkan lebih dari 304 kg/ha. Jumlah ini terus meningkat, tahun 2011 (283,5 kg/ha) dan tahun 2010 (256,5 kg/ha). Namun, perlu juga diingat, produktivitas tinggi bukan semata-mata karena transgenik, melainkan karena benihnya jenis hibrida yang memang tinggi potensi hasilnya.
Selain kedelai, produk transgenik dunia saat ini meliputi tanaman jagung, kanola, dan kapas, yang sudah lebih dari satu dekade ditanam di AS, Amerika Latin, India, dan China. ”Saya sudah bertahun-tahun menanam jagung dan kedelai transgenik, tidak ada masalah,” kata Tim Seifert, petani di kawasan Auburn, Illinois, AS.
Walau demikian, resistensi terhadap produk transgenik tak kurang. Uni Eropa, misalnya, masih gigih menolak transgenik. Indonesia, setelah pengalaman kapas transgenik di Bulukumba, Sulawesi Selatan, bebas tanaman transgenik sampai Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika (KKHPRG) menyetujui pelepasan tanaman tebu transgenik tahan kekeringan, Mei 2013. Inilah tanaman transgenik pertama Indonesia yang dihasilkan Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) dari PT Riset Perkebunan Nusantara bekerja sama dengan Universitas Negeri Jember, Jawa Timur. Dinamai PRG NXI-4T, tebu transgenik ini siap tanam komersial tahun depan.
Menyikapi Transgenik
Indonesia sudah lama menjadi pasar produk transgenik. Impor kedelai dan jagung dari AS, Kanada, Argentina, dan Brasil, sebagian besar produk transgenik. Bagaimana kita harus bersikap?
Transgenik atau bukan, sebenarnya ada tiga pertimbangan yang perlu diutamakan: keamanan lingkungan, produktivitas, dan kemandirian petani.
Masyarakat internasional sebenarnya sudah menghasilkan kesepakatan antarpihak yang mengatur tata cara penanganan, pemanfaatan, dan lintas batas negara terhadap organisme hasil rekayasa genetika. Disebut Protokol Cartagena, protokol ini bertujuan mengurangi dampak buruk terhadap lingkungan dan kesehatan manusia.
Artinya, setiap pengembangan produk transgenik harus melewati periode observasi sebelum digunakan secara komersial. Potensi risiko dikaji dari pengaruh komponen sisipan terhadap makhluk hidup lain—mikroorganisme, herbivora, dan omnivora—bukan target, yang memakan tanaman transgenik langsung dan tidak langsung, maupun dampak lingkungan keseluruhan.
Di AS, petani wajib menanam buffer 20 persen tanaman serupa tetapi non-transgenik, atau 5-10 persen dalam pertanaman campuran untuk mengurangi dampak pada organisme lain.
Namun, yang terpenting adalah terjaminnya kemandirian petani. Petani harus tetap bebas memilih dan menentukan, mana yang terbaik untuk kesejahteraan mereka.
Sumber: KOMPAS, Kamis, 12 September 2013.