Memanen Sawit, Merusak Jalan

Jan 21, 2013 No Comments by

Haryo Damardono dan Dwi Bayu Radius

James Watt (40) namanya. Namun, James Watt yang satu ini bukan kelahiran Skotlandia dan juga bukan penemu mesin uap. Ia dilahirkan di Seruyan, Kalimantan Tengah. Danau Sembuluh adalah ”hidupnya”, tempat belajar renang, belajar hidup, dan mencari ikan. Namun, kini danau itu tak lagi menghidupinya dengan ikan segar.

Sekarang, kami terpaksa membeli ikan di pasar. Ikan makin berkurang,” ujar James pada sebuah akhir pekan menjelang Hari Natal 2012 saat ditemui di rumahnya yang tak jauh dari danau. Kata James, Danau Sembuluh tak lagi sama sejak Kabupaten Seruyan dibanjiri investasi kelapa sawit.

Danau Sembuluh merupakan danau terbesar di Kalteng. Luasnya 7.832,5 hektar. Dari satu sisi ke sisi lain jaraknya 35 kilometer, setara Jakarta-Cikarang.

Dulu, James biasa menangkap ikan jelawat, pipih, dan gabus. ”Air danau sangat jernih. Mudah sekali menangkap ikan. Meski begitu, kami cuma menangkap secukupnya,” ujarnya.

Suatu hari, pada 2011, air danau berbau menyengat dan ratusan ikan mengambang mati.

”Setelah ditelusuri warga, danau tercemar dari aliran limbah Sungai Rangkang,” ujar James, warga asli Dayak.

Pencemaran itu datang dari limbah pabrik sawit, tetapi pimpinan pabrik menyangkalnya. James pun sampai berkata, ”Silakan diminum Pak jika tak berbahaya.” Tak seorang pun berani melakukan.

James tak memperpanjang perkara tercemarnya danau setelah perusahaan menciptakan konflik horizontal. Ia enggan berhadapan dengan pendatang. Warga Dayak cinta damai.

Menurut Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng Arie Rompas, agresivitas investasi perkebunan sawit juga memicu persoalan hidrologi. Kondisi itu berpengaruh pada wilayah resapan dan kualitas air. ”Mulai terjadi kesulitan air bersih selain bencana banjir,” ujar Arie.

Banjir kini menerjang hampir semua kabupaten/kota di Kalteng. Ribuan rumah penduduk terendam, terutama yang terletak dekat Sungai Barito dengan daerah-daerahnya, antara lain Muara Teweh, Malungai, Buntok, Mangkatip. Puruk Cahu—yang merupakan dataran tinggi—tak luput dari banjir.

Di Sungai Kapuas, banjir juga terjadi di Kapuas Hulu dan Kapuas Tengah. Sungai Kahayan di Bahaur dan Pulang Pisau juga menggelontorkan air bah.

”Di Palangkaraya juga begitu, di Mendawai, Bereng Bengkel, dan Tundai. Di Sungai Mentaya, banjir melanda Cempaga Hulu, Parenggean, Kuala Kuayan, hingga Antang Kalang,” kata Arie.

Ada korelasi erat antara meluasnya perkebunan kelapa sawit dan intensitas banjir pada 2010 dan 2011. Terlebih banjir di daerah aliran Sungai Kahayan, Katingan, Mentaya, dan Seruyan yang merupakan wilayah konsentrasi perizinan sawit.

Jalan rusak

Investasi kelapa sawit sangatlah positif bagi pihak-pihak tertentu, tetapi berdampak negatif berupa penurunan daya dukung lingkungan dan infrastruktur. Hancurnya jalan-jalan akibat di- lintasi truk sawit merupakan salah satu buktinya.

Perusahaan kelapa sawit sebenarnya telah diminta membangun jalan langsung ke terminal minyak kelapa sawit mentah (CPO). Namun, banyak yang menolak dengan alasan tak mampu. Pemerintah daerah juga sulit mengoordinasikan karena banyak perkebunan beralasan pengusahanya di Jakarta.

Alhasil, ratusan truk di Kalteng tiap hari antre memenuhi jalan menuju terminal CPO Pelabuhan Teluk Sigintung, Kabupaten Seruyan; Pelabuhan Bagendang, Kabupaten Kotawaringin Timur; Pelabuhan Batanjung di Kabupaten Kapuas; dan Pelabuhan Kumai di Kabupaten Kotawaringin Barat.

