Mengelola “Intangible Asset” Menjadi “Tangible Asset”
Seorang rekan dari sebuah organisasi besar berdiskusi dan menyampaikan kesulitannya mengukur “return on investment” yang baik dari setiap pelatihan yang akan dilakukan organisasinya. Organisasi tempatnya bekerja selalu menuntut setiap biaya yang dikeluarkan untuk pengambilan investasinya. Alasannya, agar organisasi tidak akan rugi dan salah ketika akan membiayai sebuah pelatihan bagi para karyawannya. Rekan dari organisasi lain juga mendikusikan cara menjelaskan secara matematis kepada atasanya bahwa investasi yang dikeluarkan organisasi dalam rangka meningkatkan kenyamanan atau menumbuhkan iklim kerja yang kondusif akan berpengaruh terhadap pendapatan jauh lagi terhadap keuntungan organisasi di masa datang.
Hampir semua pemimpin organisasi percaya bahwa iklim kerja organisasi yang kondusif dan karyawan yang berpengetahuan merupakan modal yang sangat penting bagi organisasi. Ketika keuangan memiliki kondisi keuangan yang cukup sehat atau berlebih, investasi terhadap hal ini tidak begitu menjadi masalah yang penting. Namun, ketika pemimpin organisasi dihadapkan pada kondisi organisasi yang memiliki keuangan yang terbatas dan diharuskan mengeluarkan investasi dalam jumlah tertentu yang tujuannya untuk menigkatkan pengetahuan dan keterampilan karyawan atau membuat iklim kerja menjadi kondusif, perhitungannya menjadi tidak mudah, iklim kerja, pengetahuan dan keterampilan karyawan adalah contoh aset yang tidak kasat mata atau biasa disebut dengan intangible asset. Intangible asset sangat jarang memiliki dampak secara langsung terhadap hasil keuangan, seperti meningkatkan pendapatan, menurunkan biaya atau menambah keuntungan organisasi sehingga tidak mudah bila harus diukur melalui penghitungan keuangan.
Beberapa pakar manajemen mencoba menjelaskan pentingnya mengelola intangible asset untuk meningkatkan tangible asset. James Heskett, salah satu pakar manajemen di bidang service quality, menyampaikan melalui konsepnya yang mengatakan bahwa karyawan yang kompeten dan puas terhadap tempat kerjanya akan memberikan kontribusi yang sangat signifikan dalam memberikan pelayanan yang memuaskan bagi pelanggannya. Pelanggan yang mendapatkan pelayanan yang memuaskan akan menjadi pelanggan yang loyal. Pelanggan yang loyal akan memberikan kontribusi pendapatan dan keuntungan bagi organisasi.
Penjelasan yang lebih gamblang didapatkan melalui peta strategi yang diperkenalkan Kaplan dan Norton melalui konsep balanced scorecard. Mereka mengatakan bahwa peningkatan kualitas intangible asset hanya akan memengaruhi hasil keuangan setelah melalui rantai hubungan sebab akibat terlebih dahulu. Misalnya seseorang yang mendapatkan pelatihan Total Quality Management (TMQ) dan six sigma tidak akan secara langsung mempengaruhi hasil keuangan organisasi. Namun, mereka akan secara langsung memengaruhi peningkatan kualitas di proses bisnis. Peningkatan kualitas di proses bisnislah yang akan meningkatkan kepuasan pelanggan, kepuasan pelanggan akan meningkatkan loyalitas pelanggan, dan pada akhirnya loyalitas pelanggan akan meningkatkan penjualan dan keuntungan secara jangka panjang.
Selanjutnya, Kaplan dan Norton lebih detail menjelaskan hubungan sebab-akibat dari perspektif intangible asset dalam organisasi. Intangible asset yang berupa orang dan organisasi akan berkontribusi terhadap peningkatan kualitas proses bisnis. Proses bisnis yang berkualitas akan meningkatkan perspektif pelanggan. Pelanggan yang puas dan loyal akan meningkatkan pendapatan dan keuntungan organisasi. Keempat perspektif yang dihubungkan dengan sebab-akibat inilah yang kemudian digambarkan secara visual berupa peta dalam konsep balanced scorecard yang dikenal sebagai peta strategi. Peta strategi telah membantu banyak organisasi dalam memudahkan membangun strategi dan mengubah intangible asset menjadi tangible asset.
Bagaimana menurut Anda?
Oleh:Djunaidi Baharudin, Management Consultant of GML Performance Consulting.
Sumber: KOMPAS, Sabtu, 16 Juni 2012, Halaman: 37.