Menabur dan Menuai Sama Berguna
Watijah kini dapat tersenyum. Betapa tidak, setiap hari dari hasil penjualan berbagai penganan gorengan di warung mie rebusnya, ibu yang bermukim di pinggir rel kereta api Cikokol, Tangerang, Banten, itu mampu meraup tambahan penghasilan sebesar Rp 20.000.
Bila dikalkulasi, tambahan penghasilan tersebut mendongkrak tidak kurang dari 40 persen penghasilan lamanya. Ini tentu sangat berguna. “Terus terang, sepanjang 16 tahun terakhir berkeluarga, baru kali ini kami bisa menabung,” ungkapnya. Ia mengaku, sebelumnya paling tinggi keuntungan yang diraup hanya Rp 50.000 setiap hari. “Untuk masa sekarang, itu terlalu kecil, bagaimana bisa menanggung empat anak sekolah,” ungkapnya lagi.
Kondisi baik memang tengah berpihak kepadanya. Bermula dari bantuan permodalan yang diberikan sebuah yayasan yang bergerak dalam pemberian modal usaha kecil. Tanpa bersusah payah mengurus birokrasi kredit, lembaga non-pemerintah tersebut memberikan bantuan permodalan berkisar Rp 100.000 hingga Rp 500.000 kepada sekitar 35 ibu-ibu rumah tangga di lingkungannya dengan jangka waktu pengembalian selama lima bulan. Terhadap pinjaman itu, pihak yayasan membebankan bunga 2,5 persen setiap bulan. Uang pinjaman sebesar itulah yang digunakan untuk menambah ragam jenis penganan di warung minya. “Pinjaman ini sudah tahap keempat, selama itu kelompok saya belum ada yang menunggak,” paparnya.
Di berbagai daerah, pemberian bantuan modal usaha bagi ibu-ibu rumah tangga seperti ini memang sangat dibutuhkan. Kehadiran lembaga non-pemerintah dirasakan benar-benar membantu memberdayakan ekonomi kalangan miskin di negeri ini. Meskipun pengucuran kredit dilakukan tanpa mengundang menteri, tanpa liputan pers, dan jauh dari kesan kepentingan politis, upaya mereka dirasakan benar manfaatnya oleh kalangan lapisan bawah masyarakat yang selama ini terlupakan.
Yayasan Dian Mandiri, merupakan salah satu contoh. Dari segi usia, organisasi nonpemerintah atau sering disebut lembaga swadaya masyarakat (LSM) ini memang tergolong dini. Namun, sumbangan pemikiran, permodalan, dan pendampingan yang mereka berikan dirasakan banyak membantu kehidupan masyarakat lapisan bawah. Bermula dari kerusuhan Mei 1998 lalu.
Kala itu, kerusuhan memporak-porandakan bermacam-macam perusahaan. Sekelompok karyawan yang kena PHK mencoba berpikir ideal dengan membentuk sebuah LSM yang bergerak dalam pembangunan usaha kecil. “Bekal kita saat itu hanya motivasi dan nekat,” tutur Frans Purnama, direktur eksekutif yayasan. Dengan bekal tersebut, yang mereka butuhkan tinggal dukungan pendanaan dan sebuah komitmen yang sama dari si pemberi dana.
Dengan niat seperti ini, permodalan tampaknya tidak menjadi masalah besar. Buktinya, donatur luar maupun dalam negeri berhasil diperoleh. Sebagai gambaran, saat ini di wilayah Tangerang, telah 2.132 orang yang terbagi menjadi 108 kelompok berhasil mereka bina. Dari jumlah tersebut, dengan rata-rata kredit sebesar Rp 500.000 yang diberikan, berarti tidak kurang dari Rp 1 miliar dana telah dikucurkan. Untuk nasabah sebesar itu, yayasan ini memperkerjakan sebanyak 26 staf, dengan syarat minimal bagi staf pendamping program minimal lulusan sarjana.