”Jalan hanya kuat menahan beban 8 ton. Namun, banyak truk berbeban 15-20 ton,” kata Kepala Dinas Perkebunan Kalteng Rawing Rambang. Tak heran jalan berlubang di sana-sini.

Beberapa tahun lalu, Sudirman Napitupulu dari Dinas Pekerjaan Umum Kalteng kepada Kompas memprediksi, alih fungsi hutan akan menghancurkan jalan-jalan di Kalimantan. Meluasnya lahan perkebunan dan pertambangan memicu banjir yang merusak jaringan jalan.

Di Riau, salah satu sentra sawit di republik ini, kondisi jalan rayanya juga terburuk di Sumatera. Lebih dari 50 persen jalan nasional di Riau sepanjang 1.100 km dalam kondisi rusak, terutama di ruas jalan lintas timur Sumatera.

Dari Jambi memasuki batas Riau, lubang menghiasi badan jalan. Dari batas Riau, di Kabupaten Indragiri Hilir sampai Pelabuhan Dumai (400 km), lebih banyak lagi jalan berlubang.

Berdasarkan data dari Pemerintah Provinsi Riau, hanya 30 persen dari 1.800 km jalan provinsi dan 18.000 km jalan kabupaten/kota yang mulus. Hampir semua kepala daerah di Riau menuding, kerusakan jalan disebabkan angkutan truk kelapa sawit dan minyak sawit mentah.

Para kepala daerah Riau pun menuntut pengembalian dana pajak ekspor sawit berbentuk dana bagi hasil (DBH) sawit untuk perbaikan jalan. ”Pajak ekspor CPO dari Dumai Rp 14 triliun. Bukan jumlah yang kecil,” kata Wali Kota Dumai Khairul Anwar.

Pemprov Kalteng punya rencana lebih baik dengan membangun rel kereta api untuk pengangkutan batubara dan sawit. Rel itu akan membentang 185 km dari utara ke selatan, dari Puruk Cahu di Kabupaten Murung Raya ke Bangkuang, Kabupaten Barito Selatan. Masih tersisa pertanyaan soal mobilitas sawit dari barat ke timur.

Ketersediaan listrik

Soal ketersediaan listrik dalam kaitannya dengan industri hilir, ternyata Riau beruntung mendapat pasokan dari jaringan interkoneksi Sumatera bagian utara dan selatan. Tahun 2014, pasokan listrik Riau bahkan bertambah seiring selesainya pembangkit listrik 2 x 100 megawatt (PLTU) di kawasan Tenayan Raya, Pekanbaru.

Saat jalan, listrik, dan Pelabuhan Dumai tuntas dibangun, Khairul akan menagih janji Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa untuk menjadikan Dumai sebagai pusat industri hilir kelapa sawit.

Sementara Riau berkelimpahan listrik, tak demikian halnya dengan Kalbar. Ketua Kadin Kalbar Santyoso Tio menginformasikan minimnya energi listrik telah mematikan semangat para pengusaha untuk menumbuhkan sektor hilir kelapa sawit.

Dengan luasan perkebunan yang sudah berproduksi sekitar 800.000 ha (tahun 2012), produksi minyak kelapa sawit mentah Kalbar mencapai 1 juta ton. Namun, diakui Kepala Badan Penanaman Modal Daerah Kalbar Sri Jumiadatin, nilai tambah yang dinikmati Kalbar belum optimal. Siapa mau membangun pabrik pengolahan bila minim pasokan listrik?

Ketua Gabungan Pengusaha Perkebunan Indonesia Kalbar Ilham Sanusi mengungkapkan, ”Investasi asing di Kalbar mencapai 60 persen dari seluruh investasi di sektor perkebunan kelapa sawit.”

Jadi, siapa penikmat terbesar infrastruktur pendukung sawit?(A HANDOKO/SYAHNAN RANGKUTI/MOHAMMAD HILMI FAIQ)

Sumber: KOMPAS, Jumat, 11 Januari 2013.

Berita

About the author

lingkarLSM hadir untuk menemani pertumbuhan. Kami mengidamkan masyarakat sipil yang jujur dan punya harga diri. Kami membayangkan ribuan organisasi baru akan tumbuh dalam tahun-tahun perubahan ke depan. Inilah mimpi, tujuan dan pilihan peran kami. Paling tidak, kami sudah memberanikan diri memulai sebuah inisiatif; dan berharap langkah kecil ini akan mendorong perubahan besar.
No Responses to “Memanen Sawit, Merusak Jalan”

Leave a Reply