Krisis Air Belum Lewat

Okt 28, 2013 No Comments by

Pertanian Tidak Lagi Menjadi Andalan Kota Tegal

Grobogan, Kompas — Meski hujan mulai turun di sejumlah daerah, ribuan lahan pertanian di Pulau Jawa masih krisis air. Stok air di waduk dan bendungan yang ada masih terbatas sehingga suplai ke persawahan pun dibatasi. Bahkan, banyak tanaman sayur petani di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, mengering dan mati.

Di Bendung Klambu, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, meski pintu irigasi sudah dibuka sejak September, hingga kini sekitar 10.000 hektar sawah di Grobogan, Demak, dan Kudus belum juga mendapatkan pasokan air. Hal itu karena ketinggian air bendungan masih di bawah normal, pompanisasi yang marak, dan kemarau.

”Seharusnya, pada awal Oktober ini petani harus mulai tanam untuk menghindari panen di musim hujan dan banjir yang biasa terjadi pada Januari dan Februari tahun depan,” ujar Ketua Induk Perkumpulan Petani Pengguna Air (P3A) Daerah Irigasi Bendung Klambu Kiri, Suratmin, Senin (7/10).

Areal persawahan di Klambu Kiri seluas 20.649 hektar. Sekitar 10.000 hektar di antaranya belum mendapatkan pasokan air. Keterlambatan pasokan air itu karena ketinggian air Bendung Klambu belum stabil dan pompanisasi tak terkontrol di sepanjang saluran irigasi Klambu Kiri. Biasanya, para petani menerima air sebanyak 20 meter kubik per detik, tetapi sejak bulan lalu hanya menerima 12-17 meter kubik per detik.

”Kami mencatat air yang menghilang dari saluran irigasi sebesar 3-5 meter kubik per detik per hari. Kami berharap ada penambahan air dari Waduk Kedungombo dan pengontrolan pompanisasi di sepanjang saluran irigasi,” kata Suratmin.

Ketua P3A Daerah Irigasi Waduk Kedungombo Kaspono mengemukakan, pompanisasi yang tidak terkontrol, baik di saluran irigasi maupun di Sungai Serang dan Lusi, menjadi penyebab krisis air di Bendung Klambu. Di Kudus, pompanisasi telah membuat sekitar 20 persen dari 5.534 hektar sawah terlambat mendapat air. ”Kami mengusulkan kepada Balai Pengelola Sumber Daya Air Serang Lusi Juwana (BPSDA Seluna) untuk menambah debit air dari 65 meter per detik menjadi 80 meter kubik per detik untuk 2-3 hari ke depan,” ujar Kaspono.

Sementara itu, sabuk Gunung Watangan sepanjang 4.900 meter di Desa Lojejer, Kecamatan Wuluhan, Jember, Jawa Timur, juga sudah lama tidak berfungsi sebagai penahan air pada musim hujan. Akibatnya, sawah milik 8 kelompok tani atau lebih dari 200 hektar terancam kebanjiran pada musim hujan.

”Kami sudah lapor ke mana-mana agar sabuk gunung diperbaiki atau bekas lumpurnya dikeruk, tetapi tidak pernah mendapat perhatian dari instansi terkait,” kata Ismanto, Ketua Kelompok Tani Margi Rahayu II Desa Lojejer kepada pers di Jember, Jawa Timur, Selasa.

Mereka mengaku pernah mendatangi Dinas Perkebunan dan Kehutanan, Dinas Pertanian, Dinas Pengairan, dan Perum Perhutani, tetapi tidak dihiraukan.

 

Sayuran Mati

Di Kabupaten Magelang, banyak tanaman sayuran mati akibat kekeringan. Petani terpaksa menanggung biaya tanam yang lebih besar karena harus mengganti tanaman yang mati dengan bibit tanaman baru. Sugeng (30), petani cabai di Desa Ketep, Kecamatan Sawangan, mengatakan, dirinya sudah tiga kali membeli bibit tanaman baru untuk mengganti bibit yang mati. ”Dalam 20 hari terakhir ini, total bibit tanaman yang terpaksa diganti mencapai 500 bibit,” ujarnya. Setiap bibit tanaman cabai dibeli seharga Rp 160.

Sebelumnya, Sugeng berencana menanam 12.000 tanaman cabai. Namun, karena kondisi cuaca seperti sekarang, sementara ini dia baru menanam 2.000 tanaman dan masih ragu untuk menambah tanaman baru.

Karena tidak ada hujan dan saluran irigasi yang menyuplai air, pada musim kemarau ini Sugeng terpaksa menyiram tanaman dengan air yang diambil dari selokan di sekitar lahan. ”Terkadang karena air dari sumber air juga semakin mengecil, saya pun terpaksa menyirami tanaman dengan air dari selokan yang sudah bercampur dengan limbah rumah tangga,” ujarnya.

Di Kota Tegal, rob menjadi salah satu penyebab berkurangnya produksi pertanian. Menurut data Bank Indonesia Tegal, Selasa, pada 2012 produksi padi di kota itu sebanyak 3.940 ton gabah kering giling (GKG), pada 2011 sebanyak 5.914 ton GKG, dan pada 2010 sebanyak 8.449 ton GKG.

Peneliti pada Perwakilan Bank Indonesia Tegal, Arief Noor Rachman, dalam acara Review dan Pemaparan Kondisi Perekonomian Tegal di Kantor Perwakilan BI Tegal, mengatakan, struktur ekonomi Kota Tegal selama kurun 20 tahun terakhir mengalami pergeseran.

Peran sektor pertanian menurun, tergeser oleh sektor industri pengolahan, perdagangan, hotel, dan restoran. Pada 2012, struktur ekonomi Kota Tegal didominasi oleh sektor perdagangan, hotel, dan restoran sekitar 23,5 persen, sektor industri pengolahan 20,2 persen, sektor bangunan 12,6 persen, sektor jasa 11,4 persen, dan sektor pertanian 7,8 persen. (WER/SIR/HEN/EGI)

Sumber: KOMPAS, Rabu, 9 Oktober 2013.

Berita

About the author

lingkarLSM hadir untuk menemani pertumbuhan. Kami mengidamkan masyarakat sipil yang jujur dan punya harga diri. Kami membayangkan ribuan organisasi baru akan tumbuh dalam tahun-tahun perubahan ke depan. Inilah mimpi, tujuan dan pilihan peran kami. Paling tidak, kami sudah memberanikan diri memulai sebuah inisiatif; dan berharap langkah kecil ini akan mendorong perubahan besar.
No Responses to “Krisis Air Belum Lewat”

Leave a Reply