Kiprah Yayasan Dian Mandiri tidak sendirian. Di samping mereka sebagai LSM turut berkiprah dengan berbagai program bantuan. Malah, jauh sebelumnya ketika wujud partisipasi masyarakat dan organisasi nonpemerintah belum banyak dikenal, terdapat LSM yang mengkhususkan diri dalam pemberdayaan dan pengembangan masyarakat desa. Bina Swadaya, misalnya, sejak tahun 1967 telah berkiprah dalam pembangunan sosial ekonomi masyarakat miskin.
Lebih tiga dasawarsa berkiprah, hingga kini Bina Swadaya tetap eksis. Malah, untuk ukuran LSM, pertumbuhan lembaga ini tergolong spektakuler. Tidak kurang dari 23 gugus wilayah, semacam cabang mandiri, yang kini mereka miliki. Dalam salah satu proyek penanggulangan kemiskinan, misalnya, sejak tahun 1994 lalu tidak kurang sekitar 120.000 desa tertinggal yang disentuh lembaga ini. “Lembaga ini bertahan karena ada beberapa orang yang tetap konsisten pada komitmen gerakan ini, tidak lari dengan kepentingan lain” tutur Bambang Ismawan, ketua dewan pengurus Bina Swadaya.
Dari segi kegiatan, lembaga ini mengelompokkannya kedalam tiga kelompok kerja yaitu, pertama, kegiatan dalam jasa konsultasi, kemandirian, yang bertugas mereplikasi pengalaman Bina Swadaya kepada lembaga lain. Kedua, kegiatan dalam jasa keuangan, yaitu mengoperasikan empat Bank Perkreditan Rakyat. Ketiga, kegiatan dalam bidang percetakan, penerbitan, dan agribisnis. Dari kelompok terakhir ini, lahir karya-karya penerbitan di bidang pertanian yang telah akrab di masyarakat seperti Majalah Trubus dan berbagai buku pengetahuan praktis bertani.
Mengoperasikan LSM sebesar Bina Swadaya tentu membutuhkan pendanaan yang tidak terbilang kecil. Sebagai gambaran, total anggaran lembaga ini tahun 2000 tercatat sebesar 5,4 juta dollar AS, atau bila dihitung dengan patokan kurs rupiah Rp 8.000 dollar AS, maka tidak kurang dari Rp 43,2 miliar. Dari manakah sumber dana sebesar itu? Bagi Bina Swadaya yang sering dijuluki sebagai konglomerat LSM atau bingo (big NGO) ini, mengklaim tidak kurang dari 85 persen berasal dari pembiayaan sendiri dan sisanya (15 persen) didanai oleh bantuan pihak lain.
MUNCULNYA LSM yang lebih menitikberatkan pada pembangunan sosial ekonomi masyarakat tidak hanya didominasi oleh Bina Swadaya belaka. Pada era tahun 1970-an, LSM seperti Yayasan Indonesia Sejahtera (YIS), Yayasan Dian Desa, memiliki catatan sejarah yang tidak kurang panjang dalam kehidupan masyarakat melalui potensi yang dimiliki ketimbang berharap dan mengandalkan program ataupun kebijakan pemerintah. Dalam melakukan kegiatan tersebut, kerja sama dengan pemerintah tetap dimungkinkan. Namun, upaya tersebut tidak mengubah pandangan mereka yang rata-rata menyadari kapasitas dan pendekatan pembangunan yang dilakukan pemerintah terhadap masyarakat tidak memadai.
Philip Eldridge (1995) memaparkan wajah lain dari perkembangan LSM di Indonesia. Menurutnya, selain keberadaan LSM yang berorientasi pada pembangunan masyarakat seperti di atas, dikenal pula model LSM yang berperan dalam level politik, model pemberdayaan dari lapisan bawah, dan gerakan-gerakan yang lebih radikal.
Dari ketiga model ini, upaya pemberdayaan masyarakat tidak melulu terjadi melalui upaya pembangunan, namun mobilisasi menjadi lebih penting dalam memupuk kesadaran bagi sebuah perubahan. Dalam konteks seperti itu, kemunculan organisasi yang sejak awal telah menanamkan pola-pola advokasi dalam perjuangannya menjadi semakin relevan.
Dalam perjalanannya, terbukti pola-pola perjuangan seperti ini tidak banyak membuahkan hasil. Dalam bidang perlindungan hukum, misalnya, kehadiran lembaga bantuan hukum di berbagai daerah sanggup memberikan warna baru dalam memupuk kesadaran masyarakat yang acapkali menjadi korban kesewenangan penguasa.
Pola-pola advokasi organisasi perburuhan, dasawarsa terakhir dinilai berhasil membuka kesadaran kelas sesame buruh tatkala mereka harus berhadapan dengan kesewenangan para pemilik modal dalam menetapkan hak-hak normatif mereka. Demikian pula, pada berbagai aspek lain yang lebih spesifik seperti perjuangan kaum perempuan, kaum miskin kota hingga gerakan kaum profesional berhasil membuka cakrawala pemikiran masyarakat dalam menghadapi ketidakadilan yang berlangsung selama ini.
SEJALAN dengan makin maraknya kiprah LSM dalam kehidupan masyarakat, berbagai tudingan minor mengenai keberadaan mereka pun tidak kurang banyak bermunculan. Upaya untuk memberdayakan masyarakat dari beragam sisi kehidupan untuk menjadi subjek di negara ini acapkali dipandang sebelah mata. Di satu sisi, kiprah mereka-terutama saat rezim Orde Baru berkuasa oleh negara acap kali dicurigai sebagai penghalang, yang mengancam program pemerintah. Dalam menjalankan kiprahnya, tidak jarang mereka dituduh sebagai provokator, menjual bangsa sendiri kepada bangsa asing, hingga dianggap sebagai kelompok pembangkang yang diidentikkan sebagai gerakan komunisme.
Di sisi lain, bagi sesame LSM, landasan ideologi pergerakan yang mereka anut pun acapkali dipersoalkan. Bagi mereka yang sering disebut sebagai kalangan developmentalis, yang menitikberatkan pada upaya pembangunan masyarakat melalui perbaikan kondisi sosial ekonomi, acap dituding telah terkooptasi oleh pemerintah. Terhadap kelompok ini, bentuk perjuangan yang acapkali terkesan kompromistis saat berhadapan dengan negara ini dianggap tidak efisien, lantaran tidak dapat memberikan sebuah perubahan yang menyeluruh bagi masyarakat.
Sementara, penilaian sebaliknya ditujukan terhadap kelompok yang lebih menekankan pola-pola advokasi. Kepada kalangan ini seringkali pola perjuangan yang mereka terapkan dengan sasaran perubahan kebijakan dianggap terlalu radikal. Dalam kondisi sosial budaya masyarakat seperti ini, justru diragukan efektivitas sasaran perjuangan akan tercapai. Malah, yang dikhawatirkan bakal muncul justru semakin tinggi sikap antipasti masyarakat terhadap keberadaan maupun sepak terjang LSM di negeri ini. Tanda-tanda seperti ini mulai tampak.
Hasil pengumpulan pendapat Kompas, misalnya, memaparkan keberadaan LSM yang tidak semanis dengan apa yang terbayangkan sebelumnya, sebagai organisasi yang lekat dengan kehidupan masyarakat. Kesan bahwa LSM sebagai pembuat persoalan, seperti penggerak demonstrasi, pencari keuntungan pribadi, lembaga yang banyak bicara, namun sedikit bekerja, hingga penilaian bahwa LSM sebagai pembuat kondisi negara tidak stabil masih muncul pada sebagian responden dengan proporsi yang cukup signifikan.
Sebenarnya, keragaman pola perjuangan sesame LSM bukan menjadi sesuatu yang harus dipertentangkan. Apa pun strategi yang dilakukan, baik kelompok yang berorientasi pada pola-pola pemberdayaan masyarakat, menitikberatkan langkah kompromi, ataupun yang memilih pola advokasi sama-sama bermanfaat. Keragaman bentuk perjuangan dapat dianggap sebagai keragaman fungsi yang saling melengkapi untuk membawa masyarakat kepada kondisi yang ideal. Inilah hakikat kehadiran sebuah LSM.
Judul Buku: Menyuarakan Nurani Menggapai Kesetaraan (Menabur dan Menuai Sama Berguna), Penerbit: Kompas, Halaman: 175-181.